Panen Semak di Proyek Cetak Sawah
Sawah-sawah yang dicetak tentara di Konawe Selatan sejak tahun 2017 kini terbengkalai.
Lahan cetak sawah di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, sebagian besar hanya ditumbuhi semak belukar. Puluhan hektar lahan yang telah dicetak dengan anggaran miliaran rupiah kembali ditumbuhi semak-belukar akibat sulitnya pengairan dan tidak berlanjutnya program.
Berjalan cepat, Ketua Kelompok Tani Mekohia, Tahunan (40), masuk ke area sawah miliknya dan keluarga di Desa Lalonggombu, Lainea, Konawe Selatan. Langkahnya berhenti di rumah kebun tepat di tengah lahan. Bangunan itu reyot, dengan atap rumbia yang telah hilang sebagian. Panci dan alat masak berdebu dan dipenuhi jaring laba-laba, menandakan jarang dipakai lagi.
Di sekeliling rumah kebun itu, lahan milik keluarga Tahunan seluas 1,5 hektar dipenuhi ilalang dan semak belukar. Beberapa pohon berkayu tumbuh menjulang. Bahkan, lahan milik warga lain sebagian sudah mulai ditanami kelapa sawit. Hampir tidak terlihat jejak lahan sawah yang dicetak pada tahun 2017.
Menurut Tahunan, lahan di pinggir Desa Lalonggombu kebanyakan susah air sehingga lebih difungsikan sebagai perladangan tadah hujan. Semasa masih hidup, kedua orangtuanya pernah menanam padi ladang dan jagung di lahan itu. Hasil padi ladang dan jagung itu menjadi selingan di antara konsumsi sagu yang menjadi menu pokok sehari-hari.
Baca juga: Darurat Kemandirian Pangan di Kepulauan
Kisaran tahun 2010, sebagian besar lahan itu mulai ditanami tanaman kayu. Warga beralih ke lokasi lain yang memiliki sumber air lebih dekat. Sebagian warga masih bertahan memanfaatkan lahan itu untuk menanam jagung yang tidak membutuhkan air lebih banyak.
Hingga pada tahun 2017, pemerintah datang untuk menawarkan proyek cetak sawah. Selain cetak sawah, warga juga dijanjikan akan dibuatkan saluran irigasi. Tak lama kemudian datang tentara yang membawa alat-alat berat. Lahan dibuat petakan seperti sawah pada umumnya.
”Tapi, air tetap sulit karena tidak dibuatkan irigasinya. Kami dijanjikan ada pengairan, tetapi alhamdulillah sampai sekarang tidak ada,” katanya tertawa miris.
Menurut Tahunan, setelah dicetak sawah, dia pernah enam kali coba tanam padi, tapi gagal terus. ”Kakak saya juga pernah coba tanam padi di sini, tapi gagal juga. Masalahnya airnya susah,” katanya.
Tidak hanya lahan milik Tahunan, kebanyakan areal proyek cetak sawah itu juga tidak bisa ditanami padi. ”Dari 70 hektar yang dibuka, hanya ada 1,5 hektar yang sampai sekarang masih ditanami padi, sebanyak 20 hektar ditanami jagung, dan 6 hektar bahkan menjadi lahan sawit. Selebihnya kembali menjadi hutan,” ucapnya.
Masalah air
Kepala Desa Lalonggombu Umar Maliq mengatakan, pengairan memang menjadi masalah untuk area persawahan di wilayah ini. Dalam program cetak sawah tersebut, pemerintah sebenarnya menjanjikan adanya irigasi untuk membantu petani dalam penanaman.
”Di sini habis dicetak itu ditinggalkan. Makanya, banyak petani yang beralih ke jagung karena tidak membutuhkan air banyak. Kalau harus disiram pakai sumur bor, itu butuh biaya mahal,” katanya.
Kondisi serupa juga terjadi di Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Konawe Selatan. Lahan yang telah dicetak menjadi sawah kembali menjadi hutan dan semak belukar. Sulitnya pengairan, hingga kondisi tanah yang tidak cocok, membuat warga enggan lagi menanam padi karena kerap merugi.
Sebagian petani mencoba membuat sumur bor untuk mengairi sawahnya. Namun, biayanya tinggi sehingga tak semua petani mampu.
Ashar (45), Ketua Kelompok Tani Dawi-Dawi Desa Lambakara, mengatakan, pengerjaan cetak sawah di wilayahnya dilakukan tiba-tiba. Ia bahkan tidak pernah menandatangani persetujuan pencetakan sawah di medio 2017 tersebut. Tiba-tiba saja tentara datang dengan alat-alat berat.
Sampai saat ini, ia juga tidak mengetahui persis berapa luas lahan yang dicetak menjadi sawah. ”Katanya 50 hektar, termasuk sebagian anggota kelompok. Tapi, yang masih menanam padi itu tinggal beberapa hektar saja. Persoalan utamanya itu air dan kondisi tanah,” kata Ashar.
