Ada Paparan Bahan Kimia yang Signifikan pada Perempuan Penderita Kanker
Hasil penelitian menyoroti perlunya mempertimbangkan PFAS dan fenol sebagai keseluruhan faktor risiko lingkungan untuk risiko kanker pada perempuan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·2 menit baca
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Kambing mencari makan di bekas pembakaran sampah di Kampung Gasong, Menteng Atas, Jakarta Selatan, Senin (21/8/2023). Pembakaran sampah, khususnya pada material plastik, bisa melepaskan sejumlah zat berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup.
Paparan bahan kimia seperti PFAS dan fenol sudah lama diketahui terlibat dalam kanker payudara, ovarium, kulit, dan rahim. Riset terbaru menemukan bahwa perempuan yang menderita kanker memiliki tingkat bahan kimia yang jauh lebih tinggi dalam tubuh mereka.
Sebagai catatan, riset mereka tidak membuktikan bahwa paparan bahan kimia seperti PFAS (per- and polyfluoroalkyl substances) dan fenol (termasuk bisphenol A/BPA) sebagai diagnosis kanker. Namun, temuan mereka memberi sinyal kuat bahwa bahan-bahan tersebut mungkin berperan dan harus dipelajari lebih lanjut.
Studi ini dilakukan oleh para peneliti dari University of California San Francisco (UCSF), University of Southern California (USC), dan University of Michigan. Ketiganya bagian dari Pusat Inti Ilmu Kesehatan Lingkungan yang didanai oleh National Institutes of Health.
Bahan kimia PFAS ini tampaknya mengganggu fungsi hormon pada perempuan.
Studi menunjukkan, khususnya bagi perempuan, paparan lebih tinggi terhadap PFDE (perfluorooctanoic acid), senyawa PFAS rantai panjang, memiliki peluang dua kali lipat untuk didiagnosis melanoma. Perempuan dengan paparan lebih tinggi terhadap dua senyawa PFAS rantai panjang lainnya, yaitu PFNA (perfluorononanoic acid) dan PFUA (perfluoroundecanoic acid), memiliki peluang hampir dua kali lipat untuk didiagnosis melanoma.
Para peneliti juga menunjukkan hubungan antara PFNA dan diagnosis kanker rahim. Selain itu, perempuan dengan paparan fenol lebih tinggi, seperti BPA (yang digunakan dalam plastik) dan 2,5-diklorofenol (bahan kimia yang digunakan dalam pewarna dan ditemukan sebagai produk sampingan dalam pengolahan air limbah), memiliki peluang lebih tinggi untuk terdiagnosis kanker ovarium.
Mereka menggunakan data sampel darah dan urine lebih dari 10.000 orang dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES). Mereka meneliti paparan fenol dan PFAS saat ini yang dikaitkan dengan diagnosis kanker serta mengkaji kesenjangan ras atau etnis. Studi ini diterbitkan pada Minggu (17/9/2023) di Journal of Exposure Science and Environmental Epidemiology.
”Temuan ini menyoroti perlunya mempertimbangkan PFAS dan fenol sebagai keseluruhan faktor risiko lingkungan untuk risiko kanker pada perempuan,” kata Max Aung, penulis senior studi yang saat penelitian berada di Program UCSF untuk Kesehatan Reproduksi dan Lingkungan, dalam situs resmi UCSF, Minggu (17/9/2023). Ia menjadi profesor kesehatan lingkungan di USC Keck School of Medicine.
PFAS ada di mana-mana
PFAS telah mencemari air, makanan, dan manusia melalui produk seperti panci teflon, pakaian tahan air, karpet dan kain tahan noda, serta kemasan makanan. Bahan kimia ini sering disebut sebagai ”bahan kimia awet” karena tahan terhadap penguraian sehingga dapat bertahan selama beberapa dekade di lingkungan.
”Bahan kimia PFAS ini tampaknya mengganggu fungsi hormon pada perempuan, yang merupakan salah satu mekanisme potensial yang meningkatkan kemungkinan kanker terkait hormon pada perempuan,” kata Amber Cathey, penulis utama studi tersebut dan ilmuwan di Universitas Michigan.
Studi ini juga mengidentifikasi perbedaan ras. Hubungan antara berbagai PFAS dan kanker ovarium dan rahim hanya diamati pada perempuan berkulit putih. Di sisi lain, hubungan antara PFAS yang disebut MPAH (2-(N-methyl-PFOSA)acetic acid) dan fenol yang disebut BPF (bisphenol-F) dan kanker payudara hanya diamati pada perempuan nonkulit putih.
”Ketika masyarakat di seluruh negeri bergulat dengan kontaminasi PFAS, hal ini menambah bukti lebih lanjut yang mendukung pembuat kebijakan mengembangkan tindakan untuk mengurangi paparan PFAS,” kata Tracey J Woodruff, profesor UCSF dan Direktur Program Kesehatan Reproduksi dan Lingkungan dan Direktur UCSF EarTH Center.