Sejumlah aksara Nusantara terancam punah karena semakin jarang digunakan. Naskah dan prasasti yang memuat aksara tersebut juga banyak yang hilang.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain sebagai sistem penulisan, aksara Nusantara juga menjadi jati diri bangsa sekaligus bukti kecerdasan lokal di masa lalu. Namun, banyak generasi muda yang tidak mengenalinya. Ancaman kepunahan aksara Nusantara mesti dicegah dengan berbagai cara, mulai dari mendokumentasikannya secara digital, mengajarkannya di sekolah, hingga memasifkan penggunaannya.
Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia Ninny Susanti Tedjowasono mengatakan, aksara dan bahasa adalah identitas masyarakat pendukungnya. Masyarakat menuliskannya sesuai dengan bahasa yang mereka pahami.
Aksara Nusantara ditulis dengan media prasasti dan naskah. Isinya beragam, seperti cerita kehidupan sehari-hari, resep makanan, nasihat, dan ajaran moral.
Akan tetapi, banyak generasi muda kurang berminat menggunakan atau mempelajarinya. Oleh sebab itu, aksara Nusantara perlu dilestarikan agar bisa terus diwariskan kepada generasi selanjutnya.
”Aksara dan bahasa Nusantara harus dilestarikan karena bagian dari jati diri kita. Aksara dan bahasa juga merupakan bukti dari kecerdasan lokal bangsa Indonesia,” ujarnya dalam webinar ”Membumikan Aksara-aksara Nusantara dalam Kehidupan” yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bertepatan dengan Hari Aksara Internasional, Jumat (8/9/2023).
Ninny menuturkan, pelestarian aksara Nusantara dibutuhkan untuk melengkapi sejarah bangsa. Sebab, aksara dalam prasasti dan naskah memuat sejumlah pengetahuan berbagai bidang, kearifan lokal, dan cara mengelola lingkungan.
”Aksara Nusantara menambah kepercayaan diri sebagai bangsa besar dan berperadaban tinggi. Hal ini bukan muncul tiba-tiba. Tentu akan membuka wawasan kita untuk mempelajari yang terjadi di masa lalu,” katanya.
Ninny menjelaskan, peradaban sejarah Nusantara dimulai sejak dikenalnya aksara yang ditorehkan pada Prasasti Yupa. Prasasti berbahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa ini terdiri atas tujuh buah. Namun, baru lima prasasti yang bisa dibaca.
Aksara Nusantara ditulis dengan media prasasti dan naskah. Isinya beragam, seperti cerita kehidupan sehari-hari, resep makanan, nasihat, dan ajaran moral.
Masyarakat Nusantara mengenal aksara pertama kali dari India bersamaan dengan masuknya agama Weda, Hindu, dan Buddha berikut dengan pengenalan konsep raja dan negara. Selain India, aksara Arab dan Latin juga berkembang di Nusantara dalam periode waktu tertentu.
”Beberapa aksara lain tidak berkembang di Indonesia, misalnya aksara Tamil, Prenagari, China, dan Jepang,” ucapnya.
Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN Obing Katubi mengatakan, aksara yang tertera di berbagai medium bukan sekadar goresan. Sebab, aksara mengandung identitas, sejarah, kontak budaya, kontestasi, bahkan problematika lokal yang menyentuh aspek teknologi.
Oleh sebab itu, aksara bukan milik satu disiplin ilmu tertentu. Jadi, semua ilmuwan dan peneliti dapat berkontribusi untuk mengkaji aksara berdasarkan sudut pandang keahlian masing-masing.
”Dalam bidang dokumentasi bahasa, misalnya, pembacaan naskah dengan aksara tertentu wajib didokumentasikan,” ujarnya.
Menurut Katubi, mayoritas aksara Nusantara tidak dikenali oleh generasi muda. Hal ini menjadi tugas bersama untuk menyiapkan strategi preservasi dan mentransmisikan aksara tersebut.
”Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa, tetapi hanya 18-20 yang mempunyai sistem aksara. Jumlah ini sangat bergantung pada dasar pengategorian bahasa,” jelasnya.
Digitalisasi
Digitalisasi menjadi salah satu cara mengarsipkan dan melestarikan aksara Nusantara. Hal ini telah diterapkan di sejumlah daerah, termasuk terhadap aksara Lontara di Sulawesi Selatan.
”Naskah Lontara sudah banyak yang punah dan rusak. Upaya dokumentasi penting untuk jadi perhatian, seperti digitalisasi. Hal ini sudah dilakukan oleh berbagai instansi,” ujar peneliti Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN, Nuraidar Agus.
Nuraidar tak menampik, anak muda di Sulsel kurang tertarik pada aksara tersebut. Alasan utamanya adalah karena dominasi penggunaan bahasa Indonesia dan asing di kalangan generasi muda. Selain itu, belajar aksara Lontara dianggap sulit.
Akan tetapi, terdapat berbagai upaya untuk mengenalkan aksara Lontara kepada generasi muda. Pembelajaran aksara ini diintegrasikan dengan kurikulum sekolah dan diajarkan dalam muatan lokal untuk tingkat SD hingga SMP.
Aksara Ulu di Sumatera bagian Selatan juga terancam punah. Peneliti Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN, Wahyu Rizky Andhifani, mengatakan, salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat tidak memahami aksara tersebut. Naskah dan prasasti cenderung hanya tersimpan sebagai benda keramat.
”Naskah juga sering hilang. Kebanyakan disimpan di atas perapian. Makanya, kalau medianya bambu, banyak yang menjadi lebih gelap karena kena asap sehingga sulit dibaca,” ucapnya.