Mitigasi Iklim dan Tetap Sehat dengan Meninggalkan Daging
Dampak buruk perubahan iklim telah mengancam ketersediaan pangan kita. Pada saat yang sama, produksi pangan menjadi penyebab utama krisis ini. Diperlukan transformasi sistem pangan untuk keluar dari krisis ini.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Pangan dan perubahan iklim memiliki interaksi timbal balik. Di satu sisi, perubahan iklim telah menurunkan ketahanan pangan melalui peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, dan frekuensi kejadian ekstrem yang lebih sering. Di sisi lain, sektor pertanian dan penggunaan lahan telah menyumbang sekitar 24 persen dari total emisi gas rumah kaca, selain pemicu utama hilangnya keanekaragaman hayati.
Penelitian terbaru Marta Korzicka dari International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), Austria, dan tim di Nature Communications pada Selasa (12/9/2023), memberikan perspektif menarik. Kita mesti memilih pangan yang lebih efisien dalam memenuhi kebutuhan energi sekaligus memiliki jejak karbon terendah, yaitu dengan mengurangi daging dan beralih ke nabati.
Produk daging dan susu menyumbang sekitar 20 persen energi pangan global. Namun, sumber pangan hewani ini bertanggung jawab atas sebagian besar dampak negatif dari penggunaan lahan, penggunaan air, keanekaragaman hayati, dan emisi gas rumah kaca dalam sistem pangan global.
Masa depan itu ada di tanaman pangan yang menyimpan sumber patinya di dalam tanah seperti umbi dan di dalam batang seperti sagu.
Para peneliti menggunakan model penggunaan lahan global untuk menilai dampak perubahan pola makan. ”Kami menemukan pengurangan substansial dalam dampak lingkungan global pada 2050 jika secara global 50 persen produk hewani utama (babi, ayam, daging sapi, dan susu) diganti menjadi protein nabati, dan deforestasi hutan dan lahan alam untuk pertanian hampir sepenuhnya dihentikan. Penurunan emisi gas rumah kaca bisa sebesar 31 persen pada 2050 dibandingkan 2020,” tulis Korzicka dan tim.
Menurut para peneliti, jika lahan pertanian yang tersisa di dalam ekosistem dikembalikan menjadi hutan, manfaat iklim dapat berlipat ganda mencapai 92 persen dari potensi mitigasi sektor lahan yang diperkirakan sebelumnya. Selain itu, kawasan yang direstorasi dapat menyumbang 13-25 persen dari perkiraan kebutuhan restorasi lahan global berdasarkan target 2 Kerangka Keanekaragaman Hayati Global Kunming Montreal pada 2030, dan penurunan integritas ekosistem di masa depan pada 2050 akan berkurang lebih dari setengahnya.
Dalam kajian ini, para peneliti juga mengembangkan skenario perubahan pola makan berdasarkan resep nabati untuk menggantikan daging sapi, babi, ayam, dan susu. Resep-resep ini dirancang agar memiliki nutrisi yang setara dengan produk protein hewani asli dan realistis untuk kemampuan manufaktur makanan yang ada serta bahan-bahan produksi secara global.
Untuk memastikan relevansi dan sebagai calon pengguna temuan ini, tim peneliti meminta masukan dari Impossible Foods, perusahaan yang mengembangkan produk pengganti daging secara nabati. Perusahaan menyediakan resep generik untuk produk daging nabati yang digunakan dalam analisis.
Meskipun hasil penelitian ini mendukung peningkatan penggunaan pengganti daging nabati, para penulis mengakui peternakan merupakan sumber pendapatan dan nutrisi yang berharga bagi petani kecil di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Selain itu, hal ini juga memiliki peran budaya yang signifikan, mengurangi risiko, dan mendiversifikasi penghasilan petani kecil.
Mengganti daging
Di negara-negara berpendapatan rendah, termasuk Indonesia, konsumsi daging yang lebih tinggi dianggap sebagai cara untuk mendapatkan gizi yang lebih baik, khususnya bagi anak-anak. Laporan kelompok ilmuwan internasional yang dipimpin para peneliti Universitas Groningen, Belanda, di jurnal Nature Food pada 15 Juni 2023 menunjukkan, sejumlah negara berkembang mengalami lonjakan konsumsi daging dan susu sapi karena didorong oleh pertumbuhan populasi yang cepat atau standar hidup lebih baik. Beberapa negara itu, di antaranya China, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
Di sisi lain, konsumsi daging, khususnya daging merah dan daging olahan, secara berlebihan telah terbukti berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat terutama di negara-negara berpendapatan tinggi. Jadi, selain alasan untuk kesehatan bumi, penurunan konsumsi daging sebenarnya juga dilatari alasan kesehatan tubuh.
