Setahun Korban Obat Sirop Beracun Menanti Janji Pemerintah
Pemerintah akan memberi santunan bagi korban meninggal dan anak penyintas gangguan ginjal akibat obat beracun.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Keluarga anak-anak korban obat sirop beracun penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA nyaris putus asa mendengar wacana bantuan dari pemerintah. Meski demikian, mereka tetap berharap uluran tangan pemerintah, terutama pada penegakan hukum demi keadilan.
Menteri Sosial Tri Rismaharini kembali melempar wacana tersebut dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Kementerian Sosial (Kemensos) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (7/11/2023). Menurut dia, santunan GGAPA akan diberikan kepada 326 orang, dengan rincian 204 orang meninggal dan 122 orang yang pulih.
Total anggarannya mencapai Rp 19,22 miliar. Bantuan bagi tiap anak yang meninggal akan diberikan kepada ahli waris sebesar Rp 50 juta. Sementara bagi anak yang sembuh dan masih berjuang pulih akan menerima bantuan Rp 60 juta.
”Ini yang sembuh masih perawatan. Jadi, kami minta tambahan sehingga lebih besar dari yang meninggal,” kata Risma.
Namun, dia tidak merinci kapan dan bagaimana para korban bisa mengakses bantuan tersebut. Sebab, anggaran ini belum masuk dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemensos.
Dana untuk bantuan korban GGAPA diambil dari suntikan anggaran tambahan yang diberikan Kementerian Keuangan sebesar Rp 8,819 triliun. Selain GGAPA, dana tambahan itu juga dialokasikan untuk bantuan langsung tunai atau BLT El Nino dan program rumah sejahtera terpadu (RST).
Bagi Sholihah (36), ibu dari Azqiara Anindita Nuha (3), korban GGAPA meninggal, angka Rp 50 juta tidak setimpal dan tidak akan pernah bisa menggantikan nyawa anaknya yang meninggal pada 16 Oktober 2022. Meski demikian, ia berharap wacana yang terus diulang pemerintah ini terealisasi.
”Setelah satu tahun semoga terealisasi. Saya tidak lega (mendengar kabar ini). Itu sedikit banget. Nyawa anak saya tidak bisa digantikan dengan nominal Rp 50 juta. Seandainya saya punya berlian segunung asal itu mengembalikan nyawa anak saya, maka saya akan tukar dengan nyawa anak saya,” kata Sholihah.
Azqiara meninggal pada 16 Oktober 2022 setelah perawatan intensif enam hari di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat.
Dia mengonsumsi obat sirop parasetamol dari resep yang diberi dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan layanan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Nyawa anak saya tidak bisa digantikan dengan nominal Rp 50 juta. Seandainya saya punya berlian segunung asal itu mengembalikan nyawa anak saya, maka saya akan tukar dengan nyawa anak saya.
Menurut Sholihah, selain lama tak kunjung terealisasi, istilah santunan yang dipakai pemerintah sejak awal bermasalah. Seharusnya, pemerintah menggunakan diksi kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab atas dugaan kelalaian mengawasi peredaran obat di masyarakat.
”Kalau seandainya pemerintah tidak meloloskan obat itu dan pengawasannya lebih ketat, mungkin anak saya tidak akan meminum obat itu dan mungkin anak saya sampai saat dan detik ini masih ada di pangkuan saya,” katanya.
Kompensasi
Sholihah bersama 41 keluarga korban GGAPA lainnya menuntut setiap anak yang meninggal diberikan kompensasi Rp 3 miliar per orang dan Rp 2 miliar per orang bagi keluarga korban selamat.
Hal ini diperjuangkan mereka dalam sidang gugatan kelompok (class action) yang berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Dalam sidang ini, para korban tidak sekadar menuntut uang santunan. Gugatan perlu dilakukan untuk mengungkap akar masalah GGAPA dan perbaikan sistem kesehatan demi mencegah tragedi keracunan obat terulang di masa depan.
”Gugatan ini bukan hanya bicara soal ganti kerugian atau santunan, tetapi lebih jauh dari itu kami meminta perbaikan sistem pengawasan obat dari hulu hingga hilir,” kata kuasa hukum keluarga korban GGAPA, Reza Zia Ulhaq.
Sebanyak 5 dari 11 tergugat dikeluarkan sebagai tergugat karena sudah mencapai kesepakatan damai setelah delapan kali mediasi dengan para korban. Sementara enam tergugat lainnya, termasuk tiga lembaga pemerintah, memilih melanjutkan perkara.
Keenam tergugat itu adalah Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan; dua perusahaan penyalur obat, PT Tirta Buana Kemindo dan CV Samudera Chemical; serta satu perusahaan farmasi, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry.