Meneladani Rumphius, Pahlawan Pengetahuan yang Dilupakan
Catatan Rumphius tentang kekayaan alam di Maluku merupakan sebuah mahakarya. Rumphius tetap gigih menghasilkan catatan pengetahuan meskipun menghadapi banyak tantangan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski namanya sering dilupakan, kontribusi ahli botani asal Jerman, Georgius Everhardus Rumphius (1627-1702), bagi ilmu pengetahuan tidak terbantahkan. Selama hampir setengah abad tinggal di Maluku, ia mencatat ribuan tanaman, kerang-kerangan, dan kekayaan alam di sana yang berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Tiga tahun setelah Rumphius wafat, karyanya yang berjudul Ambonese Curiosity Cabinet terbit pada 1705. Lebih dari tiga dekade berselang, karyanya berjudul Ambonese Herbal terbit pada 1741.
Akan tetapi, buku-buku tersebut sangat sedikit dicetak ulang. Bahkan, nama Rumphius jarang dimunculkan dalam catatan kaki penelitian setelahnya.
Direktur Lembaga Eijkman 1992-2014 yang juga ahli biologi molekuler, Prof Sangkot Marzuki, mengatakan, catatan Rumphius tentang kekayaan alam di Maluku merupakan sebuah mahakarya. Rumphius tetap gigih menghasilkan catatan pengetahuan meskipun menghadapi banyak tantangan.
”Pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sangat besar. Namun, sering kali hal itu tidak disadari karena mereka yang mengadopsi karya dan penemuannya tidak menyebutkannya secara langsung,” ujarnya dalam peluncuran sekaligus diskusi buku Kotak Keajaiban Benua Maritim: Ambon Abad XVII di Goethe-Institut Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Buku yang diterbitkan oleh penerbit Komunitas Bambu itu merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari Ambonese Curiosity Cabinet. Karya terjemahan ini berisi tiga buku yang didedikasikan khusus untuk membahas kerang-kerangan bercangkang keras, kerang-kerangan bercangkang lunak, serta batuan dan mineral dari Ambon dan pulau-pulau sekitarnya.
Sangkot mengatakan, terdapat pengaruh Rumphius dalam sistem klasifikasi makhluk hidup atau taksonomi yang ditemukan oleh Carolus Linnaeus (1707-1778). Dengan sistem ini, makhluk hidup mempunyai satu nama genus dan spesies.
”Akan tetapi, dia banyak meminjam karya-karya Rumphius. Linnaeus pernah tinggal lama bersama Johannes Burman yang 40 tahun setelah Rumphius meninggal ia menerbitkan karya itu. Jadi, Linnaeus punya akses yang luas terhadap karya-karya Rumphius,” katanya.
Akan tetapi, buku-buku tersebut sangat sedikit dicetak ulang. Bahkan, nama Rumphius jarang dimunculkan dalam catatan kaki penelitian setelahnya.
Dalam catatannya, Rumphius juga sudah menyinggung tentang manfaat kacang hijau untuk mengobati penyakit beri-beri. Menurut dia, catatan itu menjadi referensi bagi ilmuwan setelahnya untuk mengatasi penyakit tersebut.
”Walaupun kita lupa dengan Rumphius, tetapi dia tidak dilupakan masyarakat ilmiah di Jerman. Dia menjadi anggota Academy of Science Leopoldina yang sudah lahir 500 tahun lalu,” ucapnya.
Panutan
Sangkot mengatakan, Rumphius merupakan sosok peneliti tangguh. Meski menghadapi banyak tantangan, ia tetap melanjutkan misinya untuk mengumpulkan berbagai pengetahuan di Maluku.
Pada 1670 saat berusia 42 tahun, misalnya, Rumphius mengalami buta karena glaukoma. Ia kehilangan istri dan anaknya saat gempa disertai tsunami menerjang Ambon dan wilayah sekitarnya pada 1674.
Berselang 13 tahun, kebakaran hebat membuatnya kehilangan koleksi dan sebagian besar manuskripnya. Bahkan, kapal yang membawa karyanya untuk dicetak di Belanda ditenggelamkan oleh Perancis pada 1690.
”Dia ilmuwan luar biasa yang bisa bertahan di tengah banyak tantangan. Rumphius terus berkarya sampai akhir hayatnya. Ia patut dijadikan panutan bagi generasi sekarang,” ucapnya.
Penulis buku Kota-kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak Marco Kusumawijaya mengatakan, sejak lama kota-kota di Nusantara telah menjadi tempat tinggal orang-orang yang menghasilkan berbagai pengetahuan. Di Maluku, misalnya, terdapat naturalis Alfred Russel Wallace dan Rumphius.
”Hal ini menjadi motivasi bagi kita untuk selain memetik ilmu pengetahuan, juga tidak lupa menilik acuan dan sumbernya. Di zaman sekarang, hal itu seharusnya menjadi lebih mudah,” ujarnya.
Pendiri penerbit Komunitas Bambu JJ Rizal mengatakan, di masa lalu, kota-kota di Indonesia menjadi pijar-pijar pengetahuan. Namun, sering kali sejarah ilmu pengetahuan dalam historiografi nasional selalu dikesampingkan.
”Padahal, generasi pendahulu kita yang menjadi tokoh bangsa adalah para pembaca buku. Jadi, kalau mau merawat Indonesia, kita harus respek terhadap ilmu pengetahuan,” katanya.