Kode etik promosi produk pengganti ASI harus ditegakkan oleh semua pihak untuk mendorong tingkat cakupan pemberian ASI eksklusif .
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan kode etik internasional promosi produk pengganti air susu ibu atau ASI memerlukan komitmen bersama. Semua pihak, mulai dari industri makanan bayi dan anak kecil, pemerintah, hingga konsumen, harus saling menjaga agar pemasaran produk di pasaran tetap mengedepankan kesehatan anak. Implementasi peraturan-peraturan yang ada perlu diperkuat lagi.
Organisasi Pelanggarankode.org menemukan, sedikitnya ada 1.230 pelanggaran pemasaran produk pengganti ASI yang dilaporkan masyarakat. Laporan terbanyak berasal dari DKI Jakarta (55 laporan), Jawa Timur (46 laporan), Jawa Barat (43 laporan), Banten (34 laporan), dan Jawa Tengah (26 laporan). Pemasaran tersebut kebanyakan menyasar ibu-ibu, manajemen fasilitas kesehatan, dokter, dan tenaga kesehatan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA) Poppy Kumala mengklaim, pemasaran yang dilakukan perusahaan anggota mereka selalu menerapkan kode etik internasional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Asosiasi juga terus memonitor setiap praktik pemasaran agar tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, yaitu larangan promosi susu formula dan formula lanjutan untuk anak hingga usia satu tahun.
”APPNIA menerapkan sistem pengawasan internal melalui komite etika APPNIA untuk memastikan semua anggota mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap produk anggota APPNIA juga mematuhi standar pangan internasional dalam codex alimentarius dan ketentuan standar keamanan pangan di Indonesia oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),” kata Poppy saat dihubungi, Sabtu (23/12/2023).
Dia menyayangkan pengawasan yang dilakukan Pelanggarankode.org dan sejumlah organisasi lain tidak melibatkan APPNIA, baik dari pengumpulan, sosialisasi, maupun verifikasi data atau laporan. Ini membuat asosiasi kesulitan menanggapi atau menindaklanjuti temuan tersebut.
Padahal, menurut Poppy, APPNIA siap bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan guna mendukung kesehatan dan tumbuh kembang ibu dan anak di Indonesia sesuai peraturan perundangan yang berlaku serta mengutamakan budaya dan kearifan lokal.
”Kami memandang penting dibangunnya kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam meningkatkan pengetahuan serta memajukan taraf kesehatan ibu dan anak di Indonesia,” ucapnya.
Dalam praktik pemasarannya, anggota APPNIA telah mematuhi berbagai peraturan yang berlaku, mulai dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan; Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif; Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, khususnya Pasal 4, 47, dan 51; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
Di samping itu, Permenkes No 39/2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya; Permenkes No 58/2016 tentang Sponsorship bagi Tenaga Kesehatan; dan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pengawasan Periklanan Pangan. APPNIA dan anggotanya juga berkolaborasi dengan pengelola ritel daring dan luring untuk menerapkan peraturan-peraturan tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar menyebutkan, hasil pengawasan dan penelitian yang dilakukan sejak dua tahun terakhir itu menggambarkan bahwa masih banyak tantangan untuk memenuhi hak kesehatan ibu dan anak. Dia sepakat bahwa semua pihak harus mendukung hak ibu dan anak untuk menyusui dan menyusu.
Sebab, Survei Status Gizi Indonesia 2022 menunjukkan, tidak sampai seperempat anak Indonesia usia 0-5 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif atau hanya 16,7 persen. Oleh karena itu, dukungan bukan hanya dari industri yang harus mematuhi kode internasional, melainkan juga dari suami dan keluarga.
”Suami juga perlu mendukung istri supaya ketika istrinya ada masalah menyusui, dia bisa menghubungi konselor atau dokter menyusui. Ini berlaku juga untuk tenaga kesehatan, pengusaha, sesama ibu, sampai tokoh agama sekalipun. Ini semua harus berjalan,” kata Nia.
Kami tidak minta susu formula tidak boleh jualan. Kami minta peraturan yang mengatur pemasarannya karena pemasarannya sangat ugal-ugalan.
Nia juga mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur perlindungan hak ibu dan anak, termasuk mengatur kemitraan agar tidak terjadi konflik kepentingan terkait menyusui yang terhambat promosi produk bayi pelanggar aturan.
Sebagai gambaran, hampir setiap supermarket di Indonesia selalu memiliki satu rak khusus untuk memajang produk susu formula dengan gaya promosi yang tidak sesuai aturan. Ini berbeda dengan penjualan susu formula di beberapa negara di luar negeri yang mulai dibatasi.
”Kami tidak minta susu formula tidak boleh jualan. Kami minta peraturan yang mengatur pemasarannya karena pemasarannya sangat ugal-ugalan,” ujar Nia.
Laporan Pelanggarankode.org menemukan promosi susu formula atau produk pengganti ASI lainnya sudah sampai ke dalam genggaman, misalnya melalui iklan di media sosial, selipan promo saat webinar, petugas pemasaran, sampai mempromosikan secara personal melalui pesan singkat, telepon langsung, dan surat elektronik.
Kode (Etik) Internasional Pemasaran (Produk) Pengganti ASI dikeluarkan World Health Assembly (WHA) pada 1981 untuk mengatur praktik perdagangan formula bayi dan produk pengganti ASI. Kode ini dibuat berdasarkan voting dari 118 negara di dunia melawan satu negara, yaitu Amerika Serikat.
Di Indonesia, kode ini diadopsi dalam Permenkes No 39/2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya serta PP No 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 20 dalam ketentuan ini mengatur susu formula hanya boleh diiklankan pada media cetak khusus tentang kesehatan. Materi promosinya juga wajib memuat keterangan susu formula bayi hanya dapat diberikan atas keadaan tertentu dan harus memperoleh izin Menteri Kesehatan sebelum tayang. Namun, belum ada pasal yang mengatur secara spesifik tentang promosi di internet.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Lovely Daisy mengakui, sampai saat ini belum ada pasal atau aturan yang mengatur promosi susu formula dan produk bayi lainnya di internet. Ini menjadi tantangan dalam penegakan aturan yang harus diantisipasi demi melindungi generasi penerus bangsa.
”Ada gap yang menjadi peluang pintu masuk bagi pelanggaran-pelanggaran yang masih mungkin terjadi. Tentu kami sebagai pemerintah harus menindaklanjuti temuan ini dengan peraturan yang ada,” kata Lovely. (Kompas.id, 21/12/2023).