Belum Ada Solusi Konkret dari Semua Cawapres
Presiden Joko Widodo pernah menjanjikan pengesahan masyarakat adat, tetapi yang terjadi malah bertolak belakang.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah permasalahan masyarakat adat diungkit di dalam debat calon wakil presiden, Minggu (21/1/2024), tetapi solusi konkret atas permasalahan tersebut sama sekali belum dijawab oleh ketiga cawapres. Masyarakat adat harus lebih kritis dalam Pemilu 2024 ini demi mencegah kesalahan yang sama terulang kembali.
Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, ingin melibatkan masyarakat adat dalam pembangunan dan tidak hanya menjadikannya sebagai simbol saja; sedangkan cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, ingin menilik kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang hingga kini tak kunjung disahkan; cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, menggelontorkan fakta bahwa masyarakat adat kiat tersingkirkan oleh pembangunan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
AMAN dulu sempat mendukung Joko Widodo saat Pilpres 2014, tetapi kenyataannya hak hidup mereka semakin diimpit kebijakan pemerintah.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi yang menjadi panelis dalam debat tersebut menilai, ketiganya sebenarnya cukup tahu permasalahan masyarakat adat. Namun, jawaban mereka dalam debat belum bisa meyakinkan dan memberikan jaminan akan terealisasi ketika terpilih menjadi pemimpin negara nanti.
”Cukup banyak harapan debat semalam, tetapi tidak ada yang bisa memuaskan sampai semua perkataannya benar-benar terjadi, yakni pengesahan RUU Masyarakat Adat. Siapa pun yang terpilih, wajib mengutamakan masyarakat adat sebagai agenda prioritas,” kata Rukka, Senin (22/1/2024).
Dia menyayangkan tidak adanya solusi dari ketiga cawapres untuk mengatasi atau menghentikan perkara konflik kepentingan antara investor dan pemerintah yang menjadi akar permasalahan agraria. Sementara masyarakat adat berada di posisi lemah saat mempertahankan wilayah adatnya.
Oleh karena itu, Rukka meminta semua masyarakat adat untuk bersikap kritis dalam memaknai setiap program para pasangan calon karena mereka tidak mau lagi terbuai dengan janji politik. Sebab, AMAN dulu sempat mendukung Joko Widodo saat Pilpres 2014, tetapi kenyataannya hak hidup mereka semakin diimpit kebijakan pemerintah.
”Jadi sekarang kami serahkan ke masyarakat adat untuk menjadi pemilih cerdas, dari debat itu sudah bisa dilihat jelas dan lihat juga dari rekam jejak mereka,” tutur Rukka.
Baca juga: Cawapres Saling Singgung soal Bioregion, ”Greenflation”, dan ”Food Estate”
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengemukakan, ada kekeliruan pada sejumlah data yang disebutkan terkait masyarakat adat dalam debat cawapres kemarin. Misalnya, saat Gibran mengklaim negara sudah mengakui 1,5 juta hektar hutan adat yang ternyata salah. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan adat hingga 2023 masih sekitar 244.195 hektar.
Menurut Kasmita, narasi yang dibangun dalam dokumen visi dan misi, terutama paslon nomor 1 dan nomor 3 yang menjelaskan rinci, tidak terucap konkret dalam perdebatan cawapres. Padahal, masyarakat adat sangat menanti komitmen konkret mereka untuk memperjuangkan pengakuan masyarakat adat.
”Undang-Undang Cipta Kerja sudah membuka ruang besar untuk investasi masuk, sementara kepastian hukum masyarakat hukum adat dengan pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat tidak ditegaskan oleh ketiganya,” katanya.
BRWA mencatat, hingga awal Januari 2024, peta wilayah adat teregistrasi BRWA sejumlah 1.333 wilayah adat dengan luas 26,9 juta hektar yang tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota. Namun, status pengakuan wilayah adat baru mencapai 14 persen dari total luasan tersebut. Seluas 23,1 juta hektar belum diakui negara yang menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah.
Baca juga: Pengakuan Masyarakat Adat oleh Pemerintah Daerah Rendah
Penguasaan perusahaan terhadap sumber daya alam di wilayah adat yang disokong negara pun semakin tinggi. Tercatat ada 110 perusahaan menguasai 3,4 juta hektar di 164 wilayah adat dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA); 79 perusahaan menguasai 1,6 juta hektar di 229 wilayah adat dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman (IUPHHK-HT); 313 perusahaan menguasai 855 hektar di 221 wilayah adat dengan izin usaha tambang; serta 264 perusahaan menguasai 607 hektar di 279 wilayah adat dengan hak guna usaha (HGU).
Kondisi ini menyebabkan konflik agraria hingga mengancam kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat adat. AMAN mencatat, dalam waktu 10 tahun terakhir ada sekitar 687 orang masyarakat adat yang dikriminalisasi.