Berbagai sengketa agraria yang terus terjadi menunjukkan bahwa paradigma pembangunan kita belum lepas dari watak kolonial. Urgensi perubahan paradigma pembangunan semakin dibutuhkan di era krisis iklim.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Aksi seorang aktivis dalam Solidaritas dan Doa Bersama untuk Rempang yang digelar bersama-sama sejumlah aliansi aktivis kemanusiaan dan HAM di halaman Kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (15/9/2023) malam.
Dari zaman kolonial hingga 25 tahun setelah Reformasi, penggusuran warga terus terjadi di negara ini. Dalih penggusuran itu memang bisa berubah, tetapi ujungnya sama: mengorbankan masyarakat lokal. Padahal, saat ini kita tengah menghadapi krisis iklim yang membutuhkan transformasi pembangunan agar lebih ramah lingkungan dan berkeadilan.
Sebanyak 7.500 warga Pulau Rempang, termasuk yang berlokasi di 16 kampung tua, akan direlokasi demi Rempang Eco City. Proyek Strategis Nasional (PSN) yang meliputi kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata itu bakal dibangun di lahan seluas 7.572 hektar atau sekitar 45,89 persen dari total luas pulau tersebut. Nilai investasinya disebut mencapai ratusan triliun rupiah.
Warga Rempang yang menolak direlokasi bentrok dengan aparat gabungan TNI-Polri pada Kamis (7/9/2023), sebagian kemudian ditangkap. Sejumlah anak sekolah menjadi korban karena terkena gas air mata.
Kasus Rempang ini mengingatkan pada penggusuran ribuan warga Boyolali, Sragen, dan Grobogan, Jawa Tengah, untuk proyek Waduk Kedung Ombo pada 1989. Dalih Orde Baru saat itu, bendungan dibutuhkan untuk membangun sumber listrik dan irigasi. Selain soal ikatan pada tanah yang turun-temurun dihuni, konflik di Kedung Ombo semakin meruncing ketika besaran ganti rugi sangat kecil, di antaranya karena adanya korupsi. Namun, warga yang mempertahankan lahan mendapatkan berbagai teror.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Polisi melakukan pengamanan saat bentrok dengan warga yang menolak pembangunan proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).
Dalih penggusuran beda zaman ini memang berbeda, tetapi modusnya tak banyak berubah, penggunaan aparat keamanan untuk melawan warga yang mempertahankan sumber hidup dan sejarah ruang.
Belakangan, Presiden Joko Widodo mengatakan, konflik di Rempang hanya soal komunikasi. Namun, jelas bahwa ini jauh lebih dalam dari itu. Ini adalah soal pilihan paradigma pembangunan yang cenderung meminggirkan hak hidup warga, selain lingkungan.
Paradigma ini sebenarnya warisan kolonial. Melalui Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan tahun 1870, pemerintah kolonial menetapkan asas Domein Verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik) seseorang dianggap sebagai domein atau milik negara. Berikutnya, tanah-tanah itu bisa disewakan kepada pengusaha.
Belakangan, Presiden Joko Widodo mengatakan, konflik di Rempang hanya soal komunikasi. Namun, jelas bahwa ini jauh lebih dalam dari itu.
Politik agraria tersebut secara sistematis melemahkan kedudukan penduduk lokal. Dalam kasus Pulau Rempang, berdasarkan penjelasan Menteri Agraria dan Tata Ruang pada rapat kerja dengan Komisi II DPR, 12 September 2023, status 17.000 hektar tanah di Pulau Rempang merupakan kawasan hutan. Warga tidak memiliki hak milik dan terdapat pengajuan permohonan hak pengelolaan atas nama BP Batam pada areal penggunaan lain (APL) dengan luas 600 ha.
Di sini letak masalahnya. Kapan kawasan hutan itu ditetapkan? Seperti dipertanyakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono, ”Apakah dalam klaim kawasan hutan itu termasuk tanah warga 16 kampung tua? Yang jelas, warga secara turun-temurun telah bermukim sejak 1834, jauh sebelum RI merdeka, sehingga klaim kawasan hutan itu jelas tumpang tindih dengan tanah warga yang pemilikannya didasarkan pada penguasaan fisik tetapi tanpa alat bukti hak” (Kompas, 18 September 2023).
