Membangun Harga Diri di Bukit Pada, Lembata
Para pembaca "Kompas" membantu pembangunan gedung belajar Balai Latihan Kerja di Lembata, Nusa Tenggara Timur.
”Inilah peletakan batu pertama yang asli. Yang dulu itu baru uji coba,” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lembata Peter Gero di Bukit Pada, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (13/12/2023). Ucapan itu disambut tawa hadirin.
Pagi yang sudah terik itu merupakan momen peletakan batu pertama pembangunan gedung belajar Balai Latihan Kerja (BLK) Yayasan Gunthild Karitas Peduli di bawah kongregasi susteran SSpS.
Lima tahun lalu, sebelum Yayasan Dana Bantuan Kompas mengucurkan bantuan, peletakan batu pertama sudah dilakukan, tetapi tidak berlanjut.
Akibatnya, beberapa peserta pelatihan Tata Busana dan Tata Boga belajar di rumah pinjaman milik warga di tepi lapangan Pada. Rumah itu bocor jika hujan sehingga mengganggu pembelajaran.
Baca Juga: Yayasan DKK Telah Salurkan Dana Bantuan Lebih dari Rp 1 Miliar
”Kami bersyukur kepada Tuhan karena akhirnya ini gedung jadi dibangun,” kata Suster Margaretha Ada, SSpS, Ketua Yayasan Gunthild Karitas Peduli.
Sejak mulai membuka kelas di rumah pinjaman warga pada tahun 2019, BLK ini sudah meluluskan 12 angkatan dari berbagai jurusan. Lama belajar 1-3 bulan untuk jurusan vokasi, seperti Tata Boga, Tata Busana/Menjahit, Bahasa Inggris, dan Teknik Informatika/Komputer.
Kami bersyukur kepada Tuhan karena akhirnya ini gedung jadi dibangun.
Total ada 300-an lulusan dari BLK itu. Sebagian sudah diserap lapangan kerja atau membuka usaha di Pulau Lembata atau di luar pulau. Pemberian bekal keterampilan yang terjangkau siapa saja menjadi salah satu tujuan BLK ini.
Menurut Margaretha, BLK memang bukan perguruan tinggi. Namun, ada juga beberapa sarjana yang menambah keterampilan di BLK untuk bekal tambahan. ”Mereka pun ikut seleksi seperti yang lain… luar biasa. Di jurusan teknik informatika,” katanya.
Bekal tambahan itulah yang diberikan BLK. Bekal tambahan diperlukan, bukan semata untuk jaga-jaga melamar kerja. Namun, untuk mengungkit kepercayaan diri berwirausaha di pulau penghasil ikan, kopra, dan kemiri itu.
Baca Juga: Dukung Penanganan Tengkes, Yayasan DKK Salurkan Jamban Sehat di Kota Malang
”Yayasan Dana Kemanusian Kompas sangat berharap donasi para pembaca Kompas (Kompas.id) turut menghadirkan masa depan yang lebih baik di pulau ini. Komitmen kami juga pada pemberdayaan masyarakat,” kata Manajer Eksekutif Yayasan DKK Anung Wendyartaka.
Yayasan DKK membantu pembiayaan pembangunan gedung belajar di atas lahan 500 meter persegi dari total lahan keseluruhan 10.000 meter persegi. Gedung ini nantinya akan menjadi kelas teori dan praktik, yang akan dibangun selama 6,5 bulan di Bukit Pada yang langsung menghadap Laut Flores.
Pulau Lembata memang indah, berada di kaki Gunung Ile Lewotolok yang erupsi besar tahun 2020. Sisi utara Lembata menghadap gunung aktif Ile Boleng di Pulau Adonara dan Laut Flores yang menyajikan keindahan alam.
Namun, lapangan kerja memang masih terbatas di pulau indah berpenduduk sekitar 250.000 itu. Itulah sebabnya sebagian pemuda merantau menjadi pekerja migran, yang sebagian ilegal ke Malaysia.
Peter Gero tahu betul rasanya menjadi pekerja migran Indonesia secara ilegal karena dia mengalaminya pada 1990. Dia bekerja sebagai buruh perkebunan, sebelum bekerja di sebuah toko bangunan secara legal hingga tahun 1995. ”Semua karena terpaksa,” kata politisi Partai Golkar itu.
Bekal keterampilan dari BLK, dia yakin akan membantu para peserta memulai hidup baru, seperti membuka usaha sekecil apa pun itu. Dia pun berharap semakin banyak warga yang mengakses BLK. Sejauh ini masih terbatas, karena jumlah ruangan kelas yang masih sangat terbatas.
