Hak anak disabilitas masih tertinggal dalam pendidikan serta kesulitan mengakses layanan kesehatan dan jaminan sosial.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas hingga kini masih menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan. Jangankan anak-anak penyandang disabilitas, orang dewasa penyandang disabilitas pun lekat dengan stigma. Komitmen dan program konkret untuk mendorong terpenuhinya hak-hak anak penyandang disabilitas secara setara harus menjadi perhatian pemerintah dan pemangku kebijakan.
Meskipun belum menyasar semua anak penyandang disabilitas, sejauh ini pemerintah melalui sejumlah kementerian/lembaga memiliki program-program yang terkait penghormatan, pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia, serta kebebasan dasar anak penyandang disabilitas.
Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan, Kementerian Sosial memiliki sejumlah program untuk penyandang disabilitas, termasuk di dalamnya anak disabilitas. Misalnya, Program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) yang merupakan layanan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas yang menggunakan pendekatan berbasis keluarga, komunitas, dan residensial.
Layanan tersebut diberikan dalam bentuk dukungan pemenuhan hidup layak serta perawatan sosial, seperti pengasuhan anak dan dukungan keluarga. Selain itu, anak-anak disabilitas mendapatkan terapi fisik, terapi psikososial, terapi mental spiritual, serta berbagai pelatihan vokasional, pembinaan kewirausahaan, bantuan, asistensi sosial, dan dukungan aksesibilitas.
Program tersebut diadakan di Balai Besar Disabilitas, Balai atau Loka Disabilitas, Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Disabilitas, dan unit pelaksana teknis daerah (UPTD). ”Meskipun Indonesia luas dan kami memiliki keterbatasan, kami menanganinya dengan sungguh-sungguh,” ujar Tri Rismaharini yang akrab disapa Risma saat ditemui di Gedung Konvensi Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Selama ini, Kemensos juga memberikan dukungan terhadap anak-anak disabilitas dengan mengundang beberapa anak disabilitas yang memiliki berbagai keterampilan, seperti bernyanyi, bermain alat musik, dan berwirausaha, dalam sejumlah kegiatan Kemensos.
Terkait dengan program pendidikan inklusi di Indonesia yang hingga kini masih memiliki tantangan besar, terutama dalam ketersediaan guru pendamping khusus untuk anak-anak disabilitas, Risma mengusulkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berkolaborasi dengan Kemensos.
Kemensos dan Kemendikbudristek bisa bekerja sama untuk mengatasi keterbatasan guru pendamping khusus. Sebab, Kemensos saat ini memiliki sejumlah pekerja sosial yang terbiasa mengurus penyandang disabilitas.
”Kemensos berupaya memberi jaminan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dengan berbagai program. Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan pemerintah sendirian, perlu dukungan lebih dari masyarakat demi menuju Indonesia yang inklusif,” tutur Risma.
Untuk menghapus stigma pada anak penyandang disabilitas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendorong keluarga untuk menerima keberadaan anak disabilitas. ”Penerimaan menjadi hal penting yang perlu dilakukan oleh keluarga anak disabilitas karena, dengan menerima, pemenuhan hak dan perlindungan, khususnya, dapat diberikan,” papar Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar.
Dalam rangka membantu proses penerimaan bagi keluarga tersebut, Kementerian PPPA melalui penyelenggaraan Forum Koordinasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas mengajak kementerian/lembaga, organisasi penyandang disabilitas, dan organisasi keluarga anak penyandang disabilitas membentuk forum komunikasi di daerah.
Forum tersebut melibatkan keluarga-keluarga yang memiliki anak disabilitas agar mereka memiliki wadah untuk berkomunikasi, berbagi pengalaman, berbagi kesenangan, ataupun kesedihan. Hal ini dilakukan agar proses penerimaan tersebut bisa dicapai.
Penerimaan menjadi hal penting yang perlu dilakukan oleh keluarga anak disabilitas karena, dengan menerima, pemenuhan hak dan perlindungan, khususnya, dapat diberikan.
Namun, penerimaan keluarga atas anak disabilitas harus disertai ketahanan keluarga agar bisa terus bertahan dan bersama dengan anak disabilitas. Sebab, sering kali keluarga dengan anak disabilitas tidak memiliki resiliensi yang tangguh sehingga menjadi depresi atau stres dalam mengasuh dan merawat anak disabilitas.
”Ini akan berdampak buruk pada perkembangan anak dan menjadi pemicu timbulnya perlakuan salah, penelantaran, dan kekerasan pada anak penyandang disabilitas,” kata Nahar menegaskan.
Kurikulum bagi anak disabilitas
Terkait pendidikan inklusi, Kementerian PPPA mendorong bukan hanya ketersediaan sekolah inklusi dengan peserta didik penyandang disabilitas, tetapi yang terpenting adalah menghadirkan perubahan dari lingkungan di sekolah tersebut.
Oleh karena itu, penting pengaturan kurikulum yang lebih fleksibel dan modifikasi bagi anak penyandang disabilitas, terutama disabilitas intelektual. Jika ada anak disabilitas di sekolah, pengaturan tempat duduk di kelas juga harus aksesibel. Misalnya, anak disabilitas dengan low vision dan kurang mendengar harus di tempatkan di bagian depan.
Ketua Komisi Nasional Disabilitas Dante Rigmalia mengungkapkan, untuk mengatasi kekurangan guru pendamping khusus untuk sekolah luar biasa, harus ada afirmasi dari pemerintah. Caranya dengan mendorong semakin banyak perguruan tinggi untuk membuka program pendidikan khusus sehingga semakin banyak guru pendamping khusus.
”Afirmasinya adalah setiap lulusan bisa langsung diangkat sebagai guru pendamping khusus di SLB dan sekolah reguler sehingga kekurangan guru pendamping khusus bisa teratasi,” katanya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selain meningkatkan pemantauan dan melakukan kajian, juga menyusun instrumen pengawasan terkait aspek pemenuhan hak anak disabilitas, mulai dari hak sipil, hak pengasuhan, hingga hak pendidikan dan hak kesehatan.
Fajri Nursyamsi dari Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang juga anggota Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas menyatakan, dukungan kepada keluarga dengan anak disabilitas harus diberikan agar orangtua dan kerabatnya tidak hanya memahami hambatan, tetapi juga kelebihan anak disabilitas.
Dengan demikian, orangtua dan kerabat bisa memberikan dukungan terbaik kepada anak disabilitas. Sebagai contoh, memberikan kemampuan dasar bagi anak atau habilitasi ataupun rehabilitasi agar dapat terlatih untuk beraktivitas secara mandiri.
Adapun pemerintah hendaknya terus meningkatkan edukasi kepada masyarakat terkait perspektif disabilitas. Di bidang pendidikan, selain kurikulum terkait anak disabilitas, pelaksanaan pendidikan inklusif harus terus diperkuat. Tidak hanya menggabungkan peserta didik disabilitas dan nondisabilitas, tetapi juga disertai upaya mendorong perubahan cara pandang dari lingkungan sebaya dan orangtua siswa.
”Selain itu, setiap kesempatan penyandang disabilitas harus didukung untuk berprestasi agar mulai terwujud pemikiran kesetaraan dan kesempatan yang sama,” kata Fajri.