Catatan Belanda Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang atau Laporan Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang, 4 Februari 1930, menunjukkan, Pulau Rempang memang sudah dihuni warga jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Tentu saja, relokasi sering sulit dihindarkan dalam pembangunan. Namun, hal ini seharusnya dilakukan dengan partisipatif, dengan menghargai hak-hak korban. Saat masih menjadi Wali Kota Solo, Joko Widodo sebenarnya menampilkan diri sebagai sosok humanis dalam memindahkan ratusan pedagang kaki lima pada 2005. Dalam beberapa wawancara, Jokowi mengisahkan pengalaman pahit masa kecilnya yang berulang kali mengalami penggusuran sehingga berjanji tidak akan melakukan penggusuran paksa.
Narasi itu pula yang turut mengantarkannya menjadi Gubernur Jakarta dan kemudian Presiden RI dua periode. Sekalipun ada upaya reformasi agraria, di antaranya dengan legalisasi aset dan redistribusi tanah, serangkaian penggusuran masyarakat tetap terjadi dan belakangan menunjukkan eskalasi.
Misalnya, kasus Wadas dan pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta, hanya untuk menyebut contoh dua kasus penggusuran dengan dalih pembangunan yang diwarnai kekerasan. Menurut catatan YLBHI, setidaknya ada 106 konflik sumber daya dan PSN pada 2017-2023.
Transformasi pembangunan
Berbagai sengketa agraria yang terus terjadi menunjukkan bahwa paradigma pembangunan kita belum lepas dari watak kolonial. Urgensi perubahan paradigma pembangunan ini semakin dibutuhkan di era krisis iklim seperti sekarang.
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2022 menekankan pentingnya transformasi paradigma pembangunan itu. Suhu Bumi dipastikan bakal melewati ambang batas penambahan 1,5 derajat celsius pada 2030 dibandingkan dengan suhu pra-Revolusi Industri tahun 1850. Saat ini, suhu global sudah bertambah 1,2 derajat celsius yang berkonsekuensi terhadap krisis pangan, kesehatan, hingga meningkatnya risiko bencana.
Pembangunan seharusnya memperkuat kemampuan adaptasi warga untuk menjamin kelangsungan hidup. Meski demikian, ada banyak contoh praktik adaptasi yang keliru atau yang disebut dalam laporan IPCC ini sebagai maladaptation. Malaadaptasi ini didefinisikan sebagai ”tindakan yang menyebabkan peningkatan risiko yang merugikan terkait iklim, termasuk melalui peningkatan emisi gas rumah kaca, peningkatan kerentanan terhadap perubahan iklim, atau penurunan kesejahteraan masyarakat, saat ini atau di masa depan.”
KOMPAS/YOLA SASTRA
Rombongan Komnas HAM (atas tengah) mendengarkan aspirasi warga terkait konflik agraria dan bentrokan warga di Jembatan Barelang IV dengan aparat pada 7 September lalu, di Kampung Pantai Melayu, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, Sabtu (16/9/2023).
Para ilmuwan iklim penyusun laporan ini telah memberikan beberapa contoh malaadaptasi, misalnya pembangunan bendungan untuk irigasi ataupun listrik. Pada tingkatan tertentu, kebijakan ini seolah bermanfaat. Namun, jika hal itu merusak akses masyarakat lokal ke sumber daya lahan dan hutan, artinya intervensi tersebut mengakibatkan sebagian orang menjadi lebih rentan terhadap perubahan iklim.
Dengan tren peningkatan suhu saat ini, lima tahun ke depan bisa sangat menentukan. Karena itu, siapa pun presiden Indonesia berikutnya, dituntut menjawab titik kritis ini. Persis seperti yang dipertanyakan Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Suraya Afif dalam dialog dengan bakal calon presiden Ganjar Pranowo di Universitas Indonesia pada Senin (18/9/2023): ”Dapatkah paradigma negara adalah mengakui kepemilikan lahan yang saat ini sudah dimanfaatkan rakyat? Dapatkah paradigma dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum yang terpaksa mengambil tanah rakyat tidak melanjutkan praktik Orde Baru—untuk kepentingan swasta, untuk dikuasai swasta, dan untuk kepentingan profit pengusaha swasta?”