Populasi Tuna Sirip Kuning di Samudra Hindia Menyusut Drastis
Biomassa populasi tuna sirip kuning di Samudra Hindia menyusut 70 persen dalam 70 tahun terakhir.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Populasi tuna sirip kuning di Samudra Hindia mengalami penyusutan drastis akibat eksploitasi berlebihan. Riset terbaru menunjukkan, biomassa tuna sirip kuning di Samudra Hindia telah menyusut 70 persen dalam 70 tahun terakhir.
Penyusutan tuna sirip kuning ini dilaporkan di jurnal Ocean and Coastal Management edisi Desember 2023. Kristina N Heidrich dari School of Biological Sciences, University of Western Australia menjadi penulis pertama laporan ini.
Kristina dan tim melaporkan, sejak eksploitasi untuk industri dimulai pada tahun 1950, biomassa global atau bobot populasi tuna sirip kuning mengalami penurunan rata-rata 54 persen di empat populasi tuna yang dikelola oleh Organisasi Pengelola Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organizations/RFMO). Penyusutan drastis terjadi di Samudra Hindia, di mana biomassa tuna sirip kuning telah mengalami penurunan 70 persen dalam 70 tahun terakhir.
”Jika kita melihat beberapa tahun terakhir, populasi tuna sirip kuning global terus mengalami penyusutan. Biomassa terus menurun di mana-mana, kecuali tren stabilisasi di Samudra Pasifik Barat, yang dipicu oleh intervensi pengelolaan,” kata Kristina, dalam keterangan tertulis pada Senin (8/1/2024).
Direktur Sea Around Us-Ocean Indian, Dirk Zeller, yang turut menulis laporan ini menambahkan, di sebagian besar perairan, ekstraksi tuna sirip kuning sering kali melampaui batas hasil maksimum berkelanjutan (maximum sustainable yield/MSY). Batas MSY merupakan tingkat yang memungkinkan tangkapan tertinggi diperbolehkan seiring berjalannya waktu, mengingat kondisi lingkungan tidak banyak berubah.
Dalam kajian ini, Heidrich dan tim menggunakan berbagai metodologi. Karena tuna sirip kuning biasanya dinilai oleh RFMO, mereka menggunakan rangkaian waktu dan hasil penilaian biomassa tuna sirip kuning organisasi tersebut untuk memperkirakan fluktuasi tahunannya dari tahun 1950 hingga 2020.
Secara paralel, mereka menghitung data tangkapan ikan berdasarkan rangkaian waktu untuk menilai status stok ikan. Mereka juga menganalisis 955 catatan tuna sirip kuning yang diperoleh dari pengambilan sampel perikanan independen dengan Baited Remote Underwater Video Systems (BRUVS) yang mencatat data biologis dan ekologi seperti ukuran spesies, biomassa, dan kelimpahan spesies tersebut di suatu wilayah.
”Data yang dikumpulkan dengan BRUVS memberikan gambaran yang lebih holistik dan independen terhadap perikanan mengenai komunitas pelagis dan status populasinya, yang dapat melengkapi data dan analisis yang bergantung pada perikanan,” kata Jessica Meeuwig, salah satu penulis makalah dan Direktur UWA’s Marine Futures Lab.
Spesies ini merupakan predator puncak yang memainkan peran penting dalam fungsi, produktivitas, dan kesehatan ekosistem laut secara keseluruhan.
”Data BRUVS yang tidak bergantung pada sektor perikanan ini menunjukkan, sejak tahun 2014, tuna sirip kuning di Samudra Hindia adalah jenis yang paling jarang ditemukan, paling sedikit kelimpahannya, memiliki biomassa paling rendah, dan merupakan tuna sirip kuning terkecil dalam kumpulan data yang ada,” kata Meeuwig.
Dalam laporan ini, para peneliti juga menganalisis data tuna sirip kuning di Samudra Pasifik bagian timur dan barat serta Samudra Atlantik. Di perairan ini, populasi ikan tersebut saat ini tidak mengalami penangkapan berlebihan. Hal ini berbeda dengan di Samudra Hindia, di mana penangkapan ikan berlebihan masih terjadi.
Dampak penyusutan
Penyusutan populasi tuna sirip kuning bisa merugikan secara ekonomi ataupun ekosistem. ”Selain perikanan tuna sirip kuning yang menyumbang lebih dari 16 miliar dollar AS terhadap perekonomian global setiap tahun, spesies ini merupakan predator puncak yang memainkan peran penting dalam fungsi, produktivitas, dan kesehatan ekosistem laut secara keseluruhan,” kata Daniel Pauly, salah satu penulis laporan ini, dari Universitas British Columbia.
Risiko penurunan populasi dinilai akan tinggi jika pengelolaan yang ada saat ini tidak berubah. ”Kendala pengelolaan yang ketat harus diterapkan untuk mengurangi kapasitas penangkapan ikan secara keseluruhan, membangun kembali populasi penangkapan ikan yang berlebihan, dan mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan oleh perikanan ini terhadap spesies lain seperti hiu,” kata Pauly.
Para peneliti mencatat bahwa dengan menggunakan berbagai bukti yang saling memvalidasi silang, seperti bukti yang mereka gunakan, organisasi manajemen dapat meningkatkan kepercayaan, transparansi, dan keakuratan informasi yang memandu keputusan mereka. Mereka juga mengusulkan langkah-langkah pengelolaan yang lebih ketat seperti pengurangan kapasitas penangkapan ikan, memastikan bahwa batas MSY dipatuhi, dan menerapkan batas tangkapan yang efektif.
”Khususnya di Samudra Hindia, pengurangan tangkapan sebesar 30 persen dari tingkat tahun 2020 merupakan hal yang mendesak untuk menghentikan dan membalikkan penurunan populasi tuna sirip kuning,” kata Heidrich.