Saat Guru Memburu ”Centang Hijau”
Peningkatan mutu guru terus diupayakan dengan memanfaatkan teknologi digital. Namun, cara ini tidak seharusnya menjadi sesuatu yang dipaksakan.
Selama 20 tahun, krisis pembelajaran terjadi di ruang kelas dan sekolah. Ini terlihat dari hasil belajar dan kemampuan dasar siswa yang secara umum masih di bawah standar. Pada akhirnya, guru terus dibidik untuk meningkatkan kapasitas diri. Padahal, selama ini kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan keprofesionalan guru secara berkelanjutan terbatas.
Namun, keterbatasan akses tersebut kini terbuka seiring era digital yang berkembang pesat. Sejak tahun 2022, Platform Merdeka Mengajar (PMM) diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai platform yang memfasilitasi guru untuk belajar dan berlatih mandiri hingga mendapat sertifikat. Guru pun dapat inspirasi dan berbagi karya.
Muhammad Ali Sodikin, Guru SMK Negeri Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, misalnya. Ia mengunggah aplikasi Merdeka Mengajar di gawai maupun laptopnya dan memanfaatkan platform tersebut untuk belajar mandiri. Hingga November ini, sudah empat sertifikat yang dimilikinya karena mampu menyelesaikan materi hingga akhirnya mendapat centang hijau.
”Untuk guru yang senang belajar, PMM jadi semacam media sosial guru, memang bermanfaat. Ada banyak sumber belajar dan insipirasi. Sayangnya, ajakan belajar mandiri lewat PMM di mana saja dan kapan saja ini bukan dibangun dari kesadaran diri. Banyak daerah yang kini mewajibkan guru untuk mengunggah dan mengerjakan modul hingga dapat centang hijau supaya sekolah jangan kena tegur. Soalnya dari pusat hingga kepala sekolah bisa memantau status PMM,” kata Ali, Jumat (24/11/2023).
Baca juga: Platform Digital Bantu Guru Menerapkan Kurikulum Merdeka
Ali mengisahkan, saat belajar mandiri di PMM, ada beberapa modul yang harus dikerjakan. Guru diminta menonton video, lalu ada materi, jika sudah tuntas akan ada tanda centang hijau. Setiap menyelesaikan modul akan ada tes yang jika dikerjakan dengan benar juga mendapat centang hijau. Yang terakhir ada aksi nyata. Guru bisa membuat video atau bentuk lain sebagai bukti bahwa guru tersebut mengimplementasikan topik yang sudah dipelajarinya di ruang kelas.
Nah, aksi nyata ini sering jadi batu sandungan bagi banyak guru. Ketika bukti aksi nyata dikirim ada dua kemungkinan. Pertama, bisa diterima, yang berarti kembali mendapat centang hijau, lalu keluar sertifikat yang bisa digunakan untuk menambah poin kenaikan jenjang karier. Kedua, bukti aksi nyata harus diperbaiki. Artinya centang hijau tertunda sehingga sertifikat pun tidak bisa terbit.
Guru tidak lagi sibuk urusan administrasi semata, termasuk sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di PMM.
Guru yang bersemangat mampu mendapatkan banyak bintang karena menuntaskan pelatihan mandiri. Di grup percakapan komunitas guru sering terkirim kabar gembira guru yang menambah jumlah sertifikat dan bintang. Sementara guru lain yang belum mendapat sertifikat, dengan antusias menanyakan tips atau trik agar aksi nyata bisa lolos dikurasi sehingga centang hijau dari satu topik bisa sempurna.
PMM menjadi cara pemerintah mengubah kesiapan guru menerapkan kurikulum baru, yakni Kurikulum Merdeka. Tidak perlu menunggu giliran pelatihan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kepala sekolah dan guru yang tetarik menerapkan Kurikulum Merdeka bisa belajar secara mandiri. Semua materi Kurikulum Merdeka diunggah di PMM. Bahkan, praktik baik dibagikan dari sejumlah sekolah dan guru.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam berbagai kesempatan membanggakan PMM sebagai sejarah baru. Dengan PMM, akses belajar guru terbuka secara inklusif. Bahkan, para guru bisa saling berbagi dan memberi umpan balik.
