Menteri LHK Janjikan Penertiban dan Buka Data Perkebunan Sawit Ilegal
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menegaskan tidak ada pemutihan perkebunan ilegal di kawasan hutan, melainkan tata kelola industri kelapa sawit. Ia berjanji membuka data tata kelola tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berjanji membuka data perkebunan ilegal dan hasil tata kelola sawit yang dilakukan Satuan Tugas Sawit yang dibentuk pemerintah pusat. Siti juga menegaskan tidak ada pemutihan perkebunan sawit ilegal karena yang dilakukan adalah penataan sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
Hal itu disampaikannya di sela-sela acara puncak peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2023 di Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (8/11/2023). Siti Nurbaya Bakar saat berjumpa dengan media menyampaikan akan meminta Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menggelar jumpa media secepatnya untuk membuka data dari satgas sawit soal perkebunan ilegal yang ada di kawasan hutan.
”Datanya ada lengkap, enggak ada yang disembunyikan. Nanti saya minta sekjen untuk bikin konferensi pers, dan enggak ada pemutihan,” kata Siti.
Siti menambahkan, persoalan perkebunan sawit masuk ke kawasan hutan merupakan masalah puluhan tahun yang terjadi karena persoalan regulasi. Persoalan itu terjadi karena kebijakan otonomi daerah membolehkan bupati dan wali kota mengeluarkan izin perkebunan sawit.
Persoalan regulasi tersebut, lanjut Siti, terjadi pada Mei 1999. Saat itu, keluar Undang-Undang (UU) Kehutanan, lalu disusul UU Perkebunan, dan kemudian UU Tata Ruang. Regulasi tersebut membuat izin-izin perkebunan masuk dalam kawasan hutan telanjur diterbitkan. Ketelanjuran itu harus dilihat kasus per kasus karena setiap izin yang keluar bisa berbeda.
”Ramai-ramailah bupati keluarkan izin, enggak ambil pusing. Bupati memang punya wewenang untuk keluarkan izin, tapi apakah sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang,” ungkap Siti.
Siti menambahkan, selama izin perkebunan sawit sudah sesuai dengan tata ruang sehingga tidak perlu dipersoalkan. ”Paling dilihat setelah (izin) jadi hutan itu seperti apa. Itu semua sudah ada diatur sangat teknis, nah kalau yang enggak ada izinnya sama sekali, ya, bayangkan saja, kan, selama ini yang teriak-teriak hutan rusak masyarakat juga, nah sekarang kita sedang tata,” tambahnya.
Siti menambahkan, dalam penataan perkebunan ilegal yang masuk dalam kawasan hutan pihaknya akan melihat kembali setiap perizinan. Jika perkebunan masuk dalam kawasan konservasi atau hutan lindung, wajib dikembalikan ke negara.
”Kalau di area penggunaan lain (dan hutan produksi), harus kami pelajari dulu, kalau sudah jadi hak guna usaha (HGU) kayak apa (proses) jadi HGU-nya apakah sudah benar, terus seperti apa nanti dilihat lagi,” ungkap Siti.
Untuk kebun masyarakat, lanjut Siti, yang masuk dalam kawasan hutan, penataannya lebih mudah karena masyarakat hanya dibatasi memiliki lahan seluas 5 hektar. ”Anehnya ada masyarakat yang punya 300-600 hektar lahan, percaya enggak masyarakat bisa kelola lahan itu? Makanya itu ditata lagi,” katanya.
Siti menjelaskan, data terkait kawasan hutan dan ketelanjuran perkebunan sawit milik perusahaan ataupun masyarakat sudah diterima KLHK. Mereka bahkan sudah membuat surat keputusan di setiap laporan yang sudah diterima baik dari perusahaan yang bersangkutan maupun masyarakat.
”Bahkan, dari laporan ataupun lembaga lainnya sudah kami kumpulkan, sekarang sudah SK ke-18 kalau sudah nanti akan kami buka. Datanya ada, kok,” ungkap Siti.
Berdasarkan data Sawit Hasil Rekonsiliasi Nasional 2019, perkebunan sawit di dalam kawasan hutan mencapai 3,37 juta hektar. Dari jumlah tersebut, seluas 1,49 juta hektar berada di hutan produksi terbatas dan 1,12 juta hektar di hutan produksi yang dapat dikonversi. Kemudian 501.572 hektar sawit di hutan produksi tetap, 155.119 hektar di hutan lindung, dan 91.074 hektar di hutan konversi.
Di Kalimantan Tengah sendiri, 632.133,96 hektar kebun sawit berada di kawasan hutan. Kawasan itu lebih luas dari Pulau Bali. (Kompas, 6 Juli 2023).
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rizky Badjuri menjelaskan, perkebunan sawit ilegal di Kalteng sedang dievaluasi oleh tim satgas sawit yang dibentuk pemerintah pusat. Sayangnya, pihaknya tidak banyak dilibatkan sehingga belum tahu hasil dari kerja tim tersebut.
Menurut Rizky, konflik di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, bisa menjadi contoh salah satu penyelesaian ketelanjuran perkebunan sawit di kawasan hutan. Pemerintah daerah bersama perusahaan sawit memberikan kebun sawit di kawasan areal peruntukan lain (APL) kepada masyarakat.
”Mungkin ini bisa jadi demplot, kalau sawit yang masuk kawasan lindung, kan, harus dikembalikan ke negara, kalau yang APL kami jadikan kebun sawit masyarakat, seperti di Seruyan,” ungkap Rizky.
Konflik di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, bisa menjadi contoh salah satu penyelesaian ketelanjuran perkebunan sawit di kawasan hutan. Pemerintah daerah bersama perusahaan sawit memberikan kebun sawit di kawasan areal peruntukan lain (APL) kepada masyarakat.
Melihat hal tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng Bayu Herinata menjelaskan, dari informasi yang ia kumpulkan, pemutihan tidak dihindari. Seharusnya ada sanksi yang diberikan ke perusahaan yang melakukan aktivitas di atas kawasan hutan.
”Kalau konteksnya tata kelola sawit, harus dilakukan evaluasi menyeluruh dulu terhadap perizinan karena indikasi kuat terjadi pelanggaran,” ungkap Bayu.