Sublimasi Kopi, dari Menyakitkan Menjadi Menyenangkan
Kopi memiliki sejarah kelam. Tanaman itu tumbuh dari keringat petani korban tanam paksa di era kolonial Belanda. Pameran Road to Max Havelaar merangkumnya dalam karya seni rupa.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kopi yang menjadi bagian dari gaya hidup anak muda hari ini dapat diseruput melalui perjuangan panjang. Kopi tumbuh dari keringat para petani korban tanam paksa di era kolonial Belanda. Ke depan, kopi Indonesia harus dikenal sebagai hal yang membanggakan sekaligus menyenangkan.
Hal itu mengemuka dari pameran seni rupa bertajuk ”Road to Max Havelaar” oleh 14 perupa di Bentara Budaya Jakarta pada 5-9 Oktober 2023. Inspirasi pameran ini datang dari buku Max Havelaar karya Multatuli pada tahun 1860, penulis asal Belanda dengan nama asli Eduard Douwes Dekker.
Ke-14 perupa itu adalah Akbar Linggaprana, Arie Kadarisman, Bambang Prasadhi, Bambang Sudarto, Bambang Winaryo, Dirman Saputra, Dyan Anggraini, Eri Fachrizal, Haris Purnomo, Indyra, Mahdi Abdullah, Syakieb Sungkar, Trinawangwulan, dan Vincensius Dwimawan.
Buku ini mencatat dengan gamblang perdagangan kopi nusantara yang berjaya pada era kolonial ditopang oleh sistem tanam paksa yang menindas kaum pribumi berupah murah. Salah satu bagian novel ini berisi kisah tragis Saijah dan Adinda, yang kerap dijadikan fragmen pertunjukan teater.
Bertransformasi
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, di balik sejarah kelam, kopi kini bertransformasi menjadi gaya hidup yang menyenangkan, khususnya bagi anak muda. Namun, sejarah kelam kopi masih membayangi. Harapannya, ke depan kopi Indonesia dikenal dengan hal yang positif.
”Sekarang kopi menjadi salah satu komponen sosiokultural kita, janji ketemu kita itu ketemu ngopi, bukan yang lain, ini menjadi sarana pergaulan yang luar biasa. Sejarah yang begitu menyakitkan harus menjadi suatu hal yang menyenangkan saat ini. Pameran ini menunjukkan proses sublimasi tersebut,” kata Hilmar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Sejarawan Bonnie Triyana menilai, buku Max Havelaar walau fiksi dengan latar cerita di Rangkasbitung, Lebak, Banten, terasa nyata dan masih relevan sampai kini. Di daerah tersebut, tingkat pendidikan rendah, sedangkan angka perkawinan anak, kematian ibu dan anak, serta tengkes (stunting) masih di tinggi. Padahal, jaraknya hanya tiga jam dari ibu kota Jakarta.
Sejarah yang begitu menyakitkan harus menjadi suatu hal yang menyenangkan saat ini. Pameran ini menunjukkan proses sublimasi tersebut.
”Jadi bayangkan, tempat yang bisa kita tempuh dalam waktu tiga jam saja masih ada realitas seperti itu. Max kira-kira seperti SJW (pembela keadilan sosial) zaman kolonial. Dia ingin menggambarkan bahwa kopi ada dari penderitaan rakyat. Kopi ditanam dengan cucuran keringat rakyat tetapi dibayar murah oleh sistem yang tidak adil, lalu diperparah dengan korupsi,” kata Bonnie.
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, angka prevalensi anak tengkes di Lebak sebesar 27,5 persen. Hal ini berarti dari 100 anak yang ada di Lebak, 27 anak di antaranya mengalami tengkes. Kasus tengkes atau gagal tumbuh kembang karena kurang gizi kronis di Kabupaten Lebak tertinggi kedua di Provinsi Banten setelah Kabupaten Pandeglang berdasarkan SSGI itu.
Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan (DP2KBP3) Kabupaten Lebak juga mencatat jumlah kasus perkawinan anak di Lebak cenderung meningkat dari 2.000 kasus pada 2021 menjadi 2.800 kasus pada 2022. Hal ini berpengaruh terhadap keselamatan jiwa ibu dan anak.
”Pameran seni rupa ini merupakan bagian dari gerakan perjalanan Max Havelaar untuk mengkritisi kembali masalah kemanusiaan yang muncul dari situasi global yang semakin kompleks,” kata Prawoto Indarto, peneliti mandiri serta penulis buku soal kopi dan teh.