Laporan studi yang dilakukan peneliti dari Universitas Helsinki yang dipublikasikan di jurnal British Journal of Nutrition pada Agustus 2023 juga bisa jadi pertimbangan. Menurut Docent Suvi Itkonen dari Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Helsinki, yang memimpin kajian ini, mengurangi konsumsi daging merah dan olahan dalam makanan hingga batas atas Diet Kesehatan Planet (Planetary Health Diet) sambil meningkatkan konsumsi kacang-kacangan, seperti kacang polong dan kacang faba (koro), aman dari perspektif pemenuhan protein.
Menurut Itkonen, substitusi protein hewani ke protein nabati dari kacang-kacangan ini juga tidak mengganggu kesehatan tulang kesehatan. Temuan ini memberi dasar saintifik tentang potensi mengubah pola diet yang lebih ramah lingkungan sekaligus menyehatkan.
Pangan tahan iklim
Masalahnya, sumber pangan nabati saat ini semakin rentan terdampak perubahan iklim. Laporan khusus Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terkait Perubahan Iklim dan Lahan menyebutkan, perubahan iklim telah memengaruhi ketahanan pangan melalui peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, dan frekuensi kejadian ekstrem yang lebih sering. Hasil panen beberapa tanaman, misalnya jagung, gandum dan padi, di banyak wilayah mengalami penurunan produksi selama beberapa dekade terakhir.
Produksi buah-buahan dan sayur-sayuran, yang merupakan komponen kunci pola makan sehat, juga rentan terhadap perubahan iklim pada suhu memanas, terutama di daerah tropis dan semi tropis. Stres panas mengurangi pembentukan buah yang mengakibatkan hilangnya hasil, penurunan kualitas produk, serta meningkatkan kehilangan dan limbah pangan.
Di tengah situasi ini, kita perlu memilih tanaman yang memiliki daya tahan yang baik terhadap perubahan iklim. Untuk karbohidrat, tanaman sorgum bisa jadi salah satu pilihan.
Sorgum (Sorghum bicolor) banyak ditanam, baik sebagai tanaman tradisional maupun komersial untuk pangan manusia dan hewan di Afrika dan Asia. Ini adalah satu dari tiga biji-bijian bebas gluten yang paling banyak diproduksi selain jagung dan beras.
Di Indonesia, tanaman ini pernah dibudidayakan di banyak daerah, tetapi sekarang cenderung terpinggirkan. Belakangan, sorgum kembali dibudidayakan, terutama di kawasan Nusa Tenggara Timur yang relatif kering.
Keunggulan sorgum baru-baru ini dilaporkan peneliti dari University of Johannesburg, Afrika Selatan, Hema Kesa dan Janet Adebo, di jurnal Heliyon. Menurut kedua peneliti ini, sorgum memiliki daya tahan yang tinggi terhadap kelangkaan air. Selain itu, ada beberapa varietas sorgum yang toleran terhadap tanah tergenang air, yang menunjukkan variasi adaptasi tanaman ini yang baik terhadap kondisi iklim ekstrem.
Dari aspek nutrisi, sorgum utuh memiliki kadar asam amino esensial dan mineral yang jauh lebih tinggi untuk kesehatan dibandingkan gandum utuh serta biji-bijian sumber karbohidrat yang lain.
Yulius Barra’ Pasolon, profesor sagu dari Universitas Haluoleo, Kendari, di Sulawesi Tenggara, mengatakan, di tengah krisis iklim seperti sekarang, kita harus kembali ke ragam pangan lokal, terutama sumber pangan dari umbi-umbian dan sagu-saguan. ”Jangan lagi tergantung pada beras. Masa depan itu ada di tanaman pangan yang menyimpan sumber patinya di dalam tanah seperti umbi dan di dalam batang seperti sagu,” ujarnya.
Khusus untuk sagu, Yulius mengatakan, tanaman endemik Indonesia ini juga memiliki fungsi lingkungan yang tinggi. ”Sagu merupakan sumber pangan yang bisa tumbuh di rawa-rawa dan lahan gambut sehingga potensial untuk menyerap karbon,” ujarnya.