Jika perasaan terganggu, tersinggung, atau marah muncul, kita perlu mengingatkan diri untuk bersikap tenang, tidak langsung berbicara atau bertindak menyuarakan kemarahan kita.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Rabu 13 Desember 2023, peristiwa sangat mengejutkan dan memprihatinkan terjadi. Awan alias Kurniawan (11 tahun) meninggal dibanting oleh ayahnya. Kompas memberitakan soal Awan, yang menurut para tetangga, merupakan anak yang sangat baik dan senang membantu orang lain. Ia bermain sepeda, menyenggol anak lain secara tidak sengaja, lalu ditegur oleh beberapa warga agar lebih hati-hati. Ayahnya yang sedang bermain gitar mendengar kejadian itu, lalu menghampiri anaknya dan memukulnya.
Lalu, ada tetangga berkata, ”Siang-siang jangan ribut!” Tak disangka tak dinyana bapak Awan langsung membanting anaknya. Awan mengeluarkan darah dari mulut, dibawa ke rumah sakit, dan meninggal.
Tetangga bercerita bahwa ayah Awan adalah laki-laki yang baik, bekerja keras sebagai kuli bongkar muat ikan di Penjaringan. Akan tetapi, keluarga mengakui bahwa ayah tersebut mudah tersulut emosinya. Ibu Awan yang setelah berhari-hari masih saja tertegun tak percaya dengan kejadian mengaku bahwa suaminya juga pernah memukulnya dan memukul anak, tetapi tidak sampai dibanting.
Permintaan maaf dari ayah Awan yang membanting anak, penyesalan yang luar biasa, dan mungkin keterkejutannya sendiri mengenai perilakunya yang tak terkendali hingga membuat anak meninggal tidak ada gunanya sama sekali.
Mengapa
Kita bertanya mengapa dan ada banyak analisis dapat dicoba ditelurkan. Apakah Pak Usman, ayah Awan, frustrasi dengan kehidupannya yang miskin, berat, dan sulit sehingga memendam banyak emosi negatif yang sulit dikeluarkan? Akibatnya, ia mencoba diam menahan diri, tetapi terkadang lepas kendali yang berakibat fatal?
Apakah ia dibesarkan dalam lingkungan yang biasa menggunakan kekerasan dan melihat itu sebagai hal yang biasa untuk dilakukan? Apalagi, sebagai kepala keluarga, ia merasa wajib dihormati dan memiliki alasan untuk boleh marah atau melakukan penghukuman pada anak dan istri?
Mungkinkah ada impitan rasa malu dan tiadanya rasa bangga diri yang menyebabkan ia mudah tersulut seolah-olah perilaku atau omongan orang dirasakan selalu ditujukan untuk merendahkan dan menghinanya? Lalu, dalam batinnya ia bilang, ”Jangan menghina saya, saya juga punya harga diri dan bisa melakukan hal yang akan bikin kamu menyesal?”
Bahkan, mungkin saja Usman merasa cemas dan marah dengan berbagai hal yang melingkupi kehidupannya sebagai orang kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa, termasuk merasa tak berdaya dengan ingar bingar politik saat ini.
Karena ia tidak punya kekuasaan, entah disadari atau tidak, rasa marah dan ekspresi agresi dipindahkan ke pihak yang lebih lemah daripada dirinya, yakni anggota keluarganya.
Apa pun analisis kita dan alasan yang sesungguhnya, yang sulit mengelola ketersinggungan dan emosi marah bukan hanya Usman. Banyak dari kita juga sulit meregulasi emosi dan mungkin sudah atau akan menyesali ledakan kemarahan kita yang berdampak sangat merugikan.
Mengelola emosi
Peristiwa memilukan dari Awan dan Usman menjadi pengingat kuat agar hal tersebut tidak terjadi lagi. Kita yang tak mampu mengendalikan emosi perlu bekerja keras mengelola diri agar tidak melakukan hal-hal fatal yang akan disesali.
Kapan seseorang perlu mencari bantuan untuk mengelola rasa marahnya? Sebagai manusia, kita semua pasti pernah merasa marah. Emosi marah juga dapat memiliki manfaat, antara lain, untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari ketidakadilan. Pertanyaannya, ”Sejauh mana kemarahan saya masuk akal atau telah berlebihan? Sejauh mana saya dapat mengelola rasa marah saya?”
Ketika rasa marah sesekali saja muncul, dalam bentuk lunak serta menghilang dengan cepat, tampaknya tidak ada masalah besar dalam diri kita. Apalagi jika kita dapat mengekspresikan rasa marah itu secara langsung, tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri. Kemarahan itu malah mungkin membantu kita menemukan jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi.
Sejauh mana kemarahan saya masuk akal atau telah berlebihan? Sejauh mana saya dapat mengelola rasa marah saya?
Akan tetapi, apabila rasa marah cukup intens, sering kita rasakan, sulit dikendalikan, hingga muncul keinginan untuk melukai atau membalas dendam, hal itu perlu diperhatikan sebagai alarm. Agresi bukan hanya muncul dalam bentuk fisik (dorongan untuk memukul), tetapi juga dalam bentuk verbal (ingin memaki, berkata kasar, menghina).
Jika demikian halnya, ada risiko kita masuk dalam hubungan negatif, dengan berbagai dampak merugikan pada orang lain dan diri sendiri.
Kita dapat melakukan refleksi dan analisis diri, sejauh mana sering diganggu oleh perasaan marah? Kira-kira apa penyebabnya? Apa yang kita lakukan jika merasa marah? Jika yang kita lakukan sudah melampaui batas yang wajar dan telah merugikan, bagaimana dapat mengelola emosi kita?
Apabila perasaan terganggu, tersinggung, atau marah muncul, kita perlu mengingatkan diri untuk bersikap tenang, tidak langsung berbicara atau bertindak menyuarakan kemarahan kita. Atur pernapasan agar batin terasa lebih tenang.
Kita perlu belajar bagaimana dapat mengembangkan sikap asertif, yakni sikap yang terbuka dan jujur dalam menyuarakan perasaan atau kepentingan kita, tanpa harus merugikan orang lain. Kita dapat menemukan situasi-situasi yang cenderung memicu ketersinggungan kita, lalu berlatih menyampaikan perasaan tidak nyaman kita dengan cara yang lebih baik.
Orang yang mudah tersinggung atau marah mungkin perlu juga belajar untuk menurunkan ego dan bersikap lebih rendah hati. Daripada melakukan agresi yang nanti disesali, tidak perlu merasa gengsi ataupun kalah untuk keluar dari perdebatan sengit.
Selamat hari Natal bagi yang merayakannya, selamat Tahun Baru bagi kita semua. Kita berdoa untuk Awan, Usman, dan kita semua. Semoga di masa selanjutnya, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi.