Pendapatan Tak Menentu Pengaruhi Kepatuhan Peserta Bayar Iuran JKN-KIS
Kesadaran peserta Jaminan Kesehatan Nasional untuk patuh membayar iuran perlu ditingkatkan. Komunikasi harus lebih masif dilakukan agar warga memiliki kesadaran membayar iuran.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/ WISNU WIDIANTORO
Petugas membantu warga yang hendak mengurus keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Tangerang, Banten, Jumat (16/11/2018). BPJS Kesehatan mengembangkan aplikasi untuk memudahkan peserta mengetahui berbagai hal terkait JKN, termasuk mengubah data diri peserta. Di Tangerang, 60 persen peserta JKN sudah menggunakan aplikasi ini.
JAKARTA, KOMPAS — Kepatuhan peserta dalam membayar iuran menjadi tantangan dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Kesadaran masyarakat akan risiko penyakit di kemudian hari berdampak pada tingkat kepatuhan tersebut.
Selain itu, pendapatan peserta yang tidak menentu serta adanya selisih antara kemampuan dan kemauan peserta dalam membayar iuran juga turut berpengaruh.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 31 Agustus 2023 menunjukkan, tingkat kepatuhan pembayaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sebesar 95,01 persen dari total keseluruhan peserta.
Dengan total peserta saat ini yang mencapai 260 juta jiwa, itu berarti masih ada sekitar 12,9 juta peserta yang tidak patuh dalam membayar iuran JKN-KIS.
Angka tersebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2022, angka kepatuhan pembayaran iuran peserta JKN-KIS mencapai 99,47 persen dan pada 2021 kepatuhan sebesar 97,37 persen.
Asisten Deputi Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Agustian Fardianto, di Jakarta, Jumat (22/9/2023), mengatakan, tantangan terbesar meningkatkan kepatuhan peserta membayar iuran adalah ada peserta dengan pendapatan yang tidak menentu.
Selain itu, tantangan lain adalah warga lupa membayar dan tidak mau antre saat melakukan pembayaran.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk mendorong kepatuhan peserta dalam pembayaran iuran. Salah satunya dengan mempermudah pembayaran iuran peserta.
”Kami bekerja sama dengan bank agar peserta dapat melakukan pembayaran secara autodebet. BPJS Kesehatan juga melakukan telekolekting langsung kepada peserta yang setiap bulan ada 4-5 juta peserta dihubungi secara langsung,” tuturnya.
Agustian menambahkan, BPJS Kesehatan berupaya menggandeng kader JKN di beberapa wilayah yang bertugas di masyarakat untuk menagih iuran peserta secara langsung. Setidaknya terdapat 1.400 kader JKN yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tantangan terbesar untuk meningkatkan kepatuhan peserta dalam membayar iuran adalah adanya peserta dengan pendapatan yang tidak menentu.
Inovasi lain yang ditawarkan adalah melalui mekanisme rehab atau pembayaran secara bertahap. Peserta yang memiliki tunggakan iuran minimal tiga bulan dapat melakukan pembayaran secara bertahap dengan jangka waktu maksimal pembayaran 12 bulan.
”BPJS Kesehatan berupaya pula memaksimalkan kepatuhan peserta JKN dengan membentuk program donasi. Pada 2023 ini sudah terkumpul donasi Rp 5,3 miliar yang digunakan untuk mengaktifkan 6.490 peserta JKN,” katanya.
Secara terpisah, anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Edy Wuryanto, mengatakan, program rehabilitasi tunggakan iuran yang diinisiasi oleh BPJS Kesehatan dinilai baik untuk mengatasi masalah tunggakan peserta JKN-KIS.
Namun, solusi itu nyatanya tidak serta-merta dapat mengembalikan status keaktifan kepesertaan. Peserta JKN baru bisa mengakses layanan melalui program JKN setelah melunasi tunggakan.
”Solusi itu bisa diganti dengan pemberian diskon sehingga peserta bisa langsung melunasi. Sebab, jika harus menunggu lunas, belum tentu peserta selalu dalam keadaan sehat,” ucapnya.
Kemauan membayar
Peneliti dari Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) M Syamsu Hidayat, Kamis (14/9/2023), mengatakan adanya selisih antara kemampuan membayar iuran (ATP) dan kemauan membayar iuran (WTP) terhadap besaran iuran peserta.
Kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan peserta dalam membayar iuran JKN-KIS. Hal itu terutama pada segmen peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri.
KOMPAS/ WISNU WIDIANTORO
Petugas melayani warga yang mengurus keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Tangerang, Banten, Jumat (16/11/2018). BPJS Kesehatan mengembangkan aplikasi untuk memudahkan peserta mengetahui berbagai hal terkait JKN, termasuk mengubah data diri peserta. Di Tangerang, 60 persen peserta JKN sudah menggunakan aplikasi ini.
Dalam kajian sebelumnya, selisih kemampuan membayar iuran pada segmen PBPU untuk kelas satu Rp 102.000, kelas 2 Rp 56.000, dan kelas 3 Rp 6.000. Sementara selisih besaran kemauan membayar pada peserta PBPU kelas 1 sebesar Rp 77.000, kelas 2 Rp 46.704, dan kelas 3 Rp 19.000.
Menurut Syamsu, adanya selisih besaran kemampuan dan kemauan peserta untuk membayar iuran bisa diatasi dengan pemberian subsidi secara parsial dari pemerintah.
Selain itu, alternatif sumber pendanaan lain juga bisa dimanfaatkan, seperti pendanaan dari cukai rokok, cukai minuman berpemanis dalam kemasan, bentuk pertanggungjawaban sosial dari perusahaan, filantropi, serta dana desa.
Syamsu menambahkan, upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan faktor risiko kesehatan di masa depan perlu lebih masif dilakukan. Sebab, kesadaran itu bisa meningkatkan kemauan peserta patuh membayar iuran. Kemauan membayar turut menentukan kepatuhan membayar iuran.
”Komunikasi dan kesadaran publik perlu ditingkatkan untuk membayar iuran. Itu bisa dilakukan dengan berkolaborasi bersama lembaga lain melalui promosi di media sosial, media populer, ataupun menerapkan strategi komunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat,” tuturnya.