Pemerintah Jajaki Amerika Serikat untuk Mengembangkan Sekolah Inklusi
Jumlah guru yang berkompeten membimbing disabilitas masih minim. Karena itu, perlu peningkatan mutu pembimbing, tak semata perluasan fasilitas fisik.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Sosial menjajaki kerja sama dengan Pemerintah Amerika Serikat untuk memberikan pelatihan bagi guru, pekerja sosial, dan relawan agar memiliki kompetensi mumpuni saat membantu perkembangan siswa disabilitas. Hal ini bertujuan mewujudkan sekolah inklusif kian baik.
Menteri Sosial Tri Rismaharini mengutarakan, peserta didik disabilitas didorong untuk mandiri, tetapi tidak semua bisa lepas dari ketergantungan pada orang lain. Karena itu, Amerika Serikat diharapkan membantu para siswa di sekolah inklusi dan sekolah luar biasa mengembangkan kompetensi khusus inklusi disabilitas.
”Talenta mereka harus kita kembangkan dan itu butuh guru yang mampu menangkapnya. Saya ingin USAID (Lembaga Pembangunan Internasional AS) memfasilitasi pelatih atau pengasuh kami mendapat pendidikan,” kata Risma seusai Forum Tingkat Tinggi Menteri Sosial se-ASEAN di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/10/2023) malam.
Masyarakat kita belum inklusif pada disabilitas. Jadi bagaimana kita harus menghancurkan batasan itu dengan memperbanyak akses bagi kelompok disabilitas agar bisa mengembangkan nilai-nilai dalam diri mereka.
Penasihat Khusus Hak Disabilitas Internasional Amerika Serikat (AS) Sara Minkara yang hadir dalam forum ini menyambut baik upaya tersebut. Menurut Sara, para difabel bukan tidak bisa mengembangkan diri, melainkan sistem suatu negara kerap mengesampingkan kebutuhan difabel.
Semua itu bisa terwujud jika pemerintah suatu negara benar fokus pada isu difabel. Oleh karena itu, dia mendorong negara-negara anggota ASEAN yang bermitra dengan AS bisa bersama-sama mewujudkan hal tersebut.
”Masyarakat kita belum inklusif pada disabilitas. Jadi sekarang, bagaimana kita harus menghancurkan batasan itu dengan memperbanyak akses bagi kelompok disabilitas agar mereka bisa mengembangkan nilai dalam diri mereka,” kata Sara.
Akses pendidikan
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan per Mei 2023, jumlah guru pembimbing khusus di Tanah Air hanya 4.695 orang dan 10.244 guru reguler yang dilatih mendampingi difabel.
Sementara Indonesia memiliki 40.165 sekolah inklusi di tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan total murid difabel mencapai 135.874 orang. Di sekolah luar biasa ada 2.326 sekolah yang melayani 152.756 murid difabel.
Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif mewajibkan setiap sekolah memiliki minimal satu guru pembimbing khusus. Keterbatasan ini menjadi tantangan besar dalam mewujudkan sekolah inklusi.
Menurut anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, pemerintah harus memastikan semua konsep inklusif disabilitas dalam forum regional ini terimplementasi sampai tingkat pemerintah daerah. Terlebih pendidikan merupakan hal yang diwajibkan dan dirasakan langsung masyarakat.
”Di tingkat pemerintah daerah kita, hal seperti ini belum terlalu familiar. Jika isu ini tidak menjadi bagian dari perencanaan daerah, isu disabilitas tidak akan menjadi program konkret pemerintah daerah,” kata Robert.
Guru Besar Bidang Inklusi dari Universitas Negeri Surabaya, Budiyanto, menambahkan, perluasan akses disabilitas pada sekolah inklusi mesti berimbang dengan kenaikan mutu pengajar agar berperspektif inklusif disabilitas. Hal ini merupakan tugas semua kementerian dan lembaga.
”Untuk itu perlu pemberdayaan lembaga mitra, masyarakat, dan keluarga. Saya memperhatikan bahwa tingkat edukasi dan afirmasinya masih rendah dibandingkan negara-negara maju,” kata Budiyanto.
Sebelumnya, Risma mengusulkan konsep kolaborasi Kementerian Sosial serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Kementerian Agama untuk meningkatkan kecakapan murid disabilitas di sekolah luar biasa.
Ide ini berawal dari keprihatinan Risma melihat beberapa difabel tidak bisa mengakses pendidikan yang sesuai keterbatasannya karena kurangnya pendampingan yang berkompeten.
Pihaknya tidak bisa masuk sampai ke ranah pendidikan umum yang merupakan wewenang Kemendikbudristek dan Kementerian Agama. Meski demikian, Kemensos bisa membantu membentuk sekolah inklusi dengan mendampingi anak difabel sesuai kebutuhannya.
Risma menilai, para pendidik di SLB pun belum berkompeten khusus sehingga perlu pendamping khusus untuk mengoptimalkan kemampuan difabel. Hal ini tak bertentangan dengan semangat menjadikan semua sekolah inklusi, tapi ada banyak kasus disabilitas tak bisa ditangani tenaga pendidik di sekolah inklusi.