Butuh Kebijakan Inklusif untuk Kesejahteraan Sosial
Kebijakan inklusif dan berpihak kepada masyarakat marjinal perlu didorong demi mewujudkan kesejahteraan sosial.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia (UI) Francisia Saveria Sika Ery Seda memberikan pidato ilmiah dalam acara pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/12/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kesejahteraan sosial erat kaitannya dengan kepuasan hidup dan pemenuhan kebutuhan ekonomi setiap individu. Kesejahteraan sosial tidak mungkin tercipta tanpa adanya kebijakan sosial inklusif yang merangkul masyarakat dari beragam jender, etnis, ras, agama, orientasi seksual, ideologi politik, dan strata sosial.
Hal itu menjadi topik utama orasi ”Kemiskinan, Eksklusi Sosial, dan Social Wellbeling dalam Perspektif Studi Pembangunan” yang disampaikan Prof Dra Fancisia Saveria Sika Ery Seda, MA, PhD saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Pengukuhan dilakukan di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/12/2023).
Fancisia Saveria Sika Ery Seda mengatakan, keberpihakan kepada kelompok marjinal yang mengalami proses eksklusi sosial sangat signifikan dan relevan bagi peneliti sosiologi. ”Kelompok marjinal mengalami proses eksklusi sosial, secara vertikal berdasarkan stratifikasi sosial ataupun secara horizontal,” ujarnya.
Mereka dinilai merupakan kelompok sosial di dalam masyarakat yang perlu mendapat prioritas dalam berbagai kajian dan penelitian sosiologis. Dengan cara itu, sosiologi dapat berkontribusi pada kebijakan sosial yang inklusif serta dapat mencari solusi yang tepat dan berdaya guna.
Menurut Ery Seda, kebijakan sosial yang inklusif merupakan kontribusi utama sosiologi sebagai ilmu terapan bagi kesejahteraan bersama, terutama bagi kelompok marjinal yang mengalami proses eksklusi sosial karena identitas minoritasnya, baik itu etnis, level disabilitas, jender, ras, agama, orientasi seksual, ideologi politik, maupun strata sosial. ”Di tiap masyarakat, kelompok marjinal ada meski dengan gradasi marjinalitas dan eksklusi sosial berbeda,” ujarnya.
Selama ini, kelompok marjinal dalam posisi kurang menguntungkan dan terjerat kemiskinan. Dalam perkembangannya, studi mengenai kemiskinan tak hanya terkait dengan tingkat pendapatan, tetapi juga kapabilitas mendasar individu. Dengan perkembangan ini, kriteria utama untuk mengukur pembangunan suatu negara bukan hanya pertumbuhan ekonomi, melainkan juga melihat kapabilitas manusia. Hal ini berdasarkan buku Development as Freedom karya Amartya Sen.
Proses eksklusi sosial
Lebih jauh lagi, kemiskinan berkaitan dengan eksklusi sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat. ”Proses eksklusi sosial bisa diinterpretasikan beragam, seperti kondisi kemiskinan dan beragam kekuatan sosial yang memengaruhinya; pelanggaran dan masalah pada sikap dan moralitas individual; aspek sosial atau integrasi sosial berorientasi pekerjaan; dan kemampuan memasuki pasar kerja untuk mencapai masyarakat kohesif,” papar Ery Seda.
Kesejahteraan sosial erat kaitannya dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang. ”Salah satu dari kepuasan hidup adalah kepuasan ekonomi yang dikaitkan dengan kebahagiaan individu dan dinamakan sebagai social wellbeing,” ungkapnya.
Dalam ilmu sosiologi, keterkaitan kemiskinan, eksklusi sosial, dan kesejahteraan sosial banyak dibahas. Salah satunya melalui perspektif studi pembangunan dan perspektif pembangunan alternatif dengan menekankan pada relasi antara negara, pasar, dan masyarakat. Karena itu, perlu tercipta kebijakan inklusif dan berpihak kepada masyarakat marjinal. ”Kelompok marjinal perlu diperjuangkan tak hanya oleh negara, tetapi juga oleh pasar dan masyarakat,” katanya.
Ery Seda merupakan Guru Besar dalam Bidang Studi Pembangunan. Ia lahir di Jakarta, 3 Desember 1962, dari pasangan Franciscus X Seda dan Johanna M Pattinaja Seda. Ery Seda kuliah S-1 Sosiologi di FISIP UI pada 1982–1987. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S-2 Asian Studies pada 1988–1989 di Cornell University, New York, dan S-3 Development Studies pada 1993–2001 di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.
Kelompok marjinal perlu diperjuangkan tak hanya oleh negara, tetapi juga oleh pasar dan masyarakat.
Adapun Ery Seda mengawali karier akademik sebagai pengajar di FISIP UI pada 1 Maret 1990. Sejak 1 Januari 2001 ia kemudian menjabat sebagai asisten ahli di fakultas yang sama. Selanjutnya, pada 2004 ia menempati posisi sebagai lektor di FISIP UI.
Ia juga pernah menempati sejumlah posisi penting, seperti Ketua Program Studi Pascasarjana Sosiologi, FISIP UI (2005–2008), Ketua Dewan Redaksi Masyarakat, Jurnal Sosiologi (2008–2016), Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI (2017–2020), dan sejak 1 Agustus 2023 menjadi Guru Besar Studi Pembangunan FISIP UI.
Ery Seda mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain penghargaan dosen inti penelitian FISIP UI pada 2016 dan mendapatkan Surat Pencatatan Ciptaan dari Kementerian Hukum dan HAM berupa karya tulis Instrumen Indeks Konsumerisme Pangan pada 2017.
Ery Seda dikukuhkan sebagai guru besar ke-82. Sebelumnya, Universitas Indonesia juga mengukuhkan Prof Dr Donna Asteria, SSos, MHum sebagai guru besar ke-81. Secara total, saat ini terdapat 428 guru besar di UI.
Pada kesempatan yang sama, Prof Donna Asteria dikukuhkan sebagai Guru besar FISIP UI bidang komunikasi lingkungan. Ia memaparkan tentang perubahan iklim yang menimbulkan kompleksitas masalah dengan dampak jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan, sosial, dan ekonomi serta memicu konflik.
”Dalam menghadapi situasi ini, komunikasi berfungsi tidak hanya sebagai instrumen atau alat perjuangan untuk mengupayakan kelestarian lingkungan alam, tetapi komunikasi lingkungan seharusnya menjadi bagian dalam pengelolaan lingkungan,” katanya.
Menurut Donna, pertukaran informasi bersifat dialogis akan membentuk kesamaan pemahaman yang bersifat memberdayakan masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi diperlukan untuk membentuk pengetahuan sehingga terjadi transformasi sebagai dasar kesadaran untuk menjaga dan melindungi lingkungan.