BPOM: Temuan Obat Sirop Beracun di India Tidak Dijual di Indonesia
BPOM terus berupaya melakukan verifikasi hasil pengujian bahan baku obat agar tragedi gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA tahun lalu tidak terjadi lagi di Tanah Air.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan RI memastikan dua jenama obat sirop beracun akibat cemaran zat etilen glikol dan dietilen glikol di India tidak beredar di Indonesia. Meski demikian, lembaga pemerintah tersebut terus melakukan verifikasi hasil pengujian bahan baku obat.
Sejauh ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus melakukan verifikasi hasil pengujian bahan baku obat agar tragedi gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA tahun lalu tidak terjadi lagi di Tanah Air.
Organisasi Pengendali Standar Obat-obatan Pusat (Central Drugs Standard Control Organization/CDSCO) India mengungkap hasil pemeriksaan laboratorium terhadap obat sirop batuk Trimax Expectorant produksi Norris Medicines mengandung 0,118 persen etilen glikol (EG).
Sementara obat alergi Sylpro Plus Syrup mengandung 0,171 persen EG dan 0,243 persen dietilen glikol (DEG). Hal ini diklasifikasikan dalam daftar obat ”tak sesuai mutu standar/palsu/adulterasi/salah label” pada laporan bulan Agustus 2023.
Menurut BPOM, berdasarkan hasil verifikasi mereka pada 18 Juli sampai 6 September 2023, sebanyak 1.108 produk sirop obat dari 102 industri farmasi telah memenuhi ketentuan dan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai.
Produsen obat Norris Medicines (NORI.BO) yang memproduksi kedua jenama obat sirop tersebut tidak ada di Indonesia. ”Produk tersebut tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia,” demikian keterangan resmi dari Tim Humas BPOM, di Jakarta, Jumat (6/10/2023).
Sampai dengan 6 September 2023, persentase sirop obat mengandung pelarut gliserin, propilen glikol, polietilen glikol, dan/atau sorbitol yang dinyatakan memenuhi ketentuan dan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai mencapai 92,2 persen dari total 1.202 sirop obat yang jadi obyek verifikasi.
Saat ini, BPOM masih melakukan tahap akhir verifikasi hasil pengujian bahan baku dan produk sirop obat sejak 26 Oktober 2022 untuk menuntaskan penanganan kasus sirop obat yang tercemar.
BPOM juga mengimbau industri farmasi melakukan penarikan mandiri jika ditemukan hal-hal yang tidak dapat menjamin mutu ataupun keamanan produk berdasarkan hasil penilaian mandiri.
Dengan begitu, masyarakat diminta tidak perlu khawatir. Sebab, BPOM menjamin obat sirop yang beredar di pasaran saat ini adalah aman.
Namun, masyarakat tetap diajak menjadi konsumen yang cerdas dengan mampu melindungi diri dan keluarga dari obat dan makanan berbahaya bagi kesehatan dengan menerapkan cek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa.
Membeli obat juga harus di toko resmi, apotek, toko obat berizin, atau fasilitas pelayanan kesehatan. Jika ingin membeli obat secara daring, pastikan obat diperoleh melalui toko resmi atau apotek yang telah memiliki izin penyelenggara sistem elektronik rarmasi (PSEF) dari Kementerian Kesehatan.
Kesadaran industri
Ketua Program Studi Profesi Apoteker Universitas Pancasila Hesty Utami Ramadaniati memaparkan, kesadaran industri farmasi untuk memastikan semua proses produksi obat memenuhi standar cara pembuatan obat yang baik perlu ditingkatkan. Sebab, BPOM memiliki keterbatasan untuk mengawasi.
”Kalau kita hanya mengandalkan BPOM, agak sulit karena sumber daya dan budget terbatas. Hal ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban industri farmasi untuk memastikan produknya bebas dari segala cemaran. Kalaupun ada, masih dalam ambang aman sesuai farmakope Indonesia,” kata Hesty.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga belum mencabut peringatan ancaman global dari sirop batuk beracun hingga waktu yang tak ditentukan. Sebab, tong-tong yang tercemar kemungkinan telanjur tersebar ke sejumlah negara dan tersimpan di gudang produsen obat-obatan itu.
Sirop batuk dan bahan baku tersebut, propilen glikol, memiliki masa simpan sekitar dua tahun. ”Ini adalah risiko yang masih berlangsung,” kata Rutendo Kuwana, Pemimpin Tim WHO untuk insiden obat substandar dan palsu.
Tanggung jawab dan kewajiban industri farmasi untuk memastikan produknya bebas dari segala cemaran. Kalaupun ada, masih dalam ambang aman sesuai farmakope Indonesia.
Dari pelacakan, WHO menduga awal mula sirop beracun tersebar karena pada tahun 2021 harga propilen glikol melonjak. Hal ini membuat ada pemasok yang diduga mencampurkan bahan lebih murah sebagai pengganti bahan yang standar, tetapi lebih mahal.
Ternyata bahan pengganti yang murah itu beracun. Kuwana tak menyebut di mana lokasi pemasok itu. Dia menambahkan bahwa rantai pasokan yang tidak jelas membuat pembuktian sulit dilakukan.