Perceraian adalah suatu keputusan berat dengan traumatis yang membekas dan sangat mengganggu kesehatan mental. Maka bicarakanlah apa maumu dan dengarkanlah mau pasanganmu untuk menemukan rasa cinta yang menghilang.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
Pepatah yang menyebut cinta tumbuh seiring berjalannya waktu sepertinya tidak relevan lagi karena saat ini banyak pasangan yang kehilangan rasa yang dulu ada ketika mengikat janji setia. Maka, perceraian semakin dianggap normal sebagai jalan keluar, padahal sebenarnya mereka hanya tidak pernah memberi ruang untuk berbicara dan mendengarkan.
Teori segitiga cinta yang dikemukakan psikolog Robert Sternberg (1988) memandang cinta meliputi tiga komponen, yakni ketika ada keintiman, ada komitmen, dan ada ketertarikan. Jika salah satu atau bahkan ketiganya sudah tidak bisa dirasakan oleh salah satu atau kedua pasangan, cinta perlu dipertanyakan ulang.
Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa dalam pernikahan, romantisisme biasanya hanya terjadi di awal saja. Setelah melalui bahtera rumah tangga, rasa cinta bisa memudar atau bahkan hilang. Proses ini disebut sebagai disaffection.
Survei Badan Pusat Statistik Indonesia 2023 menunjukkan, angka perceraian meningkat pada 2022 yang mencapai 516.334 kasus, tertinggi dalam enam tahun terakhir. Uniknya, ini banyak terjadi pada pasangan milenial berusia 30-40 tahun. Mereka beralasan kehilangan rasa masa lalu, tidak bahagia, dan hidupnya tidak berkualitas.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Dharmayati Utoyo Lubis, menilai, pasangan milenial sering kali menginginkan pasangannya menjadi seperti yang ia inginkan. Padahal, seseorang tidak bisa mengubah pasangannya hanya dengan menikah. Sebab, orang yang dinikahinya telah tumbuh besar dengan karakter yang dibangun sejak lama. Maka, mereka akan saling mengkritik jika tindakan pasangan tidak sesuai ekspektasi, bahkan sampai mencari-cari kesalahan.
Karena itu, timbul rasa sedih, marah, menjauh, dan hambar. Inilah awal dari hilang rasa cinta yang harus segera diatasi. Jika tidak, rasa itu berkembang menjadi apatis pada pasangan, sampai muak dan memutuskan untuk bercerai. Proses ini umumnya bisa berjalan selama sekitar dua tahun.
Sementara perceraian adalah satu keputusan berat dengan traumatis yang membekas dan sangat mengganggu kesehatan mental. Ada perasaan berduka, gagal, kehilangan, kesepian, dan putus asa yang memicu depresi.
”Pasangan muda memang lebih individualis, dalam arti nomor satu adalah saya, baru nomor dua baru kita atau kamu. Kalau pasangan dua-duanya seperti itu, ya tidak akan ketemu. Generasi sekarang memang lebih individualis dan hukum sosial masa kini juga semakin dapat menerima perceraian,” kata Dharmayati dalam webinar yang digelar oleh Yayasan Psikologi Unggulan Indonesia (YPUI), Jumat (6/10/2023).
Psikolog Jean Twenge juga pernah menulis artikel di majalah Time tahun 2003 yang menyebut generasi milenial sebagai generation me atau generasi yang memikirkan dirinya sendiri. Mereka memang mudah beradaptasi pada perubahan zaman, adiktif pada teknologi, percaya diri, dan berpikiran terbuka. Namun, mereka sangat berorientasi dan ambisius kepada keberhasilan, mudah bosan, materialistis, dan tidak peduli sesama.
Maka dari itu, menurut Dharmayati, penyesuaian diri kembali pada masing-masing pasangan. Tidak mudah, tetapi bisa dilakukan untuk merajut kembali rasa yang hilang. Caranya, dengan menurunkan ego masing-masing dan memberi ruang pada komunikasi.
Caranya, dengan menurunkan ego masing-masing dan memberi ruang pada komunikasi.
Di dalam ruang itu bicarakanlah kembali tujuan awal pernikahan, lakukan interospeksi pernikahan secara berkala, jujurlah pada diri sendiri dan pasangan, dan sesekali tinggalkan rutinitas lalu pergi berdua mengulang pengalaman pengalaman romantis. Jangan biarkan ada komunikasi yang menghakimi di ruang tersebut, selesaikan konflik tanpa manipulasi dan paksaan, saling hormati harga diri masing-masing, dan yang terpenting, mendengarkan, bukan hanya mendengar.
”Faktor terpenting dalam suatu perkawinan adalah adanya komunikasi yang baik. Dengan demikian, perkawinan yang sehat dan bahagia akan tetap terjaga,” tutur Dharmayati.
Pola ini pernah diterapkan oleh Teguh, bukan nama sebenarnya. Awalnya pernikahannya dengan sang istri sangat romantis, tetapi ketika anak pertama lahir dan besar mereka banyak beda pandangan tentang cara mendidik anak. Mereka saling bersitegang mempertahankan caranya sendiri karena merasa paling baik hingga muncul rasa marah lalu cinta memudar.
Kemudian, datanglah pandemi Covid-19 yang menghantam bisnis Teguh, dia merasa kedudukannya sebagai kepala rumah tangga diusik oleh sang istri yang pekerjaannya tidak terlalu terdampak pandemi. Terlebih pandemi membuat keduanya semakin sering bertemu di rumah yang menyebabkan pertikaian semakin sering terjadi.
Teguh mengaku terpikir untuk bercerai. Beruntungnya, mereka tidak terbawa emosi sesaat dan lebih mencari solusi dengan berkonsultasi ke psikolog. Setelah itu, mereka mencoba kembali membuka ruang komunikasi dengan menurunkan ego masing-masing, lalu mencari kembali kesepakatan bersama yang saling menghormati untuk membesarkan kedua anak mereka.
”Sekarang sudah saling mengerti, kami saling tahu kesalahan kami apa, yang tadinya sudah di ujung tanduk perpisahan dan mau pisah rumah, tetapi dengan komunikasi itu jauh lebih baik dan kini saling mendukung,” kata Teguh.
Namun, Dharmayati menegaskan, tidak selamanya pula konseling dengan psikolog membawa hasil yang baik. Keputusan bercerai bisa jadi yang terbaik. Sebab, tidak mudah untuk mengembalikan rasa yang sudah hilang, terlebih jika ada orang ketiga atau kekerasan dalam pernikahan tersebut.