Modal usaha
Salah satu lulusan BLK yang kini membuka usaha adalah Angela Kidi (50). Lulus BLK dari vokasi tata busana tahun 2019, ia membuka usaha jahitan.
Kini, setiap minggu ia menerima pesanan minimal dua potong baju anak atau baju perempuan. Hasilnya ia rasa besar, minimal Rp 300.000 per bulan. ”Bisa lebih dari itu,” kata istri guru berstatus aparatur sipil negara (ASN) tersebut.
Ia belum berani menerima pesanan jahitan partai besar karena belum percaya diri. Modal juga belum cukup untuk membeli mesin jahit yang lebih baik. Mesin jahit yang ia pakai merupakan bantuan dari BLK.
Kalau tidak belajar di BLK, ia yakin kondisinya tidak akan seperti sekarang, baik ekonomi maupun sosialnya. ”Mungkin saya hanya buang waktu saja di rumah,” kata Angela.
Minimnya modal juga disampaikan Akon Pationa (46), instruktur tata busana yang buka usaha menjahit. Beberapa kali ia menerima orderan baju puluhan potong, tapi ia batasi.
Alat jahitnya kurang memenuhi syarat. Itu pula yang membuatnya tidak aktif lagi mencari orderan ke sekolah-sekolah atau instansi. ”Kalau ada modal, saya berani cari order banyak,” katanya, yang juga bekerja serabutan.
Baca Juga: Pembaca ”Kompas” Membangun Sanitasi Aman di Surakarta
Begitu pula yang dialami lulusan jurusan Tata Boga, Margareta Inamuda (51), yang lebih banyak menunggu pesanan daripada aktif membuat kue atau masakan lain.
Bersama instruktur tata boga Bernadeta Korebima (49), mereka merintis kelompok usaha ”kadatoo” yang berarti ”satu kata”. Kelompok itu beranggotakan 10 mama-mama. ”Sebenarnya ini mau Natal, peluang ada tapi tidak ada ... modal,” kata dia sambil menahan kata ”modal”.
Melalui media sosial Facebook pribadi para anggota, produk mereka sebenarnya selalu habis terjual. Walakin, susah diputarkan menjadi modal lagi karena kebutuhan hidup.
Produk andalan mereka, selain kue kering dan kue basah, adalah lauk berbasis ikan tuna, seperti abon tuna, pentol bakso tuna, dan perkedel tuna. ”Selalu habis kalau kami jual online. Tapi harga ikan tuna mahal tho,” kata Inamuda.
Modal yang mereka sebut sebenarnya tidak tinggi bagi banyak orang, hanya Rp 1 juta. Namun, besar-kecil ternyata relatif juga.
Kalaupun ada pesanan besar, datangnya selalu dari susteran. Itu pun tidak sering. Mereka tahu bahwa kemandirian adalah keharusan jika hendak maju.
Sejauh ini, keterampilan yang mereka peroleh adalah bekal separuh langkah. Sebagian berhenti melanjutkan langkah, masih berjuang, dan mulai menemukan jalan berhasil.
Margaretha menyebut, kolaborasi menjadi hal penting yang harus terus dibangun dan diteruskan. Bukan hanya membangun gedung, tetapi juga masa depan para lulusan BLK yang ia pimpin.
Pencarian sponsor pun terus ia lakukan untuk langkah selanjutnya. ”Kami terus dan terus berupaya,” kata suster master Manajemen Sumber Daya Manusia lulusan Universitas DePaul, Chicago, Amerika Serikat, itu.
Soal upaya inilah yang menjadi perhatian tiada ujung Yayasan Gunthild Karitas Peduli. Para suster SSpS di Lembata terus bergumul mencarikan jalan keluar dari kemiskinan menuju kesejahteraan.
Dengan belajar dan memiliki keterampilan, maka martabat manusia akan meningkat. ”Mungkin mereka miskin, tapi akan punya harga diri,” kata Ketua Dewan Pengawas Yayasan Gunthild Suster Ildefonsa, SSpS, yang sempat melayani di Ghana selama 30 tahun.
Harga diri itulah yang secara sadar atau tidak, sedang ditancapkan kepada pemuda-pemudi peserta didik di Lembata. Harga diri akan membuat siapa saja mengupayakan kesejahteraannya dengan tepat. Tidak dengan rasa khawatir dan ketakutan menjadi pekerja migran ilegal di negeri orang.
Catatan: Pembaca yang hendak terlibat dalam program YDKK bisa transfer melalui rekening BCA 0123021433 atas nama Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Terima kasih.