Kekerasan pada anak tak pernah berhenti. Upaya mencegah anak jadi korban dan melindungi anak jangan hanya slogan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Tahun 2023 menjadi catatan kelam bagi sejumlah anak di Tanah Air. Berbagai kasus pelanggaran hak anak mencoreng citra Indonesia. Anak-anak di perdesaan ataupun perkotaan berada dalam lingkaran kekerasan dan situasi belum aman dari berbagai bentuk eksploitasi hingga ancaman jiwa.
Laporan Akhir Tahun 2023 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang disampaikan awal 2024 menyoroti tren masalah perlindungan anak yang membutuhkan perhatian serius dari negara dan masyarakat di Tanah Air.
Hasil pengawasan KPAI menemukan anak korban kekerasan cenderung meningkat setiap tahun, bahkan pelaku utama pelanggaran hak anak merupakan orang yang dikenal dan relatif dekat dengan anak.
Anak-anak terus menjadi anak korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Tren anak menyakiti diri (self harm) dan mengakhiri hidup juga meningkat di sepanjang 2023, melebihi angka 40 kasus. Itu pun baru yang terpantau di media dan laporan di kepolisian.
Deretan masalah anak lain jadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai antara lain soal pekerja anak, anak korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), korban pornografi, kejahatan daring, dan terpapar jaringan terorisme, anak berhadapan dengan hukum, serta anak minoritas serta di wilayah terpencil.
Pada 2023, KPAI menerima laporan aduan 3.883 kasus pelanggaran dan pemenuhan hak anak, terdiri dari 2.662 pengaduan, bersumber dari pengaduan langsung, pengaduan tidak langsung (surat dan surat elektronik), serta pengaduan secara daring dan media 1.240 kasus.
”Laporan tahun 2023 menyoroti banyak hal, terutama bagaimana perlindungan anak di era digital karena seluruh dimensinya terkait erat dengan anak yang dieksploitasi daring, prostitusi daring, jual beli konten pornografi, dan sebagainya,” ujar Ai Maryati Solihah, Ketua KPAI, di Jakarta, Senin (22/1/2024).
Selain persoalan anak di dunia digital, menurut Ai Maryati, KPAI memberikan perhatian khusus soal pengasuhan keluarga, menyusul tren persoalan yang dihadapi anak di wilayah privat dan gangguan kesehatan mental.
Karena itu, laporan tahunan KPAI 2023 mengambil tema ”Pengawasan Perlindungan Anak Di Era Digital; Penguatan Pengasuhan Positif dan Kesehatan Mental Anak Indonesia Menyongsong Indonesia Layak Anak 2030”.
”Anak-anak perlu mendapatkan pendekatan kesehatan mental. Sebab, mental bangsa merupakan ketahanan utama yang harus dimiliki anak-anak, menuju Indonesia layak anak 2030,” ucap Ai Maryati.
Menuju Indonesia Layak Anak 2020 bukanlah hal mudah, menyusul sejumlah hambatan yang dihadapi dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Selain hambatan di bidang hukum, perlindungan anak berhadapan dengan adat dan budaya, di mana cara pandang masyarakat lekat dengan budaya patriarki yang menempatkan anak-anak pada situasi rentan.
Anak-anak perlu mendapatkan pendekatan kesehatan mental. Sebab, mental bangsa merupakan ketahanan utama yang harus dimiliki anak-anak menuju Indonesia layak anak 2030.
Ketika anak-anak menghadapi gangguan kesehatan mental, pendampingan dan bimbingan psikologis amat minim. Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyatakan, pemantauan KPAI menemukan tren anak mengakhiri hidup dan menyakiti diri meningkat. Semakin banyak anak memilih jalan itu dengan sejumlah alasan.
Cegah kekerasan pada anak
Dari catatan dan dinamika pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak di tahun 2023, KPAI dalam rekomendasinya meminta Presiden mencanangkan Gerakan Zero Kekerasan pada Anak agar di tahun 2045 Indonesia diharapkan menjadi negara dengan tingkat kekerasan pada anak nol kasus.
Selain memastikan implementasi Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak berjalan, pemerintah daerah juga harus berperan langsung dalam perlindungan anak, memperkuat kelembagaan, termasuk melakukan rencana aksi daerah.
Laporan Tahunan KPAI selaras dengan laporan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang disampaikan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Jumat (5/1/2024).
Kementerian PPPA menerima pengaduan lewat layanan Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129 (contact center pengaduan khusus perempuan dan anak) pada Januari-November 2023, ada 2.797 kasus kekerasan anak. Angka laporan ini naik jauh daripada dua tahun sebelumnya, yakni 957 kasus (2022) dan 575 kasus (2021).
Tak hanya di data SAPA 129, data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) periode Januari-November 2023 jumlah kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan juga mencapai 15.120 kasus dengan korban terbanyak perempuan, yakni 12.158 orang dan anak laki 4.691 orang.
Sementara itu, anak terus menjadi momok kejahatan seksual. Pada awal Januari 2024 sejumlah kasus kekerasan seksual anak terungkap, seperti kasus di Yogyakarta, sebanyak 15 murid dari salah satu sekolah dasar swasta, mengalami kekerasan seksual dari gurunya, NB (22).
Karena itu, Menteri PPPA mengingatkan agar semua pihak tak berhenti berupaya dan berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan perlindungan perempuan seiring dengan makin canggihnya modus kejahatan di tengah derasnya perkembangan teknologi informasi.