Pangan Instan Menggerus Pangan Lokal
Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat biodiversitas terbesar di dunia. Menurut Badan Pangan Nasional (NFA), ada sekitar 945 potensi keanekaragaman hayati pangan yang tersebar di seluruh Nusantara.
Dalam 30 tahun terakhir, keberagaman konsumsi pangan masyarakat di kepulauan kecil makin berkurang. Salah satu penyebabnya adalah penetrasi produk instan dan varietas padi hibrida yang menggantikan padi lokal.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat biodiversitas terbesar di dunia. Tak heran keberagaman pangan juga sangat melimpah. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (NFA), ada sekitar 945 potensi keanekaragaman hayati pangan secara nasional, paling banyak jenis buah-buahan (389 jenis).
Jenis pangan sumber karbohidrat memiliki 77 jenis, mulai dari sagu, talas, jagung, ubi kayu, hingga ubi jalar. Ada banyak jenis umbi-umbian dengan nama lokal yang spesifik. Sementara untuk sumber protein, ada 75 jenis yang meliputi hewan darat dan laut.
Untuk keragaman sayuran mencapai 228 jenis yang berguna untuk memenuhi kebutuhan protein nabati. Jenis pangan berikutnya yang memiliki banyak jenis adalah rempah dan bumbu yang mencapai 110 jenis. Semua jenis pangan tersebut berbasis potensi lokal dan tersebar di berbagai wilayah kepulauan Nusantara.
Merujuk pada UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012, pangan lokal didefinisikan sebagai makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Jenis pangan tersebut meliputi pangan sumber karbohidrat, pangan sumber protein, dan pangan sumber vitamin serta mineral.
Keberagaman pangan di wilayah kepulauan Nusantara menyimpan potensi yang sangat besar. Hal tersebut sejalan dengan temuan Kompas di tiga wilayah kepulauan, yaitu Kepulauan Mentawai, Kepulauan Muna-Buton-Wakatobi, dan Kepulauan Nusa Tenggara Timur. Ada ratusan jenis pangan yang menopang kehidupan masyarakat setempat.
Sayangnya, hegemoni pangan lokal di kepulauan tersebut terancam hilang. Hasil observasi lapangan oleh Kompas sepanjang Agustus-Oktober 2023 menunjukkan, saat ini terjadi penurunan keberagaman pangan hingga 7,82 persen dibandingkan dengan 30 tahun lalu. Berkurangnya pilihan pangan masyarakat kepulauan terjadi untuk semua jenis pangan, mulai dari sumber karbohidrat, protein, vitamin, hingga mineral.
Pada 30 tahun lalu, masyarakat di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, mengonsumsi sedikitnya 112 jenis pangan lokal. Berbagai jenis pangan tersedia melimpah, seperti padi lokal merah (aen mntasa), padi lokal hitam (aen metan), jagung ungu, jagung lokal kuning (pen molo), kacang lokal merah (foe mntasa), kacang lokal hitam (foe metan), hingga kacang lokal putih (foe muti).
Berselang 30 tahun, saat ini tersisa hanya 104 jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat Pulau Siberut. Artinya, sepanjang tiga dekade keberagaman pangan menurun 7,14 persen. Kondisi serupa dialami masyarakat kepulauan Muna, Buton, dan Wakatobi dengan penurunan jenis pangan lokal lebih besar dari Siberut. Tercatat 18,23 persen jenis pangan di kepulauan wilayah Sulawesi Tenggara hilang dan digantikan oleh berbagai produk instan.
Masyarakat kepulauan Nusa Tenggara Timur bernasib sama seperti dua wilayah lain. Sebanyak 7,9 persen keberagaman pangan hilang atau tidak dikonsumsi oleh masyarakat saat ini. Sejumlah sumber karbohidrat sudah tidak dikonsumsi, seperti jagung ungu (water lobung), sorgum putih (watar wili bara karohu), sorgum hitam (watar hamu miting karohu), dan jawawut (uhu kanii).
Hegemoni pangan lokal
Fenomena penurunan keberagaman pangan di wilayah kepulauan menjadi kehilangan besar bagi biodiversitas ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia. Tak hanya itu, masyarakat lokal kehilangan sumber pangan melimpah yang kaya manfaat bagi tubuh manusia. Akibatnya, jumlah anak balita kekurangan gizi, stunting, dan penyakit lain yang menyerang orang dewasa berisiko meningkat.
