Politik Lingkungan Harus Jadi Agenda Utama Para Kandidat
Kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif ataupun proyek pembangunan berkaitan erat dengan keputusan politik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hilangnya ruang hidup masyarakat dan berbagai kerusakan lingkungan akibat kegiatan industri ekstraktif ataupun proyek pembangunan berkaitan erat dengan keputusan politik pemegang kekuasaan. Oleh karena itu, penyelesaian berbagai persoalan yang berdampak buruk bagi rakyat dan lingkungan ini harus menjadi agenda utama para elite, khususnya kandidat yang berkontestasi dalam Pemilihan Umum 2024.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian, di Jakarta, Jumat (12/1/2024), menyampaikan, persoalan lingkungan hidup atau ekologi merupakan persoalan struktural yang lahir dari penyempitan makna politik oleh para elite. Dengan demikian, masyarakat perlu melihat dan membongkar persoalan struktural ini dengan menuntut perubahan sistem baik ekonomi maupun politik.
”Kita mengetahui bahwa selama dua periode rezim Presiden Joko Widodo menggunakan kekuasaan untuk merevisi dan membuat undang-undang guna memastikan kemudahan bagi ekspansi izin industri ekstraktif. Hal ini dilakukan dengan melemahkan instrumen lingkungan hidup dan penegakan hukum,” ujarnya.
Menurut Uli, jalan pemerintah untuk melanggengkan kegiatan industri ekstraktif terlihat dari terbitnya sejumlah kebijakan atau regulasi yang tidak pro terhadap masyarakat. Sebut saja Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Ibu Kota Negara, dan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kemudian, pada akhir tahun lalu, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Sejumlah ketentuan dalam perpres tersebut dinilai dapat merenggut ruang hidup masyarakat.
Walhi memberikan catatan kritis bahwa berbagai instrumen kebijakan tersebut tidak hanya berdampak buruk bagi masyarakat, tetapi juga lingkungan. Bahkan, gelombang protes atas berbagai produk kebijakan yang berdampak buruk pada rakyat dan lingkungan ini justru direspons dengan represi dan kriminalisasi.
Berdasarkan data yang dihimpun Walhi, sepanjang pemerintah Presiden Jokowi sebanyak 827 warga mendapat kriminalisasi dan kekerasan, 145 orang ditangkap, 28 orang tersangka, 620 orang luka-luka akibat kekerasan aparat, dan 6 orang meninggal akibat mempertahankan hak atas tanah atau ruang hidup mereka.
Pada periode yang sama, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN) mencatat telah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Sektor dominan yang memicu kriminalisasi masyarakat adat adalah konflik kawasan hutan (42 persen), pertambangan (13 persen), perkebunan (11 persen), infrastruktur (10 persen), dan kebakaran lahan (2 persen).
Walhi juga mencatat, krisis ekologis ini telah mengancam keselamatan rakyat di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Sumatera. Saat ini, Sumatera telah dibebani oleh izin hak guna usaha (HGU) sawit seluas 2,3 juta hektar, luasan Izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 2,4 juta hektar, dan luas izin di sektor kehutanan sebesar 5,6 juta hektar.
Eksploitasi pulau Sumatera ini mengakibatkan deforestasi seluas 119.626 hektar. Kemudian seluas 141.522 hektar hutan dan lahan gambut di Sumatera juga terbakarsepanjang 2023.
Sejumlah agenda
Walhi melihat, tantangan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan pada tahun ini akan lebih keras dan berat karena adanya kontestasi elektoral. Selain tidak banyak gagasan-gagasan baru untuk memulihkan krisis dan menjamin keadilan ekologis, para kandidat beserta tim pemenangannya juga lebih fokus menemukan dukungan logistik, mengobral janji, dan saling berebut suara rakyat.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat Wengki Purwanto mengatakan, Walhiregion Sumatera mendesak beberapa agenda politik lingkungan yang harus menjadi agenda utama bagi para kandidat yang berkontestasi. Siapa pun presiden-wakil presiden yang terpilih nanti harus menjadikan agenda evaluasi seluruh perizinan yang saat ini berada di kawasan lindung, kawasan konservasi, kawasan ekosistem esensial, dan wilayah kelola rakyat.
Kemudian, pemerintah baru nanti harus membentuk peradilan khusus (ad hoc) kejahatan lingkungan hidup dan menyelesaikan seluruh kasus-kasus lingkungan hidup serta pelanggaran hak asasi manusia. Di sisi lain, agenda pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat baik di darat ataupun pesisir Indonesia juga perlu menjadi agenda utama.
”Kami juga mendesak seluruh proyek-proyek pembangunan yang rakus ruang dan mengeksklusi rakyat harus dihentikan. Kita harus melihat apakah presiden dan wakil presiden, DPR dan DPD, ataupun kepala daerah terpilih cukup berani untuk menghentikan semua proyek yang rakus ruang ini,” katanya.