Literasi Keagamaan di Tanah Air Masih Perlu Ditingkatkan
Indikator toleransi Indonesia masih berada pada nilai 68,72. Ini menandakan toleransi di Indonesia masih perlu dipupuk.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman agama dan kurangnya paparan terhadap keragaman agama bisa menjadi penghalang sekaligus ancaman dalam upaya menjunjung hak asasi manusia (HAM). Literasi keagamaan melalui budaya dialog lintas agama dalam keseharian perlu diperkuat demi menciptakan kerukunan dan inklusivitas di masyarakat.
Merujuk pada Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tahun 2021, indikator toleransi di Tanah Air masih berada pada nilai 68,72. Hal ini menandakan toleransi di Indonesia masih perlu dipupuk, salah satunya dengan literasi keagamaan lintas budaya dan penguatan moderasi beragama.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan, untuk meningkatkan toleransi, dibutuhkan kepercayaan guna membangun dialog konstruktif dan kolaborasi produktif. Dialog ini harus berlandaskan aturan hukum demi untuk mencapai masyarakat yang damai dan inklusif.
Indonesia secara aktif mendorong dialog antarumat beragama baik di tataran nasional maupun internasional dengan maksud untuk meningkatkan toleransi, penghormatan, pemahaman, dan empati.
”Melindungi dan memajukan HAM dimulai dengan menghormati. Menghormati martabat manusia juga berarti menghormati keragaman manusia,” kata Matius dalam Konferensi Internasional tentang Literasi Agama Lintas Budaya di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Senin (13/11/2023).
Kewarganegaraan yang setara dan inklusif tersebut tidak hanya menjamin hak-hak warga negara, tetapi juga menuntut tanggung jawab warganya, terlepas dari agama atau kepercayaan mereka. Tidak hanya itu, agama juga bersifat transnasional dan trans-budaya.
Konferensi Internasional tentang Literasi Agama Lintas Budaya yang diikuti tokoh agama dan HAM dari sejumlah negara digelar oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Leimena Institute, Templeton Religion Trust, The International Center for Law and Religious Studies at Brigham Young University Law School, dan International Religious Freedom Secretariat. Konferensi untuk memperingati 75 tahun Deklarasi Universal HAM ini digelar di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, pada 13-14 November 2023.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menegaskan, Indonesia yang majemuk seharusnya berpotensi menjadi negara maju karena ada banyak pemikiran di dalam masyarakatnya. Namun, perbedaan ini terkadang menciptakan masalah di masyarakat. Oleh sebab itu, penting untuk meningkatkan literasi keagamaan lintas budaya di dalam masyarakat dunia yang semakin multikultural dan saling terkoneksi satu sama lain.
”Kita mencoba membangun komunitas internasional yang menghargai inklusivitas agama dan toleransi. Ketika melihat ketidaksamaan, jangan mengeksploitasi perbedaan, apalagi kita sebagai negara Muslim terbesar, Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia,” kata Yasonna.
Pemerintah, kata Yasonna, sudah berupaya membangun harmoni dan persatuan antarumat beragama di Tanah Air melalui Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Namun, dia mengakui, masih akan selalu ada pihak-pihak yang intoleran dan radikal. Karena itu, supremasi hukum memiliki peran penting untuk menjamin dan menghormati hak setiap warga negara.
”Indonesia secara aktif mendorong dialog antarumat beragama baik di tataran nasional ataupun internasional dengan maksud untuk meningkatkan toleransi, penghormatan, pemahaman, dan empati,” ujarnya.
Direktur Jenderal HAM, Kemenkumham, Dhahana Putra menambahkan, bangsa Indonesia telah terbiasa hidup berdampingan dalam keberagaman dan semangat persaudaraan. Untuk menjaga hal ini, pihaknya sudah mengeluarkan sejumlah regulasi, di antaranya yaitu Permenkumham No 22/2021 tentang Kriteria Kabupaten Kota Peduli HAM yang telah memasukkan indikator hak atas keberagaman.
Ada pula peraturan bersama antara Menkumham dan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 dan Nomor 77 Tahun 2012 tentang Parameter HAM dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah. ”Peraturan ini bertujuan untuk mencegah munculnya produk hukum daerah yang intoleran dan diskriminatif,” kata Dhahana.
”Skor tersebut menunjukkan masih ada permasalahan intoleransi dan perlunya intervensi untuk meningkatkan situasi tersebut antara lain dengan literasi keagamaan lintas budaya dan penguatan moderasi beragama,” kata Dhahana.
Selain itu, konferensi ini juga membahas pemahaman martabat manusia sebagai prinsip dasar Deklarasi Universal HAM, signifikansi dan implikasinya dalam memperkuat supremasi hukum untuk melindungi dan memajukan HAM secara regional dan global. Ini sesuai dengan visi ASEAN pasca-2025 dalam membangun masyarakat multiagama dan multibudaya yang damai dan inklusif di salah satu kawasan paling beragam di dunia.