Pelanggaran Promosi Susu Formula Sudah Sampai ke dalam Genggaman
Promosi susu formula sudah menyasar ke dalam genggaman konsumen melalui pesan singkat dan telepon langsung. Ini melanggar aturan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Promosi produk-produk pengganti air susu ibu atau ASI di Indonesia masih banyak yang melanggar kode etik internasional pemasaran produk pengganti ASI. Bahkan, promosi itu sudah sampai ke dalam genggaman melalui pesan singkat secara personal. Industri makanan bayi dan anak kecil diminta untuk tertib aturan demi menyelamatkan generasi penerus.
Menurut data organisasi Pelanggarankode.org, ada sebanyak 1.230 pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Laporan terbanyak berasal dari DKI Jakarta (55 laporan), Jawa Timur (46 laporan), Jawa Barat (43 laporan), Banten (34 laporan), dan Jawa Tengah (26 laporan). Orang yang menjadi target pemasaran kebanyakan ibu-ibu, manajemen fasilitas kesehatan, dokter, dan tenaga kesehatan.
Selain melalui iklan di media massa, ruang bermain anak, ruang menyusui, klinik, atau rumah sakit yang sudah jamak ditemui, promosi itu kini juga sudah menyasar ke dalam genggaman konsumen. Misalnya, melalui iklan di media sosial, selipan promo saat webinar, bahkan petugas pemasaran sampai mempromosikan secara personal melalui pesan singkat, telepon langsung, dan surat elektronik.
”Mereka jadi sasaran dari pemasaran susu formula dan produk pengganti ASI yang sangat tidak bertanggung jawab dan tidak etis ini. Produsen ini sampai menghubungi pribadi bahkan mau memberikan sampel gratis. Ini melanggar kode internasional,” kata pendiri PelanggaranKode, Irma Hidayana, Kamis (21/12/2023).
Kode internasional yang dimaksud adalah Kode (Etik) Internasional Pemasaran (Produk) Pengganti ASI yang dikeluarkan oleh World Health Assembly (WHA) pada 1981 untuk mengatur praktik perdagangan formula bayi dan produk pengganti ASI. Kode ini dibuat berdasarkan voting dari 118 negara di dunia melawan 1 negara, yaitu Amerika Serikat.
Irma meminta pemerintah untuk menegakkan regulasi yang ada dan mengatur pemasaran produk pengganti ASI di internet. Di Indonesia, kode ini diadopsi dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya serta Peraturan Pemerintah No 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 20 dalam ketentuan ini mengatur, susu formula hanya boleh diiklankan pada media cetak khusus tentang kesehatan. Materi promosinya juga wajib memuat keterangan susu formula bayi hanya dapat diberikan atas keadaan tertentu dan harus memperoleh izin Menteri Kesehatan sebelum tayang. Namun, belum ada pasal yang mengatur secara spesifik tentang promosi di internet.
Kebijakan perusahaan mulai dari fleksibilitas cuti melahirkan, penyediaan ruang laktasi, dan fleksibilitas waktu memerah bagi ibu menyusui juga belum optimal.
”Perlu diatur pemasarannya di internet, lalu memastikan monitoring dan penegakan kode internasional melalui regulasi nasional,” ucap Irma.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan, Lovely Daisy mengakui, sampai saat ini belum ada pasal atau aturan yang mengatur promosi susu formula dan produk bayi lainnya di internet. Ini menjadi tantangan dalam penegakan aturan yang harus diantisipasi demi melindungi generasi penerus bangsa.
”Ada gap yang menjadi peluang pintu masuk bagi pelanggaran-pelanggaran yang masih mungkin terjadi. Tentu kami sebagai pemerintah harus menindaklanjuti temuan ini dengan peraturan yang ada,” kata Lovely.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Unicef sejak lama merekomendasikan ”ASI” sebagai makanan dan ”menyusui” sebagai proses pemberian makanan bayi yang paling alamiah dan ideal untuk pertumbuhan serta perkembangan bayi. Menyusui bayi sangat bermanfaat untuk tumbuh kembang anak secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun kecerdasan.
Kandungan antibodi dalam ASI meningkatkan daya tahan tubuh anak yang dapat mengurangi risiko bayi terkena otitis media, diare, dan infeksi saluran pernapasan. ASI merupakan makanan pokok ekonomis dan lengkap zat gizinya untuk bayi. Kalau angka menyusui meningkat, niscaya angka tengkes bisa dicegah.
Namun, data riset kesehatan dasar Kemenkes mencatat, angka inisiasi menyusui dini menurun dari 58,2 persen pada 2018 menjadi 48,6 persen pada 2021. Angka pemberian ASI eksklusif di bawah enam bulan pun menurun dari 64,5 persen pada 2018 menjadi 52,5 persen pada 2021. Sementara, dalam periode yang sama, variasi makanan bayi meningkat dari 46,6 persen menjadi 52,5 persen.
Pakar nutrisi Unicef Indonesia, Sri W Sukotjo atau akrab disapa Ninik, menyebutkan, situasi ini diperparah dengan minimnya akses konseling menyusui, perlindungan ibu menyusui di lingkungan atau tempat kerja, dan pandemi Covid-19. Pada Maret-Juni 2020, misalnya, hanya sepertiga anak usia 0-23 yang ditimbang dan kurang dari setengah (47 persen) dari para ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui.
”Kebijakan perusahaan mulai dari fleksibilitas cuti melahirkan, penyediaan ruang laktasi, dan fleksibilitas waktu memerah bagi ibu menyusui juga belum optimal. Jadi perlu dukungan dari berbagai pihak,” kata Ninik.