Status warisan budaya tak benda Indonesia berpeluang dievaluasi. Penetapan status itu perlu ditindaklanjuti dengan berbagai program pengembangan dan pemanfaatan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan status warisan budaya tak benda Indonesia bukanlah garis akhir dalam melindungi kebudayaan. Tanpa rencana aksi lanjutan, status ini akan dievaluasi dan bisa dicabut.
Evaluasi diperlukan karena acap kali semangat melestarikan kreasi budaya mengendur setelah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia. Padahal, upaya pelindungan semestinya ditindaklanjuti dengan program pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sehingga warisan budaya itu tetap eksis.
Direktur Pelindungan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Judi Wahjudin mengatakan, mulai tahun depan pihaknya akan menagih program aksi lanjutan terhadap penetapan WBTB tersebut. ”Statusnya (WBTB Indonesia) bisa dicabut jika tidak ada aksi lanjutan sama sekali,” ujarnya saat menghadiri seminar ”Pelindungan Warisan Budaya Indonesia” di Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Hingga 2023, sebanyak 1.941 kreasi budaya telah ditetapkan menjadi WBTB Indonesia. Jumlah itu termasuk tambahan pada tahun ini sebanyak 213 WBTB.
Menurut Judi, banyak langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga eksistensi WBTB, terutama dengan memperkuat tata kelolanya. Di sektor pendidikan, misalnya, dengan cara dijadikan sebagai muatan lokal di sekolah.
Sementara dukungan regulasi bisa dilakukan dengan membuat peraturan daerah. Adapun dalam pemanfaatannya, kreasi budaya seperti makanan tradisional dapat disajikan dalam rapat-rapat pemerintahan sehingga berdampak terhadap ekonomi para pelaku seni budaya.
”Kami akan cek ulang program aksi yang sudah dikerjakan. Mana yang ditegur dulu, diingatkan, atau dikuatkan. Namun, kalau tiga tahun tidak ada perkembangan juga, misalnya, mungkin statusnya bisa dicabut,” katanya.
Judi menambahkan, Tim Ahli WBTB Indonesia juga bertugas memonitor perkembangan WBTB. Namun, hingga saat ini belum ada peneguran terhadap daerah yang minim program aksi lanjutan karena pihaknya masih fokus pada fase penetapan.
Evaluasi diperlukan karena acap kali semangat melestarikan kreasi budaya mengendur setelah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda Indonesia.
”Ada yang semangat ketika mengusulkan (WBTB), setelah itu tidak lagi. Memang tidak semuanya. Itu biasanya terjadi waktu pergantian kepala dinas sehingga sejumlah program harus mulai dari nol lagi,” jelasnya.
Ketua Tim Ahli WBTB Indonesia G R Lono Lastoro Simatupang mengatakan, pelindungan kebudayaan memiliki berbagai aspek, yaitu inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi. Selain itu, pembinaan terhadap sumber daya manusia bidang kebudayaan juga tidak kalah penting.
”Mewariskan juga bagian dari melindungi. WBTB merupakan bagian dari OPK (obyek pemajuan kebudayaan). Publikasi pun bagian dari strategi untuk melindungi,” ucapnya.
Menurut Lono, penetapan status WBTB merupakan langkah awal dari pelindungan kebudayaan. Oleh karena itu, dia berharap upaya pelestarian budaya tidak berhenti di tahap itu, melainkan bisa dimanfaatkan dengan optimal sehingga berdampak lebih luas.
”Penetapan WBTB ini pemberian status hukum oleh negara terhadap warisan budaya tak benda masyarakat sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia. Namun, bukan pemberian pengakuan tentang kepemilikan budaya oleh kelompok masyarakat di daerah tertentu. Ini penting untuk disadari bersama,” jelasnya.
Masalah pendanaan
Masalah pendanaan sering menjadi kendala dalam menjalankan program pelindungan kebudayaan. Apalagi anggaran dinas yang mengelola bidang kebudayaan di daerah juga terbatas.
Lono menuturkan, pelindungan kebudayaan membutuhkan kerja sama lintas sektoral. Jadi, pembiayaannya tidak hanya mengandalkan dari instansi yang mengurusi bidang kebudayaan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2022, pengembangan desa wisata menjadi salah satu prioritas penggunaan dana desa. Salah satu aspeknya adalah pendataan kesenian dan budaya lokal, termasuk kelembagaan adat.
”Jadi, diperlukan komitmen bersama untuk mendukung pelindungan kebudayaan. Dananya pun bisa bersumber dari bidang lain,” katanya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara Darwin A Rahman mengatakan, pemanfaatan dan pengembangan WBTB dapat dilakukan oleh pemerintah desa dan komunitas lokal. Oleh karena itu, pihaknya intens berkoordinasi dengan desa dan komunitas budayawan, salah satunya dalam mencatat kreasi budaya di desa masing-masing.
”Meski WBTB diusulkan oleh provinsi, pelindungan kebudayaan dimulai dari desa. Koordinasi dan kolaborasi melahirkan komitmen bersama demi terwujudnya upaya pelindungan,” katanya.
Budayawan dari Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, mengatakan, kekayaan kreasi budaya tidak hanya membutuhkan pengakuan, tetapi juga harus dipelihara. Penggunaannya pun tidak boleh asal-asalan, salah satunya terkait pemakaian bahasa.
”Sekarang bahasa Betawi liar berkembang begitu saja, dicampur-campur. Oleh karena itu, Jakarta memerlukan balai bahasa Betawi supaya ada upaya perlindungan sehingga tidak semakin keok dengan dialek yang katanya kekinian,” ucapnya.