Dengan demikian, momok pelatihan guru yang hanya dinikmati segelintir guru dan menyedot anggaran yang besar bisa dijawab dengan PMM. Jutaan guru mengunduh dan memanfaatkan PMM dalam waktu singkat. Di tahun 2024, Kurikulum Merdeka pun siap menjadi kurikulum nasional karena para guru diklaim siap akibat pelatihan massif secara mandiri di PMM.
Diwajibkan
Meskipun mengerti PMM bermanfaat untuk memahami Kurikulum Merdeka dan meningkatkan kompetensi secara mandiri, para guru di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, belum banyak yang memanfaatkannya. Kendalanya, antara lain, gangguan jaringan internet dan banyak guru yang belum tahu cara membuka dan menggunakan PMM.
”Sebenarnya, para guru sering mendapat pesan di PMM. Tapi kesulitan membuka pesan. Kami belum pernah mendapat pelatihan PMM,” kata N, salah seorang Kepala SD di kecamatan Bayan.
Akibat tidak dapat mengakses PMM, para guru sulit untuk memahami implementasi Kurikulum Merdeka. Mereka belum mengerti modul ajar sesuai fase, asesmen, proyek profil pelajar Pancasila, dan banyak hal lainnya. ”Jujur, guru-guru kami masih bingung dalam menerapkan profil pelajar Pancasila kepada siswa sesuai Kurikum Merdeka, termasuk saya sebagai penanggung jawab lembaga juga belum begitu paham dengan Kurikulum Merdeka,” tutur N.
Sementara itu, di Kota Batam, guru-guru wajib mencapai target yang ditetapkan dinas pendidikan setempat. Seorang guru SD, M, mengatakan, tahun lalu guru diwajibkan meyelesaikan empat topik, untuk tahun 2023 menjadi 8 topik.
”Kan, bisa kelihatan kalau guru mengerjakan PMM atau tidak, bisa dipantau kepala sekolah. Kalau sudah selesai, semuanya centang hijau dan dapat sertifikat,” ujar M.
Demi menuntaskan target belajar PMM yang ditetapkan, para guru di sekolah M pun bersepakat belajar bersama. Usia sekolah pukul 15.30, guru berkumpul di ruangan, masing-masing membuka akun PMM jika sudah mengaktifkan akun belajar.id. ”Jika semangat bisa sampai pukul 18.00 belajar. Tidak terasa centang hijau jadi banyak. Kalau belajar di rumah, kadang tidak sempat. Banyak kerjaan rumah yang juga harus diurusi,” kata M.
Baca juga: Guru, antara Tuntutan dan Kompetensi
Menurut M, sebenarnya aplikasi PMM membantu guru untuk bisa mengembangkan diri. Karena banyak materi, guru harus jeli membagi waktu di sela-sela tanggung jawab mengajar. Apalagi tidak selalu mulus menuntaskan centang hjijau untuk satu topik, utamanya terganjal tidak centang hijau di aksi nyata.
”Kalau sudah dapat balasan perlu perbaikan, sering kali jadi tertunda. Jadinya, sering tidak sampai menuntaskan aksi nyata. Sering kali tidak mood lagi untuk memperbaiki karena kesibukan mengajar. Karena sertifikat tak bertambah, kepala sekolah suka mengingatkan supaya guru menuntaskan PMM,” ujar M yang baru menyelesaikan tiga dari delapan modul wajib.
