Libatkan Warga dalam Pemanfaatan Panel Surya Atap untuk Transisi Energi
Warga perlu terlibat aktif dalam transisi energi bersih dengan memasang panel surya di atap rumah. Modal yang dikeluarkan sepadan dengan hasil yang dirasakan karena lebih hemat.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Instalasi pembangkit listrik tenaga surya atap bisa dilakukan warga dengan biaya terjangkau. Penggunaannya juga mudah dengan biaya bulanan murah. Namun, realisasinya terkendala peraturan pemerintah yang dinilai belum berpihak pada energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Salah satunya pengguna pembangkit listrik tenaga surya atap, Binbin Mariana, menuturkan, dia sudah memakai panel surya sejak tahun 2020 untuk mengurangi beban biaya dari tagihan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dia memasang panel surya berdaya 1,7 kilowatt-peak (kWp) di atap rumahnya tanpa media penyimpanan energi.
Total biaya pemasangan Rp 30 juta dengan membayar uang muka Rp 5 juta dan sisanya sisanya dibayar dengan cara mencicil tiap bulan. Menurut dia, angka ini terjangkau sebagai modal awal menuju energi terbarukan yang lebih bersih dan hemat mengingat paparan matahari di Indonesia berlimpah.
”Saya pasang sejak 2020, hampir empat tahun tidak ada kendala, pernah sekali bermasalah mati, saya telepon vendor-nya, bahkan tanpa teknisinya datang bisa langsung benar karena ada aplikasinya, bisa diatasi dengan jarak jauh,” kata Binbin dalam diskusi bertajuk ”Revisi Aturan Surya Atap: Untung atau Buntung?” di Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Meski tanpa media penyimpanan listrik, kini 80 persen kebutuhan listrik di rumah Binbin berasal dari PLTS atap, dan 20 persennya dari aliran PLN. Jadi, PLTS atap oleh publik berkontribusi menurunkan emisi sesuai janji Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP) 23 di Paris, Perancis, pada 2015.
Ketua Bidang Advokasi dan Edukasi Asosiasi Energi Surya Indonesia Yohanes Bambang Sumaryo menegaskan, Indonesia sebagai negara dengan skala geografis yang cukup besar memiliki berbagai macam potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Potensi melimpah
Dengan matahari yang sangat melimpah, potensi energi suryanya mencapai 3.295 GW dengan potensi yang dimanfaatkan untuk PLTS masih sangat kecil, yaitu 260 MW. ”Jadi, sistem PLTS atap ini tidak lebih jelek dari PLN,” ujar Yohanes.
Greenpeace pernah melakukan survei pada tahun 2020 bahwa lebih dari 80 persen warga Jakarta ingin memasang panel surya di rumahnya. Namun, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, mengatakan, potensi ini terhambat kebijakan pemerintah.
Salah satunya revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021 yang mengatur pemasangan surya atap.
Revisi tersebut mengakomodasi memo internal PLN yang membatasi kapasitas pemasangan surya atap hanya 10-15 persen dari kapasitas terpasang. Aturan ini dianggap menghambat pengembangan energi terbarukan dalam rencana ketenagalistrikan, khususnya energi surya.
”Transisi energi tidak akan bisa berjalan, energi surya akan tidak kompetitif harganya jika dari tiap lembaga negara tidak memiliki kemauan yang serius untuk bertransisi melalui payung hukum yang mereka ciptakan,” kata Hadi.
Yohanes menambahkan, salah satu daya tarik orang memasang PLTS atap adalah ada ketentuan net metering. Namun, pemerintah mewacanakan untuk menghapus ketentuan net metering ini pada revisi Peraturan Menteri ESDM No 26/2021 tersebut.
Net metering adalah bentuk insentif pemerintah agar masyarakat umum tertarik memasang PLTS atap yang harganya relatif masih mahal dibandingkan dengan biaya langganan listrik PLN.
”Dengan revisi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 di mana ekspor listrik ke grid PLN ditiadakan, orang yang mau memasang PLTS atap harus membeli baterai penyimpan energi yang mahal sehingga tingkat pengembalian modal lebih lama, jadi 9-10 tahun. Akibatnya, banyak orang mengurungkan niatnya memasang PLTS atap,” tutur Yohanes.
Menurut Suriadi Darmoko, Pengkampanye 350 Indonesia, PLTS atap ini dapat menjadi jalan pintas mengejar target bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan.
Skala rumah tangga
Publik bisa berpartisipasi dalam transisi energi sehingga ke depan proses produksi energi tidak lagi terbatas pada perusahaan skala besar, tetapi juga bisa melibatkan rumah tangga sampai badan usaha milik desa (Bumdes) atau pemerintah daerah melalui PLTS atap.
Energi surya akan tidak kompetitif harganya jika dari tiap lembaga negara tidak memiliki kemauan yang serius untuk bertransisi melalui payung hukum yang mereka ciptakan.
”Semua orang mengontribusikan atapnya untuk memanen listrik dari energi surya tanpa perlu pengadaan lahan. Pemerintah harus mengambil peran serius melalui kebijakan yang konsisten dan publik bisa dapat kepastian kebijakan dan kemudahan untuk berpartisipasi,” ujar Suriadi.
Oleh karena itu, mereka mendesak keseriusan pemerintah dalam implementasi transisi energi. Dengan tingginya keinginan warga memasang panel surya, seharusnya jadi landasan bagi pemerintah membuat payung hukum lebih serius untuk mendukung penerapan energi terbarukan di masyarakat.
Menanggapi hal itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menyebut, proses revisi Peraturan Menteri ESDM mengenai PLTS atap telah selesai diharmonisasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ketentuan mengenai kuota pemasangan PLTS atap, lanjut Andriah, akan ditentukan PLN. Dalam regulasi yang baru, pemerintah berhak mencabut izin persetujuan apabila selama enam bulan tidak ada eksekusi dari pengembang.
”Terkait ketentuan ekspor, saat ini PLN surplus. Keterbatasan infrastruktur membuat PLN hanya bisa menerima pasokan listrik dari pembangkit intermiten sehingga regulasi baru tak menghitung ekspor,” kata Andriah saat sesi diskusi dalam Indonesia Solar Summit 2023, di Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Regulasi yang baru kurang menarik bagi sektor residensial (rumah tangga) karena skema pengurangan tarif atas kelebihan listrik tidak berlaku. Walakin, regulasi baru ini bisa melibatkan sektor industri lebih banyak sehingga target kapasitas PLTS atap 3,6 GW pada 2025 bisa tercapai (Kompas.id, 31 Juli 2023).