Tantangan Kesehatan Kian Kompleks, Indikator Capaian Perlu Lebih Konkret
Tantangan kesehatan di Indonesia cukup kompleks. Selain dihadapkan dengan peningkatan penyakit tidak menular dan ancaman pandemi, penyakit tropis terabaikan masih ditemukan. Butuh upaya konkret untuk menyelesaikannya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Bidan Dayu Ummu Kholisyah (44) mengunjungi dan memeriksa kesehatan Satrah (87) di rumahnya di Kertosari, Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (15/1). Sejak tahun 2014, Puskesmas Kertosari memiliki program Gerakan Tanggap Aksi Cepat yang merupakan upaya jemput bola bagi masyarakat risiko tinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dihadapkan pada beban ganda kesehatan. Hal itu membuat tantangan dalam mencapai kemajuan pembangunan bangsa semakin besar. Namun, anggaran yang tersedia untuk sektor kesehatan terbatas. Untuk itu, arah kebijakan pembangunan kesehatan diharapkan bisa lebih fokus dengan indikator yang konkret.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyampaikan, Indonesia menghadapi permasalahan kronis dalam membangun kesehatan nasional. Masalah kesehatan ibu dan anak masih besar. Prevalensi tengkes atau stunting juga tinggi, sebesar 21,6 persen pada 2022. Angka itu di atas ambang batas WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang sebesar 20 persen.
Selain itu, usia harapan hidup Indonesia masih tertinggal dari negara lain. Pada 2019, usia harapan hidup di Indonesia 71,3 tahun. Angka tersebut di bawah Vietnam (73,7 persen), China (77,4 persen), AS (78,5 persen), dan Jepang (84,2 persen).
”Untuk mencapai keberhasilan pembangunan kesehatan pada 2045, kita harapkan kita bisa meningkatkan harapan hidup sampai 80 tahun,” ujar Suharso dalam Diskusi Kelompok Terarah (FGD) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas bersama Harian Kompas di Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Rancangan Undang-Undang RPJPN 2025-2045 kini tengah dibahas oleh pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. RUU ini ditargetkan bisa disahkan pada akhir September 2023. Harapannya, RPJPN 2025-2045 dapat menjadi pedoman bagi semua pemangku kebijakan, terutama bagi calon presiden, calon wakil presiden, serta calon kepala daerah mendatang.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa memaparkan materi dalam acara FGD Media Expose RPJPN 2025-2045 di Menara Bappenas, Jakarta, Rabu (20/9/2023). Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Harian Kompas menyelenggarakan FGD Media Expose RPJPN 2025-2045 untuk meningkatkan pemahaman publik mengenai RPJPN 2025-2045.
Suharso mengatakan, Indonesia punya tugas yang cukup besar di bidang kesehatan di tengah upaya untuk mencapai negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income). Tugas tersebut, antara lain, ialah menekan angka kematian ibu menjadi 16 per 100.000 kelahiran hidup pada 2045, insidensi tuberkulosis menjadi 76 per 100.000 penduduk, serta cakupan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 99,5 persen.
Masalah kesehatan ibu dan anak masih besar. Prevalensi tengkes atau’stunting’juga tinggi, sebesar 21,6 persen pada 2022.
Sementara merujuk target capaian 2025, angka kematian ibu 115 per 100.000 kelahiran hidup, insidensi tuberkulosis 274 per 100.000 penduduk, dan cakupan kepesertaan JKN sebesar 98 persen. Selain itu, akses kesehatan juga masih rendah. Sebanyak 54,47 persen puskesmas di Indonesia tidak memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan sesuai standar dan 20 persen RS Umum Daerah kelas C belum punya tujuh dokter spesialis dasar dan penunjang.
Kompleks
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas Pungkas Bahjuri Ali menambahkan, tantangan yang dihadapi dalam membangun kesehatan nasional semakin kompleks dengan adanya ancaman epidemiologi serta pandemi. Transisi demografi turut menambah tantangan tersebut. Jumlah penduduk lansia yang semakin tinggi juga membuat risiko penyakit tidak menular dan penyakit degeneratif meningkat. Pergerakan penduduk dan urbanisasi membuat penyebarluasan penyakit meluas.
”Masalah kesehatan kita itu kompleks. Bahkan, masalah kesehatan dasar saja masih kita hadapi, seperti air bersih, sanitasi, dan gizi. Penyakit tropis terabaikan, seperti malaria dan kusta juga masih ada. Di negara maju, itu sudah tidak ada,” katanya.
Oleh sebab itu, Pungkas berharap RPJPN 2025-2045 bisa menjadi pedoman serta arah kebijakan untuk menuntaskan persoalan kesehatan di masyarakat. Dengan begitu, target capaian Indonesia emas 2045 pun bisa tercapai secara optimal.
Ia mengungkapkan, fokus yang akan ditekankan dalam RPJPN 2025-2045, antara lain, ialah kesehatan ibu dan anak, termasuk jaminan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan; pengentasan penyakit menular, seperti tuberkulosis, malaria, dan HIV/AIDS; penyakit menular terabaikan, seperti kusta dan skistosomiasis; serta penyakit tidak menular.
Fokus lainnya, penguatan sistem pelayanan kesehatan, seperti laboratorium dan surveilans, penguatan pelayanan kesehatan rujukan dan pelayanan kesehatan primer sampai tingkat desa dan kelurahan, serta pemenuhan jumlah dan jenis tenaga medis dan tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga anggota Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Akmal Taher berpendapat, aspek pelayanan kesehatan primer seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah dalam arah kebijakan kesehatan di masa mendatang. Reformasi kesehatan nasional perlu menempatkan layanan kesehatan primer sebagai ujung tombak.
Selain perlu disebutkan secara jelas dalam kebijakan, menempatkan pelayanan kesehatan primer sebagai prioritas juga membutuhkan komitmen politis yang kuat. Dengan begitu, harapannya, pembiayaan untuk pelayanan kesehatan primer mendapat porsi yang signifikan.
Anggaran wajib
Akmal menilai, penguatan komitmen pada anggaran kesehatan akan semakin berat setelah adanya kebijakan yang menghapus ketentuan anggaran wajib (mandatory spending) di bidang kesehatan. ”Menghilangkan mandatory spending yang akhirnya mengandalkan anggaran berbasis program itu hal yang naif untuk dikerjakan sekarang. Kita belum siap untuk itu,” katanya.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Wakil Ketua Komisi IX DPR dan Ketua Panja RUU Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena (kiri) menyerahkan berkas terkait RUU Kesehatan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) dalam rapat paripurna di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Meski begitu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama menuturkan, yang perlu dipastikan saat ini ialah memaksimalkan aturan tersebut agar setiap pemangku kebijakan tetap memiliki komitmen dan prioritas pada aspek kesehatan.
Advokasi harus berjalan lebih masif agar kesadaran akan pentingnya kesehatan di para pemangku kebijakan publik dan masyarakat bisa terbentuk.
”Dalam RPJMN ataupun RPJPN harus disampaikan secara konkret agar semua pihak tahu persoalan kesehatan secara keseluruhan. Jangan hanya target-target yang hanya menjadi ujung dari intervensi kesehatan. Jika perlu, adakan pula insentif untuk mendorong komitmen kesehatan di daerah,” ujar Tjandra.