25 Persen Anak Konsumsi Minuman Manis Kemasan Setiap Hari
Pengendalian kesehatan melalui penerapan cukai semakin mendesak untuk melindungi anak dari dampak buruk mengonsumsi minuman berpemanis.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu dari empat anak di bawah usia 17 tahun setiap hari mengonsumsi minuman manis dalam kemasan. Upaya pengendalian melalui penerapan cukai semakin mendesak untuk mencegah risiko diabetes melitus dan obesitas yang semakin meningkat di masyarakat.
Survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Juni 2023 di sepuluh kota di Indonesia menunjukkan, 25,9 persen anak usia kurang dari 17 tahun setiap hari mengonsumsi minuman bermanis dalam kemasan (MBDK). Selain itu, 31,6 persen anak setidaknya 2-6 kali dalam seminggu mengonsumsi MBDK.
Adapun survei tersebut dilakukan pada 800 responden yang dipilih secara acak berjenjang di sepuluh kota, yakni Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Balikpapan, Makassar, dan Kupang. Responden berusia 17 tahun ke atas yang sekaligus mewakili pola konsumsi rumah tangga, termasuk pada anak.
”Anak-anak yang mengonsumsi MBDK itu sangat tinggi di Indonesia. Jika ditotal, ada lebih dari 56 persen anak yang hampir setiap hari dalam seminggu mengonsumsi MBDK. Ini perlu menjadi perhatian sebab bisa menjadi kondisi kritis bagi anak-anak kita,” kata salah satu anggota tim peneliti terkait MBDK dari YLKI, Ainul Huda, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (11/12/2023).
Ainul, yang juga peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyampaikan, tingginya konsumsi MBDK pada masyarakat, terutama anak-anak, patut menjadi perhatian bersama. Kebiasaan mengonsumsi minuman manis sangat berkaitan sebagai penyebab berbagai penyakit tidak menular, seperti diabetes melitus tipe 2 dan obesitas.
Anak-anak yang mengonsumsi MBDK itu sangat tinggi di Indonesia. Jika ditotal, ada lebih dari 56 persen anak yang hampir setiap hari dalam seminggu mengonsumsi MBDK.
Sementara saat ini, kondisi masyarakat dengan penyakit tidak menular sudah sangat tinggi. Data riset kesehatan dasar pada 2018 menyebutkan, 3 dari 10 populasi di Indonesia mengalami obesitas. Terkait konsumsi gula, Indonesia pun telah tercatat menjadi negara tertinggi ketiga di ASEAN yang mengonsumsi gula lebih dari 50 gram per hari.
Faktor penyebab
Ainul menuturkan, ada beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan bagi pemangku kepentingan dalam upaya pengendalian konsumsi MBDK di Indonesia. Faktor terbesar yang membuat konsumsi memilih MBDK yakni rasa penasaran dan preferensi rasa. Namun, faktor lain yang juga patut menjadi pertimbangan yakni faktor harga. Sekitar 14 persen responden memilih MBDK karena harga yang murah.
Dalam survei yang dilakukan YLKI memperlihatkan pula situasi yang cukup mengkhawatirkan. Sebanyak 51,2 persen responden yang memiliki persoalan dengan konsumsi gula masih mengonsumsi minuman manis dalam kemasan secara rutin.
Bahkan, mayoritas konsumen pun memahami bahwa konsumsi MBDK dapat meningkatkan risiko obesitas. Sebanyak 78 persen responden mengerti jika konsumsi MBDK berisiko pada obesitas dan 81 persen paham bahwa konsumsi MBDK dapat menyebabkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan secara keseluruhan.
Anggota tim peneliti sekaligus tim advokasi terkait MBDK dari YLKI, Rully Prayoga, menambahkan, faktor lain yang turut memengaruhi tingginya konsumsi MBDK di masyarakat yaitu kemudahan akses masyarakat terhadap produk MBDK. Rata-rata konsumen dapat mengakses produk MBDK hanya dalam jangka waktu 2-10 menit dari tempat tinggal. Pembelian MBDK paling banyak dilakukan di warung, minimarket, dan supermarket.
Kemudahan akses ini bisa terjadi karena tidak ada aturan produksi dan distribusi yang secara khusus mengantur penjualan produk MBDK. Hal itu semakin diperberat dengan pemasaran yang agresif pada produk MBDK. Teknik pemasaran yang meningkatkan ketertarikan pada konsumen anak pun cukup banyak dilakukan, mulai dari membuat kemasan dengan gambar yang menarik perhatian anak dan adanya diskon ataupun penyediaan kemasan kecil dengan harga yang terjangkau oleh anak.
Penerapan cukai minuman berpemanis
Itu sebabnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menilai, penerapan cukai MBDK semakin mendesak sebagai salah satu strategi untuk mengendalikan konsumsi MBDK di masyarakat, terutama pada anak. Cukai yang diterapkan pun harus signifikan meningkatkan harga dari produk MBDK. Jika harga MBDK tidak terlalu mudah, masyarakat akan lebih mempertimbangkan untuk membeli MBDK.
Dari survei yang dilakukan YLKI, setidaknya ketika terjadi kenaikan harga MBDK hingga 25 persen, konsumsi MBDK di masyarakat akan berkurang hingga 18 persen. Karena itu, kenaikan cukai pada MBDK diharapkan bisa lebih dari 25 persen.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan agar setiap negara dapat menaikkan pajak pada minuman alkohol dan minuman berpemanis. Penerapan pajak tersebut diharapkan dapat mendorong perilaku hidup sehat di masyarakat. Saat ini, 108 negara telah menerapkan cukai atas minuman berpemanis gula. Namun, besaran rata-rata cukai yang diterapkan sebesar 6,6 persen masih dianggap terlalu rendah (Kompas.id, 6/12/2023).
Tulus mengatakan, rencana Pemerintah Indonesia untuk menerapkan cukai pada MBDK pada 2024 sebaiknya tidak lagi ditunda. Percepatan justru perlu dilakukan untuk lebih dini mengontrol pola konsumsi masyarakat dan menyelamatkan masyarakat dari berbagai risiko penyakit tidak menular. Strategi lain dapat dilakukan bersamaan, antara lain dengan memperjelas label informasi nutrisi pada MBDK, mewujudkan kantin sekolah bebas MBDK, dan lebih masif mengedukasi masyarakat akan bahaya kesehatan akibat terlalu banyak mengonsumsi gula.
“Pemerintah harus didorong untuk melakukan intervensi di sisi hulu. Kebijakan cukai merupakan upaya intervensi yang paling efektif dan paling mudah untuk diterapkan untuk mengendalikan konsumsi MBDK di masyarakat. Itu yang paling mudah dikontrol untuk saat ini,” tuturnya.