Menarik untuk diperhatikan, apakah surat pembaca memikat orang muda pembaca ”Kompas” untuk turut berkomentar dalam Surat kepada Redaksi.
Oleh
IGNATIUS HARYANTO, ANGGOTA OMBUDSMAN KOMPAS
·4 menit baca
Jika melihat sejarah kelahiran media komunikasi di sekitar kita, surat kabar adalah salah satu media yang paling kurang interaktif dibandingkan, misalnya, dengan radio atau media online. Televisi juga sulit membuka ruang interaktif dengan konsumennya. Surat kabar masih memiliki ruang interaktif atau komunikasi dua arah, tetapi hal ini membutuhkan waktu lama, dan itu pun diseleksi terlebih dahulu oleh redaksi. Inilah ide dasar di balik pembentukan rubrik Surat Pembaca di Kompas.
Pembaca media hari ini, atau bisa disebut konsumen media, memiliki aspirasi yang hendak disampaikan. Surat Pembaca, Redaksi Yth, dan Surat kepada Redaksi adalah nama-nama rubrik yang selama ini ada di Kompas dan menampung surat-surat dari pembaca. Lima belas tahun lalu surat di rubrik ini lebih banyak berisikan keluhan konsumen akan hal-hal tidak mengenakkan yang mereka alami: kartu ATM tertelan mesin, bagasi tertinggal di sebuah penerbangan, dan berbagai keluhan lainnya.
Hari ini Surat kepada Redaksi jauh lebih dinamis. Ada banyak penulis setia yang mengirim surat mereka dan mengomentari aneka masalah di republik ini. Satu-dua surat yang terkait dengan masalah keluhan konsumen masih ada, tetapi tidak lagi dominan. Surat jenis ini memang perlu dan rupanya ditanggapi serius oleh pihak-pihak terkait, tetapi sering kali keluhan semacam ini sangat personal, tak memiliki dimensi terkait dengan kepentingan umum. Jadi, surat seperti itu memang ada, tetapi jangan dominan.
Ada pula pembaca yang memberikan ralat atas berita yang ditulis Kompas. Di sisi lain, ada pembaca yang memberikan tanggapan khusus atas pemberitaan dari Kompas.
Publik, atau pembaca dalam arti sempit, memiliki perhatian dan aspirasi yang juga ingin didengarkan. Ada pembaca yang sangat setia untuk menulis surat pembaca, bahkan sudah melakukannya hingga lebih dari tiga puluh tahun. Suatu prestasi yang perlu diberikan apresiasi tersendiri.
Para pembaca tersebut menunjukkan perhatian yang tidak sedikit terkait dengan fenomena Pemilu 2024 yang sebentar lagi dilaksanakan. Para pembaca ini—dalam arti bukanlah pakar yang menulis analisis atau pendapat di rubrik opini—memiliki pendapat, mempunyai pandangan, memiliki pengalaman yang menarik untuk dibaca pembaca lain. Meminjam adagium vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan, maka suara-suara yang muncul ini perlu terus didengarkan. Mereka mewakili denyut nadi masyarakat yang terepresentasi lewat surat-surat tersebut.
Pembahasan terkait dengan penulis surat pembaca, mereka yang berkomentar di laman Kompas.id, dan juga respons kritis pembaca melalui Ombudsman menjadi bahan diskusi bersama pada forum Ombudsman, 17 November 2023. Menarik mendengarkan paparan para penjaga rubrik ini.
Dari diskusi tersebut, misalnya, terungkap ada penurunan jumlah surat pembaca yang masuk ke redaksi pada masa pandemi dan seterusnya. Lebih kurang hanya 5 surat yang datang setiap hari. Berbeda dengan masa sebelum pandemi yang mencapai 15 surat per hari.
Pembicaraan dari forum yang sama membahas pula minimnya penulis surat pembaca perempuan ke Redaksi Kompas. Tidak cukup jelas apa penyebabnya, tetapi hal ini menunjukkan ketimpangan dalam surat yang disampaikan kepada redaksi. Padahal, mungkin banyak pembaca perempuan memiliki aspirasi-aspirasi yang berbeda.
Mungkin banyak dari mereka adalah pengguna layanan publik di Jabodetabek yang belum mendapatkan rasa aman dan nyaman ketika menggunakan layanan tersebut. Para pembaca perempuan diajak untuk lebih menyampaikan aspirasi mereka ke Redaksi Kompas.
Ada pembaca yang sangat setia untuk menulis surat pembaca, bahkan sudah melakukannya hingga lebih dari tiga puluh tahun.
Hal menarik lain untuk diperhatikan adalah apakah surat pembaca memikat orang muda pembaca Kompas untuk turut berkomentar dalam Surat kepada Redaksi. Masih sedikit tulisan orang muda yang menghiasi Surat kepada Redaksi, padahal ada tuntutan agar Kompas memudakan para pembacanya agar tetap relevan bagi generasi sekarang dan selanjutnya.
Di luar para penulis Surat kepada Redaksi yang setia itu, ada banyak penulis yang juga ikut berkomentar atas pemberitaan di Kompas.id. Kompas memberlakukan moderasi atas komentar-komentar tersebut agar masih enak didengar atau dibaca. Para netizen kita, apalagi menjelang tensi politik semakin menaik, kerap kali menggunakan kesempatan apa pun untuk mempromosikan kandidat pilihan mereka sembari menjatuhkan kandidat lawan. Terkadang dalam ruang komentar yang tersedia, perdebatan menjadi hangat, panas, bahkan menjadi sangat tidak sehat.
Harus dikatakan, kondisi ini membuat kerja redaktur menjadi lebih berat. Mereka harus memelototi komentar-komentar yang masuk (bisa saja berjumlah puluhan, ratusan, hingga ribuan komentar untuk berbagai berita yang disajikan). Namun, hal ini harus dilakukan karena pada dasarnya media online adalah media yang interaktif, media yang membuka ruang untuk komunikasi dua arah.
Kita berharap ruang komentar yang disediakan dapat menjadi sarana agar pendidikan politik makin luas dilakukan dan bukan sekadar ruang untuk memaki-maki, menjatuhkan kandidat tertentu. Politik memerlukan kedalaman serta kualitas untuk mengembangkannya. Upaya mendewasakan negara demokrasi ini adalah tanggung jawab bersama, dan hal tersebut bisa dimulai dengan membuat komentar yang bertanggung jawab.
*Jika memiliki pendapat tentang pemberitaan Kompas, silakan kirim pendapat Anda ke e-mail[email protected].