Banyak sekali alasan yang mendasari pentingnya pangan lokal. Dari aspek ekonomi, pangan lokal memiliki harga lebih terjangkau. Sebagai contoh, harga 3 ubi kayu setara hampir 8 kilogram di salah satu pasar di Desa Hoelea Pulau Lembata NTT hanya Rp 10.000 saja. Demikian pula harga ikan-ikan laut berukuran besar dijual hanya seharga Rp 15.000-Rp 25.000 saja.
Dari aspek gizi dan kesehatan, pangan lokal adalah opsi terbaik untuk memperoleh makanan sehat. Sayuran dan buah-buahan lebih segar karena langsung diambil dari ladang serta dikonsumsi sesuai musimnya. Tak hanya itu, banyak makanan lokal yang memiliki kandungan serat dan antioksidan tinggi, seperti talas, kentang, sagu, atau pisang.
Dari aspek sosial dan lingkungan, hegemoni pangan lokal berarti merawat kearifan lokal. Banyak sekali sajian hidangan dari pangan lokal yang mencerminkan budaya masyarakat setempat. Metode pengelolaan lahan untuk tanaman lokal juga disesuaikan dengan karakteristik lahannya selama ratusan tahun. Konsep tersebut adalah cerminan sistem pertanian berkelanjutan yang sangat penting untuk menjaga ekosistem keanekaragaman hayati.
Selain itu, pergeseran pola konsumsi yang meninggalkan pangan lokal berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022, prevalensi stunting di tiga wilayah kepulauan kecil tercatat sangat besar, bahkan jauh melampaui rata-rata nasional. Anak balita stunting di Kepulauan Mentawai mencapai 32 persen, Kepulauan Wakatobi sebesar 29,9 persen dan di wilayah NTT 35,3 persen. Hal serupa terjadi di anak balita dengan status underweight.
Produk instan
Pola konsumsi masyarakat lokal di wilayah kepulauan telah bergeser dan mengalami banyak kehilangan jenis pangan lokal. Setidaknya ada dua penyebab utama, yaitu masuknya produk instan dan benih hibrida yang berasal dari luar wilayah endemiknya. Produk instan paling banyak dikonsumsi adalah mi instan, disusul ikan kaleng.
Temuan Kompas menunjukkan tingkat konsumsi produk mi instan di Kepulauan Mentawai, Wakatobi, dan Nusa Tenggara Timur mulai meningkat sekitar 10 tahun lalu. Masyarakat mulai mengonsumsi mi instan karena dianggap cepat dan mudah dalam penyajiannya. Rasa dari produk tersebut juga dinilai lebih gurih sehingga disukai anak-anak hingga orang dewasa. Tak jarang mi instan menjadi opsi sarapan atau bekal anak-anak di sekolah.
Tingginya minat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap mi instan bukan hal baru. Menurut laporan World Instant Noodles Association, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat konsumsi mi instan tertinggi kedua di seluruh dunia pada 2022. Total ada 14,26 miliar bungkus/porsi yang habis dalam setahun. Apabila dilihat lima tahun terakhir, konsumsi mi instan terus meningkat sekitar 3,31 persen atau 430 juta bungkus/porsi setiap tahun.
Konsumsi mi instan diperkirakan akan terus meningkat, apalagi tren impor gandum untuk bahan baku pembuatan mi sangat besar. Jumlah gandum yang diimpor Indonesia tahun 2022 mencapai 9,53 juta ton atau telah meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan dua dekade silam.
Selain mi instan, penyebab pergeseran pola konsumsi masyarakat adalah masuknya benih hibrida yang menggantikan benih lokal. Secara historis, benih padi lokal sudah sangat beragam, mulai dari padi merah, padi hitam, padi putih, jagung ungu, hingga jagung kuning. Semuanya ditanam di ladang dengan sistem tadah hujan di wilayah kepulauan Indonesia. Namun, saat ini banyak jenis padi hibrida atau jagung hibrida yang ditanam masyarakat karena program tertentu dari pemerintah.
Akibatnya, banyak keberagaman pangan lokal yang telah hilang dan digantikan komoditas pangan yang berasal dari benih hibrida dengan tujuan meningkatkan produksi pangan nasional. Walaupun tujuannya baik, sebaiknya upaya ini perlu dievaluasi kembali. Menghilangnya varietas lokal berarti bertaruh terhadap kualitas pangan masyarakat setempat. Ditemukannya kasus stunting, gizi buruk, dan penyakit lainnya menjadi bukti bahwa hilangnya pangan lokal menjadi persoalan serius bagi kesehatan. (LITBANG KOMPAS)