Pengidap mioma pada rahim tidak perlu lagi operasi sampai angkat rahim. Terapi fokus ultrasonografi tanpa sayatan memungkinkan pasien pulih lebih cepat.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
ARSIP RUMAH SAKIT ABDI WALUYO
Sigit Pramono, Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi RS Abdi Waluyo, menyimulasikan penggunaan alat terapi fokus ultrasonografi (FUA) yang baru didatangkan di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta. Teknologi FUA bekerja dengan memancarkan gelombang ultrasonografi ke target area yang sakit dengan suhu 60-100 derajat celsius. Gelombang ini akan membuat sel-sel mioma mati tanpa merusak jaringan sehat lain di sekitarnya.
JAKARTA, KOMPAS — Pasien penyakit mioma uteri atau mioma pada rahim kini tidak perlu lagi menjalani operasi dan berobat ke luar negeri. Kini pasien mioma dapat memanfaatkan teknologi terapi fokus ultrasonografi atau FUA yang memungkinkan pasien untuk menjalani terapi tanpa sayatan kulit.
Ketua Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Budi Wiweko menjelaskan, teknologi FUA di Indonesia baik bagi kemajuan penanganan penyakit mioma. Namun, perlu dibuat sistem agar pelayanan ini bisa terjangkau oleh setiap kalangan masyarakat. ”Sebagai salah satu alternatif penanganan mioma uteri yang noninvasif, teknologi FUA cukup baik,” katanya, Kamis (21/9/2023).
Budi menuturkan, selama ini penanganan mioma sebenarnya sudah cukup baik, tetapi menimbulkan risiko yang cukup besar. Dokter umumnya melakukan pembedahan pengangkatan mioma uteri (miomektomi) pada pasien yang masih berusia muda dan merencanakan program hamil. Ada pula tindakan pengangkatan rahim (histerektomi) bagi pasien mioma yang sudah tidak dalam usia subur dan kondisi mioma sudah mengganggu aktivitas sehari-hari.
Nining Pujiastuti (41) menatap layar hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG) yang dilakukan di Puskesmas Sedayu 1, Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (10/2/2023). Pemeriksaan USG amat penting bagi ibu hamil untuk mendeteksi dini adanya gangguan pada kehamilan yang dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi.
Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi RS Abdi Waluyo, Jakarta, Sigit Pramono mengatakan, terapi FUA bisa mengurangi rasa sakit, meminimalkan komplikasi, dan menghancurkan sel patologis agar dapat sembuh dengan optimal.
”Pemulihannya lebih cepat, tidak ada sayatan, dan menghindari angkat rahim yang sudah konvensional atau operasi tempo dulu. Ini mendorong kami menghadirkan inovasi teknologi terbaru, yaitu FUA, yang kami harap akan memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia,” kata Sigit di RS Abdi Waluyo, Jakarta, Senin (17/9/2023).
Teknologi FUA bekerja dengan memancarkan gelombang ultrasonografi ke target area yang sakit dengan suhu 60-100 derajat celsius. Gelombang ini akan membuat sel-sel mioma mati tanpa merusak jaringan sehat lain di sekitarnya.
Proses terapi FUA dilakukan dengan bantuan pencitraan USG secara langsung sehingga memudahkan dokter untuk mengobati penyakit dengan aman dan terukur. Terapi ini sebenarnya sudah dikembangkan sejak tahun 1942 saat energi ultrasonografi difokuskan untuk memicu kematian jaringan pada area target tanpa merusak jaringan lain.
Lebih lanjut, teknologi ini juga memungkinkan pasien beraktivitas kembali hanya dalam waktu tiga hari setelah tindakan dan diperbolehkan jika ingin hamil tiga bulan setelahnya. Dengan begitu, FUA tidak hanya menjadi pilihan penting bagi dokter, tetapi juga memberikan harapan bagi pasien.
Gejala mioma
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi RS Abdi Waluyo, Sigit Pradono Diptoadi, menambahkan, mioma adalah pertumbuhan otot dan jaringan yang terbentuk di dalam atau di dinding rahim. Ini biasanya merupakan tumor jinak yang umum terjadi pada perempuan.
Gejala umum yang dirasakan pasien mioma adalah nyeri, keputihan jangka panjang, sering buang air kecil, sembelit, pembesaran perut, hingga pendarahan vaginal yang berat dan tidak teratur. ”Pada beberapa perempuan juga tidak bergejala sehingga tidak menyadari bahwa dirinya mengidap mioma,” ungkap Sigit.
Belum ada statistik kasus mioma yang tercatat dengan baik di Indonesia. Namun, studi di salah satu rumah sakit di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 2015 memperlihatkan, kasus baru mioma berkisar 6,43 sampai 12,46 persen. Sementara secara global, kasus mioma mencapai 226 juta orang pada tahun 2019 dengan 9,64 juta orang di antaranya merupakan kasus baru.
Sebanyak 20-25 persen kasus mioma ditemukan pada perempuan berusia produktif, sedangkan 30-40 persen ditemukan pada perempuan berusia di atas 40 tahun. Beberapa faktor risiko mioma meliputi usia, menstruasi dini, terlambat menopause, adanya riwayat mioma pada anggota keluarga, obesitas atau berat badan berlebih, dan tidak memiliki anak.
Pemulihannya lebih cepat, tidak ada sayatan, dan menghindari angkat rahim yang sudah konvensional atau operasi tempo dulu.
Kebanyakan pasien mioma tidak mengalami komplikasi serius, tetapi jika kondisi ini dibiarkan bisa menimbulkan rasa nyeri, pendarahan hebat lalu anemia berat, infertilitas, dan dalam kasus yang kecil bisa sampai keguguran. Mioma dengan jenis dan derajat tertentu juga berpotensi meningkatkan risiko pada masa kehamilan, seperti plasenta terputus dari rahim, hambatan pertumbuhan janin, dan kelahiran prematur.
”Mereka yang memiliki faktor risiko tentu perlu berhati-hati. Dan jika sudah terkena, harus segera diatasi. Kasus mioma yang tidak ditangani dengan baik juga akan memberikan beban ekonomi karena masa perawatan akan lebih lama dan butuh tambahan perawatan lainnya,” kata Sigit.