Emisi Energi Fosil dan Deforestasi Indonesia 10 Besar Terburuk di Dunia
Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3 persen pada 2022 menjadi 728,9 metrik ton. Kenaikan emisi disumbang dari alih fungsi lahan, deforestasi, dan penggunaan energi fosil, utamanya batubara.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
DUBAI, KOMPAS — Laporan terbaru Global Carbon Project menunjukkan penggunaan energi fosil, alih fungsi lahan, dan deforestasi menyumbang emisi karbon pemicu perubahan iklim yang tinggi bagi Indonesia pada 2022. Indonesia diharapkan merumuskan strategi tepat dan komitmen lebih serius untuk menurunkan emisi penyebab perubahan iklim.
Global Carbon Project merilis laporan global tentang emisi karbon yang disusun 120 ilmuwan internasional, Senin (4/12/2023). Laporan itu menunjukkan, jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3 persen pada 2022 menjadi 728,9 metrik ton. Capaian kenaikan emisi disumbang dari alih fungsi lahan, deforestasi, dan penggunaan energi fosil, khususnya batubara.
”Global Carbon Project menunjukkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara sepuluh besar penghasil karbon di seluruh dunia,” tulis rilis Yayasan Indonesia Cerah yang merumuskan laporan tersebut, Selasa (5/12/2023).
Sektor energi fosil yang diukur dari industri batubara, minyak bumi, gas, semen, dan pembakaran gas menunjukkan batubara menjadi yang paling agresif emisinya pada 2017-2022. Emisi dari batubara terus meningkat dan tumbuh positif rata-rata 9,7 persen per tahun dibandingkan dengan emisi aktivitas fosil lainnya yang tumbuh negatif secara tahunan beberapa tahun terakhir.
Hal ini difaktori konsumsi energi berbahan batubara yang terus meningkat pada periode sama. Sejak 2017-2022, konsumsi energi tahunan meningkat tajam 12,1 persen per tahun hingga lebih dari 4 exajoules. Sementara itu, konsumsi energi terbarukan ada di posisi kurang dari 1 exajouoles meskipun meningkat 22,2 persen per tahun enam tahun terakhir.
Di sektor penggunaan lahan, selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton dan menyumbang 19,9 persen dari total emisi alih fungsi lahan dunia. Emisi ini dihasilkan tidak hanya dari kegiatan deforestasi atau penebangan hutan, tetapi juga aktivitas panen kayu di hutan industri.
Data itu menempatkan Indonesia di urutan kedua negara pengemisi karbon dari sektor alih fungsi lahan setelah Brasil dan membawahi Kongo, Malaysia, Tanzania, Vietnam, Myanmar, Meksiko, Angola, dan Etiopia.
Emisi ini dihasilkan tidak hanya dari kegiatan deforestasi atau penebangan hutan, tetapi juga aktivitas panen kayu di hutan industri.
Menanggapi laporan ini, Communication Specialist 350.org Indonesia, Firdaus Cahyadi, mengatakan, Indonesia, sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) setidaknya sampai pada tahun 2040, masih akan bergantung pada energi fosil, terutama batubara. Ini terbaca dari tren hingga akhir 2022, yang menunjukkan realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer baru 12,3 persen, jauh dari target 23 persen pada 2025.
”Bahkan lebih parahnya, ketika ekspor batubara diproyeksikan akan menurun, konsumsi dalam negeri akan terus naik. Konsumsi batubara akan semakin besar dari tahun ke tahun, selain untuk produksi listrik pada jaringan listrik PLN, juga untuk pembangkit captive, terutama industri mineral,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Produksi listrik dari batubara yang juga direncanakan akan dikurangi dengan pemanfaatan co-firing biomassa kayu, pada saat bersamaan juga berpotensi meningkatkan deforestasi. Trend Asia melaporkan, 240.622 hektar hutan alam akan terdeforestasi dan menghasilkan 155,9 juta ton emisi gas rumah kaca.
”Sebanyak 43,59 persen angka emisi kita berasal dari hutan dan lahan, yang menandakan buruknya perlindungan hutan. Akibatnya, dampak perubahan iklim yang dialami Indonesia akan semakin parah. Padahal, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, yang akan memperparah bencana hidrometeorologi yang saat ini saja sudah mendera kita,” ujar juru kampanye energi Trend Asia, Novita Indri.
Di sektor hutan dan penggunaan lahan, sesuai revisi dokumen kontribusi nasional (enhanced nationally determined contribution/ENDC) untuk menurunkan emisi karbon penyebab perubahan iklim sampai 2030, Indonesia akan menjalankan kebijakan Forest and Land Use (FOLU) Net Sink 2030.
Strategi FOLU Net Sink 2030 yang ditetapkan pemerintah terdiri dari lima langkah, yakni pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, membangun hutan tanaman kayu, pengelolaan hutan berkelanjutan, rehabilitasi hutan, serta pengelolaan lahan gambut.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Krisdianto mengatakan, strategi itu dilakukan tanpa meninggalkan prinsip keberlanjutan. Ia menyebut, Indonesia sudah tidak lagi mengizinkan deforestasi hutan alam di lokasi yang tidak memiliki izin penggunaan lahan.
Sementara itu, Indonesia juga menerapkan pengelolaan hutan lestari untuk memastikan hilangnya kemampuan penyerapan karbon dari tanaman akibat deforestasi atau pemanfaatan hutan dan lahan dapat digantikan.
”Jadi, pada saat kita menebang pohon, itu kita sudah harus menanam. Kita juga menerapkan sistem tebang pilih, pohon di hutan itu tidak sembarangan ditebang, dilihat dari jenis tanamannya, usia, dan diameter pohon,” katanya saat ditemui di lokasi penyelenggaraan COP28 di Expo Dubai, Dubai, Uni Emirat Arab.
Pada saat bersamaan, kebijakan penggunaan lahan Indonesia, menurut dia, juga masih diupayakan untuk kepentingan nilai tambah ekonomi untuk ketahanan ekonomi dan sosial rakyat dan negara.
”Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyebut bahwa sumber daya alam kita digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hutan produksi yang fungsinya untuk memproduksi, mendapatkan nilai tambah. Lalu, pada saat bersamaan memberi sumber ekonomi tambahan pada masyarakat,” katanya.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan, dengan strategi itu, Indonesia masih memberi peluang kegiatan penggunaan lahan dan hutan sebagai penghasil emisi karbon. ”Emisi pembukaan lahan atau panen kayu dari hutan tanaman industri tinggi. Di satu sisi, pemerintah memasukannya sebagai bagian aforestasi (konversi lahan bukan hutan menjadi hutan),” ujarnya.
Oleh karena itu, Greenpeace Indonesia, kata Iqbal, mengkritik kebijakan FOLU Net Sink Indonesia. ”Alih-alih mengurangi emiten karbon dengan menghentikan deforestasi dan kebakaran hutan lahan dan gambut, malahan masih merencanakan deforestasi dan membangun hutan tanaman di lahan gambut,” katanya.
Tulisan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security.