Proyek Sanitasi Aman di Pakuhaji dari Bantuan Pembaca ”Kompas” Dimulai
Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas memulai program pembangunan sanitasi aman di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten. Selain untuk mengurangi pencemaran, program ini dinilai mampu menekan ”stunting”.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas memulai program pembangunan sanitasi aman di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (30/11/2023). Di tahap awal, sebanyak 50 fasilitas sanitasi aman akan dibangun dalam jangka waktu tiga bulan ke depan. Selain untuk mengurangi pencemaran, program ini diharapkan dapat menekan risiko tengkes di kawasan pesisir.
Program sanitasi aman sudah mulai dicanangkan sejak 2021 lalu. Beberapa warga di sejumlah daerah sudah menerimanya, seperti Surabaya dan Malang, Jawa Timur, serta di Solo dan Magelang, Jawa Tengah. Di sana, setidaknya lebih dari 1.000 fasilitas sanitasi aman telah terbangun.
Kini YDKK kembali membangun 50 unit fasilitas sanitasi sehat berupa jamban dan tangki kotoran (septic tank) di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten dengan menggandeng Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Putra Pakuhaji. Sasarannya adalah keluaraga yang tidak memiliki fasilitas sanitasi memadai, terutama yang tinggal di kawasan pesisir.
Manajer Eksekutif Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (YDKK) Anung Wendyartaka dalam sambutannya pada acara serah terima Program Sanitasi Aman di Kantor Kecamatan Pakuhaji, Kamis (30/11/2023), menjelaskan, bantuan fasilitas sanitasi aman ini dikucurkan untuk membantu masyarakat agar dapat menikmati ruang sanitasi yang sehat dan memadai.
Berdasarkan hasil pengamatan dari Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Putra Pakuhaji, masih banyak warga di kawasan ini yang membuang hajat di sembarang tempat, ada yang di sungai, laut, ataupun kebun. Kondisi ini tentu akan sangat mengkhawatirkan karena berpotensi mencemari lingkungan.
Oleh sebab itu, melalui program sanitasi aman, ujar Anung, warga mulai diedukasi untuk menerapkan cara hidup sehat.
Ia menjelaskan, fasilitas sanitasi aman yang akan dibuat ini menggunakan konsep septic tank kedap air sehingga limbah (kotoran) yang dihasilkan di setiap rumah tangga tidak terbuang sembarangan. ”Kapasitas septictank ini pun cukup besar. Bisa digunakan sampai tiga tahun,” katanya.
Selain untuk mengurangi risiko pencemaran dan tumbuhnya penyakit, fasilitas sanitasi sehat akan berdampak pada menurunnya angka tengkes (stunting) lantaran terciptanya lingkungan yang sehat. ”Program ini sejalan dengan visi pemerintah yang ingin mengentaskan stunting,” katanya.
Di tahap awal, ujar Anung, akan dibuatkan sekitar 50 jamban yang akan menelan waktu hingga tiga bulan. Dalam pengerjaannya, juga akan melibatkan masyarakat agar keuntungan ekonominya dapat dinikmati bersama.
Dari hasil itu, lanjut Anung, akan dievaluasi terkait apa yang perlu dibenahi. Berkaca pada pembuatan sanitasi sehat di daerah sebelumnya, banyak kendala yang ditemui di lapangan.
Dimulai dari struktur tanah yang labil hingga kondisi cuaca yang kurang mendukung. Kondisi ini membuat proses pembangunan menjadi lebih lama. ”Apalagi saat ini hujan sudah mengguyur, tentu butuh waktu lebih untuk mengerjakannya,” ucap Anung.
Ketua KSM Putra Pakuaji Siswoyo menuturkan, kebiasaan buruk warga yang membuang limbah sembarang ia temukan saat melakukan pendataan dokumen kependudukan. Dari hasil pengamatan itu, ada warga yang di rumahnya tidak memiliki ruang sanitasi. Tak heran banyak dari mereka yang melakukan aktivitas sanitasi sembarangan.
Dengan dicanangkannya program ini, Siswoyo berharap dapat mengikis kebiasaan warga yang kerap buang air besar sembarangan. ”Di sini, ukuran WC-nya bukan 3 meter x 4 meter lagi, melainkan sudah 1 hektar. Selesai buang hajat, langsung tinggal,” katanya.
Dia pun meminta agar program ini dapat terus berlanjut tidak hanya selesai di 50 jamban, tetapi bisa lebih dari itu. ”Dari proposal awal, kami mengusulkan 116 jamban, semoga ke depan bisa ditambah lagi,” ucap Siswoyo.
Ketua IKI Saifullah Mashum mengatakan, muara dari pemberian bantuan ini tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. Selama ini, masih ada warga yang menganggap membuang hajat sembarangan adalah hal yang lumrah.
Banyak warga yang beranggapan jika kotoran itu harus dikembalikan ke alam. ”Kebiasaan itu mungkin bisa dimaklumi jika warga di Pakuhaji hanya 50 orang. Namun, kalau jumlahnya sudah ratusan ribu orang, kebiasaan itu akan menjadi masalah besar,” ucapnya. Karena itu, kolaborasi antarpihak sangat dibutuhkan agar warga bisa hidup dengan lebih layak.
Sekretaris Kecamatan Pakuhaji Faizal Rizky menuturkan, jumlah penduduk di wilayahnya saat ini sekitar 300.000 orang. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan, petani, dan pedagang.
Dari jumlah itu, sekitar 20 persen di antaranya belum memiliki fasilitas sanitasi yang baik. Kendala utamanya adalah masalah biaya. ”Masih banyak warga di Pakuhaji yang hidup dalam kemiskinan,” katanya.
Untuk mengentaskan masalah itu, berbagai program dari pemerintah sudah dicanangkan. Termasuk membangun ruang sanitasi secara komunal. Namun, program itu belum mampu memenuhi kebutuhan warga secara keseluruhan.
Masih banyak warga di Pakuhaji yang hidup dalam kemiskinan
Karena itu, bantuan dari sejumlah pihak, baik swasta maupun komunitas, sangat diharapkan. Pemerintah pun berkomitmen untuk mengedukasi warga agar mulai menerapkan kebiasaan hidup sehat, termasuk tidak membuang kotoran sembarangan.
Dokumen kependudukan
Di waktu yang sama, IKI juga membagikan dokumen kependudukan kepada sejumlah warga. Dokumen itu seperti akta kelahiran, akta kematian, dan akta perkawinan. Dalam acara itu, dibagikan akta perkawinan untuk 50 pasangan.
Sekretaris IKI Mahendra Kusuma Putra menuturkan, masih banyak warga di Indonesia yang belum menerima dokumen kependudukan yang lengkap akibat keterbatasan akses. Kondisi ini akan berdampak pada sulitnya mereka mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.
Dia mencontohkan, di Pakuhaji banyak warga yang belum mendapatkan akkta kelahiran karena akses menuju dinas kependudukan dan catatan sipil yang sangat jauh. Selain itu, masih banyak dari mereka yang buta huruf sehingga sulit untuk mengisi formulir yang diberikan.
Warga harus terus didampingi agar bisa memperoleh hak dasarnya, yakni diakui sebagai warga negara. Hingga kini, setidaknya ada 50 daerah yang sudah menerima bantuan. Namun, itu belum cukup karena mungkin masih ada wilayah yang belum tersentuh. ”Karena itu, keterlibatan seluruh elemen masyarakat sangat dibutuhkan,” ucap Mahendra.