Paparan Polusi Udara Saat Kanak-kanak Dikaitkan dengan Kematian Dini
Paparan polusi udara di masa kanak-kanak akan menjadi beban kesehatan hingga sepanjang hidup.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pemandangan polusi udara di sekitar Jakarta pada siang hari berawan, Sabtu (2/9/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian terbaru menunjukkan bahwa paparan polusi udara di masa kanak-kanak akan menjadi beban kesehatan hingga sepanjang hidup. Mereka yang terpapar polusi udara dalam jumlah besar pada masa kanak-kanak mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami penurunan kognisi dan meninggal lebih awal dibandingkan dengan mereka yang dibesarkan di daerah dengan kualitas udara yang lebih baik.
Studi ini dipimpin oleh para peneliti dari Universitas Edinburgh, Inggris, dan diterbitkan dalam Environmental Research pada Selasa (19/9/2023). Analisis dilakukan terhadap hampir 3.000 orang yang lahir di Skotlandia pada tahun 1936.
Temuan menunjukkan orang-orang yang terkena polusi udara tingkat tinggi pada usia tiga tahun lebih besar kemungkinan untuk meninggal pada usia antara 65 dan 86 tahun dibandingkan dengan mereka yang terkena polusi udara tingkat rendah. Paparan polusi udara tingkat tinggi juga meningkatkan kemungkinan kematian akibat kanker, terutama akibat kanker paru-paru pada wanita.
Temuan ini menunjukkan bahwa dampak polusi udara terhadap kesehatan kita dapat bertahan selama beberapa dekade.
”Penelitian sebelumnya telah menyelidiki hubungan antara kualitas udara yang buruk dan kesehatan dari waktu ke waktu, tetapi hanya sedikit yang menyelidiki dampaknya setelah 25 tahun,” tulis para peneliti.
Kualitas udara
Data yang dianalisis dalam kajian ini diambil dari Scottish Longitudinal Study Birth Cohort tahun 1936, sebuah penelitian jangka panjang yang dianonimkan dan menyediakan sampel yang mewakili populasi Skotlandia. Tingkat polusi udara historis diperkirakan menggunakan model kimia atmosfer dan disesuaikan dengan alamat rumah setiap peserta pada tahun 1939, ketika mereka berusia 3 tahun. Analisisnya juga menggunakan hasil tes kemampuan kognitif nasional yang diambil oleh setiap peserta berusia 11 tahun dan catatan kematian nasional dari tahun 1947 hingga 2022.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pasien dengan gejala batuk dan sesak antre memeriksakan diri di poliklinik batuk dan infeksi saluran pernapasan akut di Puskesmas Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (22/8/2023).
”Kami beruntung, Skotlandia memiliki semakin banyak penelitian yang mengamati orang-orang dari masa kanak-kanak hingga usia lanjut. Hal ini membantu kami untuk lebih memahami jenis lingkungan yang kita perlukan saat ini untuk mendukung penuaan yang sehat di masa depan,” kata Chris Dibben, pemimpin kajian ini.
Selama periode 75 tahun, sebanyak 1.608 peserta meninggal. Paparan polusi udara partikel halus dalam tingkat yang lebih tinggi—dikenal sebagai PM 2,5—meningkatkan risiko kematian antara usia 65 dan 86 tahun hingga 5 persen. Paparan pada tahun-tahun awal meningkatkan risiko kematian akibat kanker. Pada wanita, kanker paru-paru merupakan penyebab utama kematian akibat kanker, dengan peningkatan risiko sebesar 11 persen.
Pada pria, temuan awal menunjukkan bahwa paparan dini dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian akibat gangguan neurodegeneratif di usia lanjut.
Dampak terhadap kognisi
Temuan tersebut juga menunjukkan sekitar 25 persen dari total dampak polusi udara terhadap kematian merupakan akibat tidak langsung dari dampak terhadap kemampuan kognitif partisipan. Anak-anak yang terpapar polusi udara dengan tingkat lebih tinggi cenderung mendapat skor lebih rendah dalam tes kemampuan kognitif. Keterampilan ini penting untuk mencapai hasil pendidikan yang lebih baik dan status sosial ekonomi yang lebih tinggi, yang pada akhirnya terkait dengan hidup lebih lama.
”Sangat mengejutkan melihat bahwa anak-anak yang tumbuh di daerah yang tercemar dapat mempunyai konsekuensi yang menetap sepanjang hidup mereka. Temuan ini menunjukkan bahwa dampak polusi udara terhadap kesehatan kita dapat bertahan selama beberapa dekade, bahkan setelah upaya signifikan dilakukan untuk mengurangi tingkat polusi,” kata Gergő Baranyi, penulis pertama.