Enam Pemuda Tuntut 32 Negara Eropa atas Perubahan Iklim ke Pengadilan HAM
Anak-anak muda di berbagai negara menggugat pemerintah ke pengadilan terkait perubahan iklim. Selain menyasar pemerintah, sebagian juga menyasar perusahaan yang dinilai berkontribusi terhadap pemanasan global.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
TOLGA AKMEN
Para aktivis iklim dari kelompok Extinction Rebellion berunjuk rasa di Kota London, Inggris 27 Agustus 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah meningkatnya laju pemanasan global, anak-anak muda di berbagai negara menggugat pemerintah ke pengadilan. Terbaru, enam pemuda Portugal membawa 32 negara ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa karena negara-negara di Eropa dinilai tidak berbuat maksimal untuk menghentikan pemanasan global.
Langkah ini dipicu oleh kebakaran hutan besar-besaran yang melanda Portugal pada 2017, menewaskan lebih dari 100 orang dan menghanguskan sebagian besar wilayah negara tersebut.
Anak-anak muda yang berusia 11 hingga 24 tahun tersebut mengatakan, mereka menderita kecemasan, gangguan kesehatan, dan harus hidup dengan iklim yang semakin panas yang memicu semakin banyaknya bencana alam. Beberapa anak muda ini menyatakan memiliki alergi dan masalah pernapasan, baik saat kebakaran maupun setelah kebakaran. Kondisi ini berisiko terus berlanjut jika bumi terus memanas.
Para pemuda ini berpendapat, emisi karbon yang berlebihan khususnya melanggar hak untuk hidup dan hak atas kehormatan kehidupan pribadi dan keluarga. ”Ini benar-benar kasus David dan Goliath. Belum pernah ada begitu banyak negara yang harus membela diri di depan pengadilan mana pun di dunia,” kata Gearoid O Cuinn, Direktur Global Legal Action Network (GLAN), yang mendukung kasus remaja tersebut, kepada kantor berita AFP, Rabu (20/9/2023).
Menurut Cuinn, keputusan European Court of Human Rights (ECHR) akan mengikat 46 negara anggota Dewan Eropa dan berpotensi menjadi yurisprudensi hukum dalam kasus-kasus perubahan iklim.
”Negara-negara harus dengan cepat mempercepat upaya mitigasi iklim mereka,” kata Gerry Liston, pengacara GLAN yang membantu para pemuda. ”Secara hukum, ini akan menjadi pengubah permainan.”
Pertama-tama, pengadilan akan memutuskan diterima atau tidaknya kasus tersebut karena para pemuda Portugal tersebut mengajukan langsung ke ECHR tanpa terlebih dahulu meminta bantuan ke pengadilan dalam negeri.
Sumber di ECHR menegaskan, ini adalah ”kasus unik” dalam hal jumlah negara yang menjadi sasaran satu pengaduan. Pengadilan sebelumnya belum memutuskan kewajiban anggota sehubungan dengan perubahan iklim.
Paling terdampak
Di tengah meningkatnya laju pemanasan global dan kegagalan memenuhi tujuan Perjanjian Paris tahun 2015 yang membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat celsius di atas tingkat suhu pada pertengahan abad ke-19, para aktivis muda semakin banyak yang beralih ke pengadilan. Anak-anak muda yang bakal paling terdampak perubahan iklim ini memaksa pemerintah melakukan upaya yang lebih besar demi masa depan.
Para pemuda ini mengatakan, pemerintah berkontribusi terhadap pemanasan suhu melalui emisi karbon yang memicu gelombang panas dan kebakaran hutan di negara mereka pada khususnya. ”Pemerintah di seluruh dunia mempunyai kekuatan untuk menghentikan hal ini dan pemerintah di Eropa memilih untuk tidak menghentikan hal ini,” kata Catarina dos Santos Mota, salah satu pemuda asal Portugal.
Sebuah strategi baru yang digunakan oleh para aktivis perubahan iklim adalah menargetkan ’greenwashing’, menuduh perusahaan atau organisasi melakukan praktik penipuan untuk menyembunyikan jejak lingkungan mereka yang sebenarnya.
Dua kasus perubahan iklim lainnya yang melibatkan Perancis dan Swiss telah diperiksa oleh ECHR pada Maret meskipun belum ada keputusan yang dikeluarkan. Menurut Program Lingkungan PBB, jumlah kasus hukum di seluruh dunia yang terkait dengan tantangan iklim meningkat dua kali lipat antara tahun 2017 dan 2022.
Pada Agustus, pengadilan di Negara Bagian Montana, Amerika Serikat, memutuskan memenangkan sekelompok pemuda yang menuduh pemerintah setempat melanggar hak mereka atas lingkungan yang bersih.
AFP/TOLGA AKMEN
Para aktivis kelompok Extinction Rebellion berkumpul di Lapangan Parlemen, pusat kota London, Inggris, dalam aksi krisis iklim, Selasa (1/9/2020). Aksi itu mendesak Parlemen Inggris memperhatikan komitmen menjaga lingkungan tetap hijau, seperti penanaman pohon dan pembangunan infrastruktur bagi pesepeda dan pejalan kaki sebagai upaya mengurangi emisi karbon.
Menarget perusahaan
Selain pemerintah, perusahaan juga dapat menjadi sasaran tuntutan hukum, di mana pihak yang beperkara mendesak agar diberikan kompensasi dan perubahan perilaku perusahaan. Misalnya, dalam keputusan bersejarah di Pengadilan Belanda, perusahaan minyak Shell pada 2021 diperintahkan untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 45 persen pada 2023.
Sebuah strategi baru yang digunakan oleh para aktivis perubahan iklim adalah menargetkan ”greenwashing”, menuduh perusahaan atau organisasi melakukan praktik penipuan untuk menyembunyikan jejak lingkungan mereka yang sebenarnya.
Banyaknya gugatan ini juga didukung oleh semakin banyaknya data yang disajikan para ilmuwan yang menemukan hubungan antara perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem tertentu, serta peran industri tertentu yang menghasilkan emisi tinggi, mulai dari ekstraksi minyak, pertambangan, hingga produksi semen dalam perubahan iklim. Data-data ini yang sering digunakan dalam tuntutan hukum.
Pada Juni 2023, penduduk di Negara Bagian Oregon, AS, mengajukan gugatan terhadap beberapa perusahaan minyak internasional, meminta ganti rugi sebesar 51 miliar dollar AS setelah ”kubah panas” yang mematikan menyelimuti bagian barat laut negara itu pada 2021.