Cukai Minuman Berpemanis Efektif apabila Besarannya Minimal 20 Persen
Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di masyarakat perlu dikendalikan untuk mencegah berbagai risiko penyakit tidak menular. Penerapan cukai pun dinilai efektif untuk menekan konsumsi tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan dinilai efektif dalam menurunkan konsumsi masyarakat akan minuman berpemanis gula. Hal itu sekaligus juga dapat mendorong industri untuk melakukan reformulasi produk minuman menjadi rendah atau tanpa gula.
Health Economics Research Associate Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Zulfiqar Firdaus di Jakarta, Kamis (14/9/2023), mengatakan, keputusan pemerintah untuk menerapkan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan diharapkan tidak lagi ditunda pada 2024. Penerapan cukai ini diperlukan untuk menekan konsumsi pada minuman berpemanis gula yang dapat berisiko pada berbagai penyakit tidak menular.
”Cukai untuk produk minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK perlu diterapkan setidaknya minimal 20 persen. Dengan besaran cukai itu, bisa berpotensi menurunkan konsumsi masyarakat hingga 17,5 persen,” tuturnya.
Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) adalah semua produk minuman berpemanis dalam kemasan, baik dalam bentuk cair, konsentrat, maupun bubuk. Contohnya, susu cair pabrikan dalam kemasan, kental manis, sirop, kopi instan dalam kemasan, minuman teh, minuman bersoda, sari buah dalam kemasan, dan minuman berenergi dalam kemasan.
Zulfiqar menyampaikan, studi yang dilakukan CISDI menunjukkan, dengan penerapan cukai 20 persen untuk produk MBDK, tingkat konsumsi masyarakat yang paling banyak mengalami penurunan permintaan adalah pada kelompok rumah tangga dengan tingkat pendapatan terendah. Penurunan permintaan bisa mencapai 17,9 persen.
Selain itu, permintaan produk MBDK juga lebih banyak berkurang pada rumah tangga yang tinggal di perdesaan, rumah tangga dengan kepala keluarga lebih dari 50 tahun, dan rumah tangga dengan kepala keluarga berpendidikan lebih rendah. Penerapan cukai pada minuman manis dalam kemasan pun dapat mendorong masyarakat untuk beralih pada produk minuman yang rendah gula atau bahkan tanpa gula.
Cukai untuk produk minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK perlu diterapkan setidaknya minimal 20 persen. Dengan besaran cukai itu, bisa berpotensi menurunkan konsumsi masyarakat hingga 17,5 persen.
Di Thailand, misalnya, Zulfiqar mengungkapkan, penerapan cukai pada produk MBDK berdampak pada peningkatan konsumsi produk MBDK dengan gula nol persen. Dari studi yang dilakukan CISDI menunjukkan, cukai juga berpotensi meningkatkan permintaan air mineral dalam kemasan karena konsumen yang biasa mengonsumsi produk MBDK beralih mengonsumsi air mineral dalam kemasan. Peningkatan satu persen pada harga MBDK akan meningkatkan permintaan air mineral rata-rata 0,33 persen.
Dampak terhadap industri
Zulfiqar menuturkan, dampak pemberlakuan cukai pada produk minuman berpemanis dalam kemasan terhadap industri dan retail pun seharusnya tidak perlu dikhawatirkan. Studi pada 2017 yang dilakukan di Berkeley, California, AS, memperlihatkan minimnya dampak cukai terhadap pendapatan penjualan di retail. Konsumen tetap membeli produk di ritel hanya beralih membeli jenis minuman lain dengan kadar gula rendah atau tanpa gula.
”Cukai ini justru akan mendorong industri melakukan reformulasi produk minuman yang tinggi gula menjadi produk dengan gula rendah. Di Inggris, reformulasi produk minuman ringan (soft drink) dengan kadar gula lebih dari 5 gram per 100 mililiter turun 34 persen setelah cukai diterapkan. Itu juga terjadi di Polandia yang proporsi produk minuman dengan kadar gula lebih dari 5 gram (per 100 ml) turun sebesar 25,8 persen,” katanya.
Menurut Zulfiqar, penerapan cukai produk MBDK bisa dilakukan dengan skema volumetrik. Hal itu seperti yang dilakukan juga di Thailand, Filipina, dan Malaysia. Skema ini dapat memudahkan industri dalam melakukan penyesuaian dan reformulasi produk.
Pada 2021 dalam sosialisasi Kementerian Keuangan atas rencana kebijakan ekstensifikasi cukai telah disampaikan adanya skenario penerapan cukai dengan skema volumetrik. Nilai cukai akan lebih tinggi diterapkan pada produk MBDK dengan kandungan gula yang tinggi. Pada produk MBDK siap saji, seperti teh, kopi, dan susu dalam kemasan, cukai akan diterapkan Rp1.500-Rp 4.200 per liter untuk setiap produk dengan kandungan gula 5-20 gram per 240 mililiter. Adapun pada produk MBDK konsentrat, seperti kental manis dan sirop, cukai yang diterapkan Rp1.500-Rp 4.200 per liter untuk produk dengan kandungan gula 5-20 gram per 240 ml.
Besaran cukai akan lebih besar, yakni Rp2.500-Rp 4.200 per liter, untuk produk MBDK dengan kandungan gula lebih dari 20 gram per 240ml. Adapun pada produk MBDK dengan kandungan gula kurang dari 5 gram per 240 ml tidak akan dikenai cukai.
Risiko penyakit
Chief Research and Policy CISDI Olivia Herlinda mengatakan, kebijakan fiskal dengan penerapan cukai merupakan upaya yang efektif untuk menurunkan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di masyarakat. Berbagai risiko penyakit bisa terjadi jika konsumsi masyarakat terhadap minuman berpemanis tidak dikendalikan.
”Pertumbuhan produksi minuman ringan terus meningkat. Begitu pula dengan konsumsi minuman manis di masyarakat yang juga meningkat. Padahal, konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan bisa meningkatkan risiko berbagai penyakit,” kata Olivia.
Olivia menyampaikan, studi metaanalisis yang dilakukan CISDI pada 2021 dan 2023 menghasilkan data estimasi bahwa setiap konsumsi 250 ml MBDK dapat meningkatkan risiko obesitas hingga 12 persen. Selain itu, setiap konsumsi 250 ml MBDK juga dapat meningkatkan risiko diabetes tipe 2 sebesar 27 persen, hipertensi sebesar 10 persen, dan kematian akibat penyakit jantung koroner sebesar 13 persen.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sri Wahyuni menambahkan, selain kebijakan fiskal melalui cukai, upaya lain melalui kebijakan nonfiskal juga perlu dilakukan. Dengan begitu, tujuan menurunkan konsumsi minuman berpemanis untuk mencegah peningkatan risiko penyakit bisa semakin optimal.
Itu dapat dilakukan melalui edukasi dan penyuluhan yang masif tentang bahaya mengonsumsi minuman dan makanan berpemanis dengan kadar gula tinggi. Aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai pelabelan informasi gizi juga perlu dipertajam untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya mengonsumsi makanan dengan gula tinggi.
”BPOM punya wewenang untuk menyampaikan ke industri agar melengkapi label atau informasi soal bahaya mengonsumsi produk dengan gula tinggi. Perlu secara jelas tertulis pada kemasan, misalnya, produk dengan gula tinggi tidak boleh dikonsumsi satu kali dalam sehari,” tutur Sri.