Keterbukaan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam penanganan gangguan seksual yang dialami oleh seseorang. Padahal, gangguan seksual bisa ditangani dengan baik melalui intervensi yang komprehensif.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
AZ
Seorang pria membeli bunga di pasar bunga menjelang Hari Perempuan Internasional di Grozny, Rusia, Minggu, (7/3/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Satu dari tiga pria diperkirakan mengalami gangguan seksual. Lebih dari 35 persen pria mengalami lebih dari satu jenis disfungsi seksual. Untuk itu, gangguan ini jangan dianggap sebagai hal tabu karena dapat menghambat diagnosis dan penanganan lebih lanjut.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Kelompok Staf Medis Urologi RS Universitas Indonesia yang juga Ketua Kluster Uronefrologi RS Cipto Mangunkusumo Kencana Widi Atmoko dalam kegiatan peluncuran kembali (relaunching) Prostate Centre and Men’s Health and Couple’s Well-being RSCM Kencana di Jakarta, Jumat (22/9/2023). Kondisi disfungsi seksual yang sering dianggap tabu membuat penanganan menjadi tidak tepat.
”Ketabuan itu membuat banyak pria yang mengalami disfungsi seksual memilih untuk mencari solusi di tempat yang tidak tepat. Tidak sedikit pula yang tidak mau mengakui adanya gangguan tersebut sehingga kondisi disfungsi seksual sering tidak terdiagnosis dan tidak tertangani,” ujarnya.
Widi menuturkan, disfungsi seksual merupakan masalah yang kompleks. Berbagai macam penyebab bisa berdampak pada disfungsi seksual yang dialami oleh seorang pria. Penyebabnya bisa karena faktor psikologis, biologis, sosio-budaya dan lingkungan, gaya hidup, preferensi dan kebiasaan seksual, serta hubungan interpersonal yang terganggu. Karena itu, penanganan gangguan seksual membutuhkan pendekatan yang komprehensif.
Dalam penanganan gangguan seksual, keterbukaan merupakan faktor penting yang dibutuhkan. Hal itu terutama untuk mengakui adanya gangguan seksual yang dialami. Dengan begitu, seseorang pun bisa lebih sadar untuk melakukan pemeriksaan untuk menangani gangguan tersebut.
”Seseorang perlu segera ke dokter jika keluhan terjadi berulang, menetap, menyebabkan gangguan dalam beraktivitas, serta jika memiliki penyakit penyerta. Penanganan yang cepat diberikan akan semakin baik. Disfungsi seksual tidak hanya tentang pasien, tetapi juga pasangan,” kata Widi.
Ketabuan itu membuat banyak pria yang mengalami disfungsi seksual memilih untuk mencari solusi di tempat yang tidak tepat.
Ia mengatakan, gangguan seksual pria dapat terjadi pada setiap fase respons seksual. Gangguan seksual dapat berupa gangguan hasrat seksual yang rendah, hipogonadisme, atau kadar testosteron rendah, disfungsi ereksi atau impotensi, gangguan ejakulasi dan orgasme, kelainan bentuk penis, kelainan ukuran penis, serta priapismus atau ereksi yang berkepanjangan tanpa disertai dengan rangsangan.
Psikologis
Akan tetapi, gangguan seksual juga bisa disebabkan karena faktor psikologis. Psikiater RSCM Kencana, Gina Anindyajati, mengatakan, kejadian traumatis atau rasa kesulitan yang sedang dialami oleh seseorang bisa berpengaruh pada aktivitas seksual seseorang. Hal itu dapat berpengaruh pula pada terjadinya gangguan seksual.
”Misalnya, ada seseorang yang kesulitan dalam penetrasi yang ternyata setelah digali penyebabnya karena ada pengalaman yang tidak menyenangkan dengan pasangan. Kondisi itu yang membuat aktivitas seksual sulit dilakukan,” katanya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Psikiater RSCM Kencana, Gina Anindyajati.
Gina menambahkan, kesehatan fisik saling terkait dengan kesehatan mental ketika gangguan seksual terjadi. Itu sebabnya, intervensi dalam mengatasi gangguan seksual perlu dilakukan melalui pendekatan biologis dan psikologis.
Widi menuturkan, layanan disfungsi seksual akan efektif jika dilakukan secara komprehensif. Penanganannya pun perlu melibatkan berbagai dokter spesialis dari multidisiplin keilmuan, seperti urologi, penyakit dalam, psikiatri, neurologi, radiologi, dan bedah plastik. Dalam pemeriksaan juga dilakukan secara menyeluruh agar penyebab gangguan seksual diketahui secara tepat.
Terapi
Widi menyampaikan, terapi gangguan seksual diberikan sesuai dengan penyebab yang dialami. Terapi disesuaikan pula dengan derajat keparahan dari gangguan pasien. Secara umum, terapi gangguan seksual mencakup konseling, terapi psikologis, pemberian obat, penggunaan alat tertentu, operasi, dan terapi regeneratif. Berbagai jenis terapi itu akan ditawarkan kepada pasien sesuai dengan kondisi yang dialami.
”Dalam penanganan gangguan seksual, pria sebaiknya terapi dilakukan bersama pasangan. Karena, dampak gangguan seksual pria juga memengaruhi fungsi seksual wanita, begitu pula sebaliknya. Namun, ada kalanya pada saat konseling harus dilakukan satu per satu terlebih dahulu,” ujarnya.