Media Sosial Belum Berpihak pada Korban Kekerasan Berbasis Jender
Ruang aman perempuan di ranah virtual semakin sempit. Setiap saat perempuan menjadi korban kekerasan berbasis jender secara daring.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman kekerasan berbasis jender di ranah daring kian mengkhawatirkan dari hari ke hari. Korban terus berjatuhan, tapi hingga kini ekosistem media sosial belum berpihak pada korban kekerasan.
Sejauh ini, platform media sosial belum memiliki mekanisme pelaporan yang memudahkan dan berpihak pada korban. Platform media sosial juga belum tanggap dalam menanggapi berbagai kekerasan berbasis jender di ranah daring atau kekerasan berbasis gender online (KBGO), terutama pada penyebaran konten intim nonkonsensual.
Catatan SAFEnet menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan berbasis jender di ranah daring pada tahun 2019 dari 60 kasus menjadi 2.055 kasus pada 2021. Sebanyak 1.077 aduan (52,40 persen) di antaranya terkait dengan penyebaran konten intim nonkonsensual.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat adanya peningkatan laporan kekerasan berbasis jender di ranah daring terhadap perempuan, dari sebanyak 97 kasus pada 2018 menjadi 4.736 kasus pada 2022.
Karena itu, dalam momentum Peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2023, lembaga kajian media dan komunikasi Remotivi bersama Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Komnas Perempuan menuntut pengelola platform media sosial agar memiliki perspektif yang berpihak pada korban kekerasan berbasis jender secara daring.
”Platform media sosial diharapkan memiliki community guideline atau aturan komunitas serta panduan keamanan dan kesetaraan yang sesuai dengan perspektif hak asasi manusia, dan antikekerasan berbasis jender daring,” ujar Bhena Geerushtia, Manajer Program Media & Keberagaman, Remotivi, Selasa (19/12/2023), di Jakarta.
Selain menyediakan sistem pelaporan atau aduan yang mudah diakses oleh korban, platform media sosial diharapkan merespons laporan atau pengaduan secara cepat dan tanggap dengan segera menurunkan konten kekerasan berbasis jender secara daring yang dilaporkan.
Selain itu, platform media sosial juga diharapkan mendorong perlindungan terhadap perempuan dan ekspresi jender marjinal serta mengampanyekannya sebagai informasi dan pendidikan dalam pencegahan kekerasan berbasis jender di ranah daring.
Selama ini, dalam praktik di lapangan, laporan korban pada konten yang merugikan sering tak mendapatkan respons platform media sosial secara cepat dan konten baru diturunkan setelah waktu yang lama. Pada akhirnya, orang-orang yang mengalami kekerasan berbasis jender daring mencari keadilan melalui jalur viral, seperti kasus revenge porn yang terjadi di Pandeglang.
”Laporan korban saja seolah tak cukup dipercaya, menyebabkan hilangnya hak korban atas keamanan di ruang digital. Hal ini justru berpotensi membuka identitas korban sehingga korban mengalami kerugian imaterial dua kali dari kasusnya, seperti hilangnya privasi,” ujar Bhena Geerushtia.
Sebenarnya, platform media sosial memiliki aturan pelaporan. Akan tetapi, sulit bagi korban mengakses pelaporan tersebut. Selain itu, ada aturan di platform yang masih rancu definisinya, seperti tolok ukur ”ketelanjangan” yang ada di peraturan Facebook.
”Padahal, ada beberapa penyebaran konten intim nonkonsensual yang disensor oleh pelaku, tetapi tetap merugikan korban dengan memperlihatkan korban. Juga, tidak ada sanksi bagi penyelenggara sistem elektronik jika melanggar peraturan-peraturan yang sudah ada,” ujar Wida Arioka dari Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet.
Selain platform media sosial yang tidak berpihak pada korban, hambatan juga dihadapi korban kekerasan berbasis jender daring ketika kasusnya masuk ke mekanisme peradilan di Indonesia.
Tak ada lembaga khusus
Bahrul Fuad, komisioner Komnas Perempuan, menilai kondisi yang dihadapi para korban kekerasan berbasis jender di ranah daring tersebut karena hingga kini di Indonesia tidak ada badan atau lembaga nasional yang secara spesifik dan komprehensif mengurusi kasus kekerasan berbasis jender daring.
Sejumlah aturan perundang-undangan masih memiliki keterbatasan dalam merespons perkembangan modus kekerasan seksual yang terjadi secara online. Bahkan, dalam beberapa kasus aparat penegak hukum malah mengkriminalisasi korban menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Pornografi.
”Komnas Perempuan bekerja sama dengan divisi cyber crime di kepolisian. Masalahnya, semakin hari semakin banyak predator yang bermunculan. Ibaratnya, ketika kami dapat tangkap salah satunya muncul lima yang baru dengan modus bermacam-macam,” ujar Bahrul.
Karena itu, platform media sosial diharapkan bekerja sama dengan aparat penegak hukum terkait penanganan konten bermuatan kekerasan berbasis jender daring dengan membuat skema pemberitahuan penurunan konten bagi korban yang dapat digunakan sebagai bukti untuk memproses secara hukum.