Paradoks Perselingkuhan
Meski menganut monogami, perselingkuhan banyak terjadi. Solusinya perlu dipikir masak, bukan hanya cerai atau memaafkan.
Akhir tahun 2023, media sosial diramaikan dengan isu perselingkuhan yang melibatkan profesi tertentu. Percakapan pasangan selingkuh itu di salah satu media sosial tersebar luas di platform lain. Hujatan, sindiran, hingga candaan pun bermunculan dari warganet dan pembuat konten mengingat salah satu pasangan selingkuh itu berstatus kawin dan terlihat memiliki keluarga bahagia.
Kasus itu bukanlah satu-satunya. Di media sosial banyak drama perselingkuhan diungkap, lengkap dengan video penggerebekannya. Ada istri mengadukan suaminya ke atasan karena kawin lagi tanpa izin, berbuat serong karena pasangannya tinggal berbeda kota, selingkuh dengan teman sekantor, hingga menduakan pacar karena tergoda orang lain yang lebih memberi rasa nyaman.
Dalam masyarakat yang menganut budaya monogami, perselingkuhan menjadi paradoks. Ciri utama monogami adalah hanya menerima perilaku tertentu yang bisa diterima oleh dua individu yang terlibat dalam hubungan. Jika satu individu terlibat dalam relasi eksklusif dengan orang lain di luar hubungan yang mereka jalin, itulah perilaku ekstradyadik alias selingkuh.
Baca juga : Jangan Libatkan Anak dalam Perselingkuhan Orangtua
Secara universal, perselingkuhan dianggap pelanggaran moral, tanda ketidaksetiaan, rendahnya komitmen terhadap perkawinan, hingga ketidakmampuan mengendalikan dorongan seksual. Tidak ada orang yang saat mulai menjalin hubungan romantis sudah berpikir untuk selingkuh dengan pasangannya, kecuali pada orang-orang yang meyakini bahwa makin banyak pasangan, maka akan lebih mudah baginya mencari yang spesial.
Perselingkuhan menjadi sumber kemarahan pasangan, munculnya berbagai masalah kejiwaan, hingga menyebabkan perceraian dan hancurnya rumah tangga. Perselingkuhan tidak hanya menimbulkan trauma bagi pasangan, tetapi juga anak-anak mereka. Tak jarang, dalam budaya Timur yang lekat dengan kehidupan keluarga, perceraian juga bisa memicu rusaknya hubungan antarkeluarga besar.
Perselingkuhan juga sering kali membingungkan karena tidak ada bekas kekerasan fisik, tetapi rasa sakitnya nyata.
Meski ditentang, sepertinya selingkuh menjadi perilaku yang cukup sering terjadi. Berbagai studi memperkirakan prevalensi perselingkuhan 1,2-85,5 persen. Namun, angka perselingkuhan yang paling banyak diyakini peneliti dan psikolog di Amerika Serikat berkisar 20 persen hingga 25 persen untuk orang yang sudah menikah dan 33-50 persen untuk orang dewasa muda yang aktif di aplikasi kencan.
”Tampaknya, hubungan eksklusif (dalam monogami) sangat diinginkan, tetapi tidak mudah untuk dipertahankan,” kata profesor psikologi di Universitas Otterbein, Ohio, Amerika Serikat, Noam Shpancer, dalam tulisannya di The Psychology Today, 7 Desember 2023.
Pemicu
Relasi antara manusia dan hubungan romantisnya memang kompleks. Ada banyak hal yang bisa memicu terjadinya perselingkuhan. Namun, selama ini analisis tentang perselingkuhan berpusat pada model defisit, yaitu adanya permasalahan dalam hubungan atau perkawinan mereka.
”Kondisi perkawinan, relasi antarpasangan, atau faktor dalam diri suami atau istri bisa memicu terjadinya perselingkuhan,” kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, di Jakarta, Sabtu (6/1/2024).
Perkawinan yang tidak menyenangkan dan tidak memuaskan bisa mendorong selingkuh. Komunikasi dangkal dan seperlunya, tidak adanya lagi kesamaan tujuan dalam membangun keluarga, hingga perkawinan yang berjalan datar-datar saja meski mereka sejatinya menginginkan tantangan bisa memicu ketidaksetiaan pasangan.
Relasi seksual yang hambar, besarnya dorongan seksual yang tidak tercukupi karena pasangan merasa sudah terpenuhi kebutuhan seksualnya, atau keinginan seksual yang tertahan karena hadirnya anak juga bisa mendorong perselingkuhan. Relasi seksual yang tidak menyenangkan dan tidak sesuai harapan itu juga bisa memicu perilaku ”serong”.
Kurangnya relasi romantis juga bisa mendorong seseorang tidak setia dengan pasangannya. Setelah berjalan beberapa waktu, hubungan suami-istri akan berjalan biasa-biasa saja, tidak menggebu-gebu seperti saat pacaran. Masing-masing pasangan sibuk dengan dunianya, baik bekerja maupun menjadi ibu rumah tangga mengurus keluarga, sehingga kurang memperhatikan pasangannya. Padahal, sebagian orang meski bertambah umur tetap butuh relasi romantis, disanjung, dikagumi, atau dibutuhkan.
Baca juga ; Bukan Cinta yang Melanggengkan Pernikahan
”Saat masalah-masalah pemicu perselingkuhan itu tidak tuntas diselesaikan dan seolah-olah bisa ditutupi dengan pengalaman baru yang menyenangkan, situasi itu bisa memicu berulangnya perselingkuhan,” tambahnya.
Meski demikian, beberapa orang tidak memiliki keterampilan memadai untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya saat muncul masalah dalam perkawinannya, mereka lebih memilih menghindar atau melarikan diri. Mereka menjadikan selingkuh sebagai pembenaran atas kekurangan yang didapat dari pasangan sahnya. Repotnya, persoalan ini bisa menjadi trauma dan dipelajari lintas generasi sehingga berpotensi terjadi lagi pada anggota keluarga besar mereka di masa mendatang.
Sementara perselingkuhan yang terjadi pada pasangan muda dengan usia perkawinan kurang dari lima tahun biasanya dipicu oleh ketidaksiapan menikah. Mereka hanya siap untuk melangsungkan resepsi perkawinan, tetapi tidak siap hidup berumah tangga dengan pasangannya.
Bisa jadi mereka belum mengenal pasangannya meski sudah pacaran bertahun-tahun. Bahkan, mereka juga bisa saja belum mengenal dirinya sendiri. Pasangan ini juga sulit berkomunikasi, tidak bisa mengatur keuangan, bahkan tidak siap menghadapi masalah terkait keluarga besar. Dalam benak mereka, menikah adalah sumber kebahagiaan seperti dalam cerita cinta, tetapi lupa banyak hal yang harus dilakukan agar perkawinannya bahagia.
Damai vs cerai
Meski demikian, menghadapi perselingkuhan, apalagi sampai berulang, tidaklah mudah. Bagi yang diselingkuhi, perselingkuhan pasti menimbulkan kemarahan, kekecewaan, stres, hingga depresi. Perselingkuhan juga sering kali membingungkan karena tidak ada bekas kekerasan fisik, tetapi rasa sakitnya nyata.
Rasa sakit itu muncul karena merasa ditipu dan dikhianati atas kepercayaan yang telah diberikan kepada pasangan dalam hubungan yang sejak awal dideklarasikan sebagai monogami. Lara yang muncul juga bisa dipicu oleh rasa kehilangan dan dirampasnya hak-hak atas pasangan walau untuk sementara, termasuk hak untuk menikmati waktu bersama pasangan.
”Perselingkuhan yang paling buruk dan menyakitkan adalah yang melibatkan banyak perjumpaan yang disengaja dan tidak hanya melibatkan aktivitas seksual, tetapi juga aktivitas romantis nonseksual seperti makan malam bersama atau mengobrol semalaman,” kata Berit Brogaard, profesor filsafat dan kepala Laboratorium Riset Multisensori Universitas Miami, AS, di The Psychology Today, 16 Januari 2016.
Perselingkuhan juga membuat orang yang diselingkuhi merasa tidak berharga, tidak baik, tidak cukup, dan tidak pantas bagi pasangannya. Perselingkuhan sering kali menghancurkan harga diri seseorang, yang bahkan perasaan ini bisa muncul saat mereka sudah berpisah dengan pasangan yang menyelingkuhinya dan hendak membangun hubungan baru.
Namun, rasa rendah diri dan terhina pada korban perselingkuhan itu sepertinya justru tidak muncul pada orang yang berselingkuh. Studi yang dipimpin Dylan Selterman, profesor di Departemen Psikologi dan Ilmu Otak Universitas John Hopkins, Baltimore, AS, dan dipublikasikan di jurnal Archives of Sexual Behavior, 8 Mei 2023, menemukan bahwa orang yang sudah menikah dan selingkuh justru merasa puas dengan perselingkuhannya. Mereka juga tidak menunjukkan penyesalan dan yakin perselingkuhannya tidak mengganggu pernikahannya yang baik-baik saja.
Situasi yang saling bertolak belakang itu membuat upaya menyelesaikan perselingkuhan menjadi tidak mudah. Pilihannya bukan hanya bercerai atau memaafkan dan memperkuat pernikahan kembali, tetapi bisa jadi banyak alternatif solusi yang harus dipertimbangkan secara masak. ”Tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi perselingkuhan,” tambah Anna.
Baca juga : Monogami Itu Tidak Alamiah
Menurut Anna, setiap pasangan yang mengalami masalah perselingkuhan perlu duduk bersama dengan kepala dingin membicarakan apa yang sebenarnya terjadi. Meski ini bisa sangat menyakitkan dan tidak menyenangkan, mengetahui alasan perselingkuhan akan membantu pasangan tersebut mencari cara guna memperbaiki hubungan mereka. Jika ingin bersatu kembali, mereka harus memiliki tujuan bersama lagi di masa depan.
Dalam sejumlah kasus, beberapa suami-istri sama-sama menilai masalah yang mereka hadapi sebagai kesalahan. Jika hal ini terjadi, upaya penyelamatan perkawinan dari perselingkuhan akan lebih mudah dilakukan dan tingkat keberhasilannya tinggi. Untuk itu, mereka harus membuat kesepakatan ulang tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan demi menjaga keutuhan rumah tangga mereka.
Jika korban perselingkuhan menghendaki adanya pernyataan tegas bahwa pasangannya yang berselingkuh benar-benar sudah putus dengan selingkuhannya, itu harus ditunjukkan sebagai pesan jelas. Dalam beberapa kasus, korban perselingkuhan itu minta diajak pasangannya untuk menemui selingkuhannya guna menegaskan selesainya hubungan terlarang mereka.
”Ketika ada pemutusan hubungan perselingkuhan yang jelas, hal ini akan sangat membantu korban untuk bisa memulihkan perkawinan mereka,” kata Anna.
Apabila korban perselingkuhan sulit memaafkan atau senantiasa terbayang-bayang pengkhianatan pasangannya, kondisi ini tentu akan makin menyulitkan untuk meneruskan perkawinan. Di sinilah peran keluarga, pemuka agama, atau orang yang dituakan bisa mendamaikan mereka. Meski tidak bisa memaksakan, kehadiran orang-orang terdekat itu bisa mendukung mereka untuk melalui badai lebih baik.
Baca juga : Relasi Perkawinan di Masa Pandemi
Jika memaafkan tetap sulit, termasuk memaafkan diri sendiri, apalagi jika dikompori warganet atau orang-orang yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan perkawinan mereka, penyelamatan perkawinan menjadi lebih susah. Meski demikian, banyak hal harus dipertimbangkan dalam perceraian, termasuk soal ekonomi diri dan anak pascaperceraian.
Bagaimanapun, bercerai atau tidak bercerai sama-sama membutuhkan kesiapan mental dan tanggung jawab yang tinggi. Sesakit apa pun perasaan dikhianati yang muncul, upayakan untuk tetap berpikir jernih. Berpikirlah baik-baik karena semua pilihan memiliki tantangan dan risiko yang harus dijalani. Setelah menimbang matang, pilihlah pilihan yang memiliki risiko paling kecil.
Namun, jika tidak ingin menghadapi masalah-masalah pelik akibat perselingkuhan, jangan pernah sekali-sekali mendekati perselingkuhan. Sekali Anda berselingkuh, akan terus muncul dorongan untuk selingkuh yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Sadarilah dari awal untuk tidak mencoba-coba mengkhianati pasangan Anda sebelum Anda terjebak dalam rumitnya perselingkuhan.