Sebagian petani mencoba membuat sumur bor untuk mengairi sawahnya. Namun, biayanya tinggi sehingga tak semua petani mampu. Belum lagi dengan biaya bajak dan tanam, bibit, pupuk, hingga panen. Dibutuhkan minimal Rp 5 juta hingga Rp 7 juta untuk 1 hektar lahan.
Kepala Desa Lambakara Abdul Haris Tamburaka mengungkapkan, luas total sawah di desanya sekitar 120 hektar. Sebanyak 50 hektar di antaranya hasil dari cetak sawah pada medio 2017 lalu.
Lahan miliknya juga termasuk menjadi lokasi pembuatan cetak sawah. Luasnya mencapai 3 hektar. Berbeda dengan petani lain, ia masih mencoba menanam padi di lahan cetak sawah tersebut. ”Tapi, saya mulai dengan mengolah ulang tanah karena kondisi hasil cetak sawah tidak begitu bagus. Jadi sewa alat berat untuk rapikan ulang,” katanya.
Baca juga: Jalan Panjang Mewujudkan Kemandirian Pangan
Tidak hanya itu, ia juga membuat sumur bor sendiri. Biayanya mencapai Rp 5 juta untuk empat titik sumur bor. Sebab, jika memakai pompa untuk mengairi sawah, biayanya jauh lebih besar. Kebutuhan bahan bakar bisa mencapai Rp 150.000 dalam sehari. Dengan tiga bulan masa tanam, kebutuhan bahan bakar bisa sangat tinggi.
Wilayah Konawe Selatan adalah satu satu daerah yang digagas menjadi lumbung beras Sulawesi Tenggara. Luas lahan sawah di wilayah ini mencapai 22.700 hektar. Wilayah ini menjadi kabupaten dengan sawah terluas kedua setelah Konawe yang mencapai 45.800 hektar.
Upaya untuk menggenjot beras di wilayah ini terus berulang meski program cetak sawah telah gagal sebelumnya. Situasi ini serupa dengan berbagai program perluasan sawah di berbagai wilayah di Indonesia yang juga gagal.
Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Sulawesi Tenggara Endah Susilowati, yang dikonfirmasi pada Jumat (20/10/2023), mengatakan, cetak sawah di wilayah Konawe Selatan ini merupakan bagian dari proyek nasional, didanai Kementerian Pertanian pada 2017 dan 2019. Total luas cetak sawah di Sultra pada tahun itu mencapai 3.269 hektar yang tersebar di Kabupaten Konawe, Muna, dan Konawe Selatan.
”Semua sawah tercetak di lokasi tersebut,” kata Endah.
Evaluasi cetak sawah
Endah mengatakan, sebagian lokasi cetak sawah tersebut kini tidak lagi produktif. Salah satunya di Desa Lambakara, Konawe Selatan. Dari total 80 hektar lahan cetak sawah, tinggal 15 hektar lahan yang diolah. Sementara 65 hektar sisanya sama sekali tidak diolah. Kondisi yang sama terjadi di beberapa titik lainnya.
Menurut Endah, hal ini terjadi karena lokasi-lokasi cetak sawah tersebut kekurangan air. Selain itu, sebagian petani juga beralih profesi menjadi pekerja di lokasi tambang nikel yang banyak di wilayah Sultra. ”Masalah utamanya petani yang beralih profesi, sulitnya air, dan sarana prasarana. Hal ini sedang diupayakan bersama-sama untuk penanganan,” tambahnya.
Endah berharap, pemerintah kabupaten setempat bisa membantu sarana dan prasarana dan mengalokasikan anggaran di daerah cetak sawah itu sehingga lahannya bisa kembali produktif. Saat ini, Kementerian Pertanian sedang melakukan pendataan kembali lokasi cetak sawah yang tidak termanfaatkan.
Baca juga : Candu Beras dan Mi Instan di Kepulauan
”
”
Menurut Suryo, cetak sawah, selain tidak mudah, juga berbiaya mahal. Bahkan, jika cetak sawah itu dilakukan di tanah mineral yang baik saja tidak bisa langsung jadi. Minimal butuh lima tahun sampai tanahnya stabil. Kalau programnya tidak berkelanjutan, sangat mungkin akan gagal.
”Apalagi, kalau tanahnya gambut. Gambut dalam jelas tidak mungkin, gambut tipis masih bisa, tapi butuh upaya lebih,” ujarnya.
Alih-alih terus menggenjot cetak sawah, Suryo menyarankan pemerintah untuk lebih mendorong produksi dan konsumsi pangan lokal sesuai kondisi daerah masing-masing. Untuk daerah Konawe Selatan dan Konawe, sebenarnya secara tradisional masyarakat telah mengonsumsi sagu.
Liputan ini didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center.