Sementara di DI Yogyakarta, salah seorang kepala SD di Kabupaten Gunung Kidul, K, tidak terlalu menekan para guru untuk menuntaskan PMM. Apalagi dia tahu, untuk mendapatkan centang hijau saat menonton video sistem bisa diakali. ”Iya, digeser aja videonya cepat, tetap bisa dapat centang hijau. Jadi, saya ingin guru belajar karena butuh ilmunya, bukan sekadar mendapat centang hijau dan sertifikat,” ujar K.
Memartabatkan guru
Menanggapi fenomena guru yang terbeban dengan wajib belajar mandiri di PMM, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengatakan, PMM jadi platform belajar tentang Kurikulum Merdeka satu-satunya bagi guru. ”Secara adminsitarif beban guru jadi beralih ke beban digital. Semuanya harus belajar digital di PMM dengan diwajibkan, bahkan dipantau, diabsen secara berjenjang dari dinas pendidikan hingga kepala sekolah,” kata Satriwan.
Satriwan menyayangkan niat baik untuk memanfaatkan teknologi digital dalam pembelajaran secara mandiri bagi guru kini malah jadi beban baru. Akibat dikejar target Kurikulum Merdeka harus siap dilaksanakan tahun 2024, pelatihan tunggal secara asinkronus lewat PMM jadi wajib dipenuhi. Akhirnya ini jadi semacam syarat administrasi.
”Kami menyayangkan jika peningkatan kualitas guru itu jadi terjebak sebagai administrasi. Apakah lebih penting guru menuntaskan PMM, lalu terjamin mampu mengimplemtasikan Kurikulum Merdeka? Hanya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dan berhubungan terus-menerus dengan mesin, lalu mendapat sertifikat, tidak menjamin guru dapat menghadirkan belajar yang berpusat ke siswa seperti yang dikendaki Kurikulum Merdeka,” papar Satriwan.
Menurut Satriwan, apabila guru sudah menuntaskan tugas di PMM, lalu mendapat sertifikat, dan semua guru dianggap berkompetensi pun, hal ini tetap sekadar syarat administratif. ”Yang utama, membantu guru mengubah pola pikir dan memartabatkan guru karena kurikulum hanya sebagai sarana,” kata Satriwan.
Menurut Satriwan, kewajiban belajar PMM yang dipaksakan dan ditekan dari atas ke bawah menjadi momok baru guru di era digital. ”Peningkatan mutu dan profesionalisme guru untuk mendukung pendidikan berkualitas harus dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat, yang memanusiakan guru,” kata Satriwan.
Nadiem saat peluncuran PMM menyampaikan, elemen terpenting dari platform Merdeka Mengajar akan mendorong guru terus belajar. Ada berbagai macam konten pelatihan guru secara mandiri, seperti siniar dan video yang bisa dipilih sesuai kebutuhan dan minat tiap guru. Ada juga inspirasi dari guru inspiratif yang dapat memotivasi perubahan pola pikirpara pendidik yang berpihak kepada murid dalam pembelajaran.
Baca juga: Mengubah Didikan ”Rotan” Menjadi Sekolah Menyenangkan
Secara terpisah, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangakan, Muhammad Nur Rizal, menuturkan, sudah saatnya pemerintah menganggap guru tidak hanya sekadar pelaksana kurikulum. Guru harus diberdayakan menjadi sosok intelektual karena mereka juga berperan untuk mengembangkan peradaban bangsa.
Menurut Rizal, sosok guru intelektual punya tiga ciri, yakni menginspirasi, memberdayakan, dan memimpin perubahan. Guru tidak lagi sibuk urusan administrasi semata, termasuk sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di PMM.
”Kita butuh sosok guru intelektual yang menginpsirasi siswa untuk terus belajar; memberdayakan siswa untuk berani, percaya dan berimajinasi secara kreatif memecahkan masalah. Yang paling penting, guru berani memimpin langsung perubahan untuk membangun asa dan harapan bagi masa depan,” kata Rizal yang juga dosen Universitas Gadjah Mada.