Survei Khawatir Nasional dalam buku ”Filosofi Teras” karya Henry Manampiring membuktikan orang Indonesia sangat khawatir akan ketidakpastian hidup di masa depan. Ditambah kondisi politik nasional yang membingungkan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Warga berdesakan setelah keluar dari kereta komuter di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Selasa (25/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Survei Khawatir Nasional membuktikan bahwa orang Indonesia sangat khawatir akan ketidakpastian hidup di masa depan. Kekhawatiran itu bukan perkara cinta, melainkan khawatir tidak bisa mewujudkan kehidupan sesuai ekspektasinya. Ditambah lagi faktor eksternal, seperti kondisi politik nasional yang kerap kali membuat rakyat menggelengkan kepala. Kekhawatiran jika tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan kematian.
Survei ini dibuat oleh penulis buku Henry Manampiring secara daring kepada 3.634 responden beragam usia pada 2017 dan dituangkan dalam bukunya berjudul Filosofi Teras. Hasil surveinya menunjukkan, 53 persen responden khawatir, bahkan stres, soal kondisi keuangan mereka. Sementara politik dengan hoaks, diskriminasi suku dan agama, serta bangkitnya kaum intoleran membuat khawatir 76 persen responden.
Padahal, menurut Henry yang dikutip dalam buku itu, kekhawatiran yang muncul sehari-hari sebaiknya tidak perlu dipusingkan karena itu normal dan harus disiasati. Jika kekhawatiran terus dipelihara, maka akan timbul banyak masalah baru yang menambah beban pikiran.
Setelah berkonsultasi, sering kali ditemukan bahwa masalah bukan pada teman, pekerjaan, atau lingkungannya, tetapi dirinya sendiri yang tidak bisa mengelola kekhawatiran.
”Menurut saya, kekhawatiran adalah sesuatu yang bisa dan seharusnya dikurangi karena menimbulkan ’banyak biaya’,” tulis Henry di bukunya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah pekerja beristirahat sambil duduk di bangku yang berada di jalur pedestrian Jalan Sudirman, Jakarta, saat pulang kantor, Kamis (17/11/2022) malam.
”Biaya” yang dimaksud adalah kekhawatiran menghabiskan energi pikiran, setiap kalori yang digunakan untuk khawatir bukanlah sesuatu yang produktif. Waktu dan uang juga habis karena ketika khawatir sering kali mencari pelarian pada hal yang tidak efektif. Efeknya berlarut hingga ke gangguan kesehatan tubuh yang berawal dari pikiran.
Spesialis kesehatan jiwa dan minat dari Academy of Psychosomatic Medicine, Amerika Serikat, Andri, mengatakan, pikiran stres tidak membunuh, tetapi reaksi seseorang saat gagal mengelola stres itu yang bisa membunuh. Ketika terus-menerus mengeluhkan masalah, adrenalin akan meningkat. Adrenalin ini membuat tekanan darah naik, pembuluh darah menyempit, dan kepala menjadi tegang.
Stres berlarut-larut dalam waktu yang lama akan merusak tubuh. Sederet penyakit bisa muncul, mulai dari dispepsia atau gangguan lambung, gangguan jantung, hipertensi, bahkan diabetes. Maka dari itu, manajemen cemas sangat diperlukan dengan mengubah keluhan menjadi pikiran positif.
”Makanya, jangan stres lama-lama, nanti adaptasinya berubah, nanti Anda bisa tidak tahu lagi bahwa Anda sedang stres karena sudah terbiasa hidup dalam stres,” kata Andri.
Belakangan banyak anak muda yang berkonsultasi kepada psikiater seiring keterbukaan informasi soal kesehatan jiwa. Kebanyakan dari mereka mengeluhkan masalah hubungan dengan pasangan ataupun orangtua, levelnya sudah sampai depresi ringan. Namun, setelah berkonsultasi, sering kali ditemukan bahwa masalah bukan pada teman, pekerjaan, atau lingkungannya, melainkan dirinya sendiri yang tidak bisa mengelola kekhawatiran.
”Banyak yang awalnya cemas dan khawatir biasa saja, tetapi kemudian tak kunjung mendapatkan solusi dan dia menjadi depresi,” ucapnya.
Andri menyarankan setiap orang untuk belajar mengenali terlebih dahulu sumber stresnya dengan menganalisis masalah. Ingat dan lakukan kembali hal-hal yang bisa membuat bahagia dan tentu dalam konteks yang positif, misalnya dengan berolahraga, mengobrol, dan mencari teman.
TANGKAPAN LAYAR AKUN MEDSOS PARPOL
Sejumlah akun partai politik di Twitter. Difoto pada Rabu (18/1/2023).
Terkait kekhawatiran akan situasi politik nasional, dia menyarankan untuk membatasi diri pada informasi. Terlalu banyak informasi, apalagi informasi yang tidak benar, juga dapat mengganggu pikiran, menyebabkan stres, hingga membunuh. Berita kabar buruk dibaca oleh pembaca yang sedang dalam keadaan stres pasti berbeda jika dibaca dalam keadaan normal.
”Mungkin kita harus membatasi punya WhatsappGroup. Saya percaya, terlalu banyak informasi membunuhmu,” kata Andri.
Menonton video lucu
Seperti yang dilakukan Lukman (28), dia sampai memblokir kata kunci ketiga nama bakal calon presiden di media sosialnya agar berita-berita terkait pemilu tidak muncul di berandanya. Namun, ini bukan berarti Lukman apatis pada politik. Dia lebih mengikuti isu dan kebijakan yang secara langsung berdampak pada dirinya.
Mengikuti gagasan bakal capres, menurut warga Yogyakarta ini, sama saja dengan menambah pikiran karena memunculkan harapan. Lalu ketika harapan itu tidak menjadi kenyataan, hal itu hanya akan menambah kekhawatiran dalam hidup yang membuat stres.
”Kehidupan nyata sudah berat, masa iya di medsos nonton-nya janji-janji (politisi) yang begitu saja setiap mau pemilu. Mending saya nonton video-video lucu saja,” kata Lukman saat dihubungi, Rabu (20/9/2023).
KOMPAS/STEPHANUS ARANDITIO
Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, cetakan ke-50.
Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring telah memasuki cetakan ke-50 oleh Penerbit Buku Kompas. Buku paling laris ini mengangkat gagasan filsafat yang serius dengan bahasa tutur yang ringan sehingga pesannya dapat diterima pasar anak muda dengan baik. Menjelang Pemilihan Umum 2024, buku ini menawarkan satu gagasan filsafat stoa atau stoikisme (biasa disebut dengan filosofi teras) agar menjadi orang yang rasional selama tahun politik.
Buku yang terbit pertama kali pada 2018 ini disambut baik oleh publik, bahkan memenangi penghargaan Book of the Year pada Indonesia International Book Fair 2019. Pada pertengahan 2023, buku ini dicetak ulang untuk ke-50 kalinya. Dengan penjualan total lebih dari 300.000 eksemplar, Filosofi Teras juga menjadi buku pengembangan diri lokal terlaris di Indonesia.
Buku ini menjadi solusi untuk belajar mengendalikan emosi negatif tersebut. Dengan bahasa gaul yang mudah dimengerti dan ilustrasi yang sangat epik, Henry Manampiring menjelaskan filosofi teras dalam bukunya.