Biota Laut Indonesia Berpotensi Dikembangkan sebagai Bahan Baku Obat
Biota laut di Indonesia berpotensi dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Jenis biota laut itu, di antaranya spons laut, karang lunak, tunikata, dan teripang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keanekaragaman spesies biota laut di Indonesia berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa biota laut, khususnya jenis invertebrata, mampu menghasilkan senyawa aktif yang bermanfaat sebagai pengobatan.
Kelompok invertebrata yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku obat, antara lain, spons, karang lunak, tunikata, dan teripang. Jenis invertebrata laut tersebut menghasilkan senyawa aktif yang menghasilkan aktivitas farmakologi, seperti antikanker, antimikroba, antiviral, antiinflamasi, dan antiparasit.
Hal itu disampaikan oleh Masteria Yunovilsa Putra dalam orasi ilmiah berjudul ”Keanekaragaman Senyawa Bahan Alam dari Invertebrata Laut Indonesia dan Potensinya sebagai Bahan Baku Obat”, di Jakarta, Kamis (14/12/2023). Ia dikukuhkan sebagai profesor riset bidang bioteknologi kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Pada kesempatan yang sama, terdapat tiga periset lain yang juga dikukuhkan sebagai profesor riset BRIN, yakni Agung Hendriadi, Sunarno, dan Asif Awaludin. Empat periset tersebut merupakan profesor riset ke-38, 39, 40, dan 41 di lingkungan BRIN.
Masteria menjelaskan, senyawa metabolit sekunder dari invertebrata laut mempunyai struktur kimia yang beragam yang dapat dimanfaatkan dalam bidang farmakologi. Senyawa metabolit sekunder dari organisme laut kini sudah banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat di dunia. Pengembangan dan penelitian terkait obat yang berasal dari biota laut pun semakin berkembang.
Kelompok invertebrata yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku obat, antara lain, spons, karang lunak, tunikata, dan teripang. Jenis invertebrata laut tersebut menghasilkan senyawa aktif yang menghasilkan aktivitas farmakologi.
Karena itu, pengembangan bahan baku obat ataupun produk farmasi yang berasal dari biodiversitas laut Indonesia seharusnya bisa menjadi salah satu pilar dalam transformasi sistem kesehatan nasional. Hampir 90 persen produk farmasi dan bahan baku farmasi di Indonesia masih diperoleh dari produk impor. Padahal, Indonesia punya kekayaan biodiversitas yang amat tinggi.
”Kekayaan biodiversitas itu merupakan sumber bahan baku obat karena menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas biologi yang dapat dikembagkan sebagai produk farmasi.” tutur Masteria.
Ia menyampaikan, jumlah spesies biota laut di Indonesia diperkirakan lebih dari 35.000 spesies. Ratusan senyawa bioaktif kini telah berhasil diisolasi dari organisme dan mikroorganisme laut Indonesia. Dari berbagai biota laut, invertebrata laut merupakan jenis biota laut yang menghasilkan senyawa aktif tertinggi di Indonesia.
Invertebrata
Masteria yang juga merupakan Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat Organisasi Riset Kesehatan BRIN mengatakan, penelitian tentang senyawa metabolit sekunder yang berasal dari biota laut di Indonesia baru dimulai pada 1972. Sebagian besar senyawa metabolit sekunder dihasilkan dari invertebrata laut, seperti spons, karang lunak, tunikata, dan teripang. Keempat jenis invertebrata laut itu pula yang saat ini menjadi fokus riset dari Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN.
Ia menuturkan, spesies karang lunak dari genus Sarcophyton, Sinularia, dan Lobophytum merupakan spesies yang paling banyak diteliti terkait pemanfaatannya sebagai bahan baku obat. Sebagian besar senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan karang lunak memiliki aktivitas antiinflamasi, antikanker atau sitotoksik, dan antibakteri.
Adapun pada spons laut Indonesia, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa biota laut tersebut berpotensi sebagai penghasil senyawa antikanker. Selain pengujian terhadap sel kanker, spons laut juga telah dikaji sebagai antibakteri, antijamur, antioksidan, dan antimalaria.
Manfaat serupa ditemukan pada senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tunikata di Indonesia. Hasil ekstraksi tunikata dari perairan Buton dan Selayar menunjukkan, setidaknya dua spesies tunikata, yaitu Didemnum molle dan Botryllus schlosseri, memiliki aktivitas antibakteri dan sitotoksik.
Jenis invertebrata laut lain di Indonesia yang potensial sebagai bahan baku obat adalah teripang. Teripang telah dikenal memiliki antioksidan yang tinggi. Berbagai riset membuktikan bahwa teripang yang hidup di perairan Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai produk biofarmakologi. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh teripang juga memiliki aktivitas antibakteri dan sitotoksik yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber antibiotik ataupun antikanker.
Tantangan
Menurut Masteria, besarnya peluang biofarmakologi laut di Indonesia harus dimanfaatkan dan dikelola secara optimal untuk mendukung kemandirian Indonesia dalam menyediakan bahan baku obat dalam negeri. Itu sebabnya, berbagai tantangan dalam pengembangan bahan baku obat di Indonesia, termasuk pengembangan bahan baku yang berasal dari biota laut perlu diatasi.
Eksplorasi biota laut di Indonesia harus ditingkatkan. Saat ini, kesadaran peneliti ataupun dosen akan pentingnya biota laut sebagai penghasil senyawa aktif masih kurang. Selain itu, penelitian kimia bahan alam (KBA) laut di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh peneliti dari negara lain yang bekerja sama dengan peneliti Indonesia. Lemahnya hukum terkait riset dengan peneliti asing membuat komersialisasi terhadap hasil riset lebih banyak menguntungkan pihak asing.
”Riset dan inovasi dalam pengembangan senyawa bahan alam dari biota laut di Indonesia perlu dilakukan secara konsisten. Kerja sama antara peneliti dan dosen bersama industri perlu dilakukan sejak tahapan riset di sisi hulu sehingga proses hilirisasi dapat dipercepat dan dimanfaatkan segera oleh masyarakat,” kata Materia.
Wakil Kepala BRIN Amarulla Octavian mengatakan, riset dan inovasi yang telah dihasilkan oleh para periset di Indonesia diharapkan dapat menjadi dasar dalam pencanangan kebijakan dari pemerintah. Pemerintah sudah mencanangkan pembentukan kebijakan berbasis riset sehingga setiap kebijakan harus didasarkan dari hasil riset yang ilmiah.
”Setiap kebijakan pemerintah harus disusun secara terstruktur dan sistematis sesuai tahapan critical thinking, mulai dari hasil pure research, basic research, fundamental research, generic research, hingga advance research,” ucapnya.