Kekerasan di satuan pendidikan yang dilakukan guru untuk mendisiplinkan siswa masih terjadi. Untuk itu, pencegahan dan penanganan kekerasan di lembaga pendidikan harus menjadi perhatian serius.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi merekomendasikan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, untuk segera membentuk tim penanganan kekerasan. Hal ini menindaklanjuti kasus dugaan pemotongan paksa rambut belasan peserta didik oleh guru di sebuah sekolah menengah pertama negeri di daerah itu.
”Ini termasuk penerapan sanksi pemberhentian sementara dan pemindahtugasan oknum guru pelaku,” kata Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Chatarina Muliana Girsang di Jakarta, Jumat (1/9/2023).
Menurut Chatarina, Kemendikbudristek terus bergerak dan bertindak tegas untuk memastikan implementasi kebijakan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan atau PPKSP.
Selain itu, Kemendikbudristek menginstruksikan Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Timur mengawal kasus dan menyampaikan laporan hasil secara tertulis kepada Inspektur Jenderal Kemendikbudristek.
”Dalam mengatasi tindak kekerasan di satuan pendidikan, langkah aksi yang diambil tetap mendukung otonomi daerah, menekankan pada kolaborasi dan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, sesuai dengan arahan komitmen dari Mendagri” ucap Chatarina.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dalam peluncuran Permendikbudristek PPKSP di Merdeka Belajar Episode 25, menyampaikan dukungan dan komitmennya untuk mendorong semua kepala daerah untuk menyelesaikan masalah terkait PPKSP di daerah masing-masing.
Kasus yang terjadi di Lamongan merupakan satu dari ratusan kasus hingga Agustus 2023 yang masuk ke Kemendikbudristek untuk ditangani melalui mekanisme investigasi dan penerapan sanksi sesuai peraturan.
Dalam mengatasi tindak kekerasan di satuan pendidikan, langkah aksi yang diambil tetap mendukung otonomi daerah, menekankan pada kolaborasi dan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan.
”Kami pastikan pemantauan dan koordinasi erat terkait penanganan kasus-kasus di lapangan menjadi prioritas semua pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah. Hal ini untuk mendorong lebih banyak praktik baik upaya pencegahan kekerasan di satuan pendidikan,” tegas Chatarina.
Tercoreng
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali menyampaikan, kasus pemotongan paksa rambut 19 siswi SMP negeri di Lamongan karena berjilbab tanpa dalaman kerudung membuat dunia pendidikan tercoreng. Di sekolah negeri, jilbab seharusnya tidak diwajibkan.
”Bagi siswi yang berjilbab pun tidak ada keharusan caranya bagaimana dan modelnya harus seperti apa. Karena itu, hukuman terhadap 19 siswi tersebut merupakan pelanggaran serius. Pelakunya harus diberi sanksi agar tidak melakukan perbuatan sama dan agar menjadi pelajaran penting bagi guru-guru yang lain,” tuturnya.
Peristiwa tersebut harus jadi perhatian serius bagi semua pihak, terutama para pemangku kepentingan pendidikan, terlebih Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim yang getol mengampanyekan ”Merdeka Belajar”.
Pemberian sanksi terhadap siswa yang tak layak mendapat sanksi, apalagi secara semena-mena, bertolak belakang dengan prinsip Merdeka Belajar yang, antara lain, menekankan pada penciptaan suasana belajar bermakna dan menyenangkan dengan melibatkan orangtua dan komunitas sebagai mitra.
”Agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi, perlu upaya yang serius untuk meningkatkan kapasitas guru dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip Merdeka Belajar,” kata Rohim.
Selain itu, pengawasan pelaksanaan Merdeka Belajar perlu diintensifkan agar setiap proses belajar-mengajar di dunia pendidikan bisa dijalankan secara proporsional dan profesional.
”Lembaga pendidikan adalah investasi masa depan suatu bangsa. Di lembaga pendidikan, kader-kader bangsa dididik dengan baik agar kelak bisa menjunjung tinggi martabat bangsa dan negaranya.” ujar Rohim.
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami menjelaskan, ada beberapa langkah kunci yang harus diikuti setiap satuan pendidikan dan pemerintah daerah (pemda) dalam mengimplementasikan PPKSP.
Tindakan PPKSP yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023, menurut Rusprita, memang mendorong keterlibatan dan kolaborasi semua pemangku kepentingan.
”Langkah-langkah kunci ini juga memastikan setiap pemangku kepentingan bisa menerapkan kebijakan untuk implementasi Permendikbudristek PPKSP sesuai wewenang masing-masing dan ada keberlanjutan dari implementasi tersebut,” tuturnya.
Pertama, dengan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap satuan pendidikan yang bertanggung jawab mengoordinasikan tindakan pencegahan, memberikan pendidikan kepada semua warga pendidikan, dan merespons kasus kekerasan.
Kedua, pembentukan satuan tugas di pemda untuk penanganan kekerasan yang akan mengoordinasikan dan melaksanakan kebijakan PPKSP di daerah masing-masing. Hal ini memastikan tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan berjalan efektif dan sesuai wewenang daerah.
Selanjutnya, pelatihan dan sosialisasi kepada semua warga pendidikan agar dapat memahami dan berkontribusi dalam implementasi PPKSP.
Satuan pendidikan dan pemda diharapkan menggelar pelatihan kepada anggota TPPK dan satgas serta sosialisasi kepada semua warga pendidikan. Informasi mengenai jenis-jenis kekerasan, tanda-tanda, dan prosedur pelaporan ditekankan dalam tahap pelatihan dan sosialisasi ini.
Kemendikbudristek juga menyediakan modul pelatihan bagi guru di Platform Merdeka Mengajar mengenai metode penerapan kedisiplinan secara positif tanpa menggunakan kekerasan.
Tidak kalah penting, ada pemantauan dan evaluasi berkelanjutan. Untuk itu, Kemendikbudristek mengambil langkah proaktif demi memastikan efektivitas implementasi PPKSP.
Oleh karena itu, pemantauan dan evaluasi secara berkala akan dilakukan terhadap kinerja TPPK dan satgas di setiap satuan pendidikan dan pemda. Data mengenai tindakan pencegahan, respons terhadap kasus, serta dampak yang dicapai akan menjadi dasar evaluasi.
”Kemendikbudristek akan memastikan implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan terjadi secara konkret dan berkelanjutan," ungkapnya.
Hal ini dilakukan dengan mendorong kolaborasi bersama semua pihak, termasuk elemen masyarakat, serta peran aktif TPPK dan satgas di setiap tingkatan. ”Hal ini untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif bagi semua warga satuan pendidikan,” kata Rusprita.