Rempah Jadi Identitas Tak Terpisahkan dari Kisah dan Kuliner Nusantara
Buku ”Rumah di Tanah Rempah: Penjelajahan Memaknai Rasa dan Aroma Indonesia” merangkum kisah tentang rempah yang menjadi identitas kuliner Nusantara.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada masa kolonialisme, rempah-rempah yang tumbuh di sejumlah tempat menjadi magnet bagi bangsa lain untuk mendatangi wilayah Nusantara. Sebuah perjalanan menyusuri daerah penghasil dan jalur distribusi rempah-rempah mempertegas bahwa rempah-rempah dan daerahnya memiliki identitas yang tidak terpisahkan.
Kisah tentang rempah yang menjadi identitas kuliner Nusantara ini terangkum dalam buku Rumah di Tanah Rempah: Penjelajahan Memaknai Rasa dan Aroma Indonesia karya Nurdiyansah Dalidjo. Buku ini merupakan rangkaian kisah perjalanan untuk mengenal tradisi rempah dari Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, hingga Maluku.
Nurdiyansah menyampaikan, buku tersebut merekam perjalanannya secara independen mengelilingi tempat-tempat di Indonesia pada 2018-2019. Dari perjalanan tersebut diketahui bahwa rempah-rempah yang ada di banyak tempat sangat erat dan melekat dengan tradisi ataupun budaya, termasuk dari aspek kuliner daerah.
”Saya lahir dan tumbuh berkembang di mana narasi sejarah, khususnya rempah-rempah, masih terbatas. Saya juga tidak mengetahui konteks dari kolonialisme dan imajinasi terdahulu soal Indonesia. Hal inilah yang menggugah saya, terutama soal rasa dan aroma,” ujarnya dalam diskusi budaya yang diselenggarakan Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara daring, Senin (28/8/2023).
Perjalanan merekam identitas kuliner Nusantara pertama kali dilakukan Nurdiyansah di Lampung. Di sana, ia bertemu masyarakat transmigran dari Jawa dan menemukan kisah soal kopi yang tidak bisa dicicipi oleh para petani pada masa kolonialisme. Di kota ini jugalah ia pertama kali mengunjungi secara langsung perkebunan cengkeh dan pala.
Perjalanan berikutnya di Sumatera mengupas rempah-rempah yang kurang dominan dalam narasi era perdagangan rempah, seperti andaliman atau lada batak. Rempah jenis ini hanya tumbuh di daerah dataran tinggi sekitar Toba. Andaliman yang pernah disebut sebagai emas hitam ini memiliki kisah terkait dengan perjuangan suku Batak melawan kolonialisme.
”Kisah ini sangat berkesan untuk kita memaknai konteks bagaimana jalur perdagangan rempah memberikan kontribusi terhadap akulturasi, budaya, dan kuliner orang-orang Sumatera yang sangat beragam,” ungkapnya.
Perjalanan di Kalimantan mengisahkan komoditas perkebunan skala besar yang dikembangkan, seperti sawit dan karet, justru menjadi faktor yang turut memengaruhi kerusakan lingkungan. Kemudian, Kalimantan juga menjadi tempat yang memiliki keunikan ragam budaya, termasuk dipengaruhi oleh kedatangan orang-orang Tionghoa.
Sementara perjalanan di Jawa yang paling menarik dan dominan dalam buku tersebut terkait dengan penelusuran kisah-kisah di sepanjang jalur pantai utara Jawa. Kota-kota yang dilewati jalur yang dulu merupakan Jalan Raya Pos atau Daendels ini memiliki konteks sejarah ataupun perdagangan yang sangat penting sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Selain itu, perjalanan menyusuri rempah di Maluku mengungkap sisi lain tentang konflik etnis-politik yang melibatkan agama pada masa seusai reformasi. Meski tidak menerima dampak dari perdagangan rempah, perjalanan di Papua juga menyinggung persoalan diskriminasi, rasisme, dan stigma terhadap masyarakat asli daerah tersebut.
”Rempah maupun warisan dari perdagangan ini dalam konteks Indonesia sebagai negara pascakolonialisme memiliki banyak sekali cerita yang terhubung dengan konflik. Mungkin saja warisan ini sampai sekarang masih ada dan akan terus dibicarakan agar kita tidak lupa atau peristiwa tersebut tidak terulang kembali,” ucapnya.
Gagasan tentang keindonesiaan
Direktur Eksekutif Negeri Rempah Foundation Dewi Kumoratih Kushardjanto mengatakan, secara umum buku tersebut merupakan catatan perjalanan mengenal Indonesia melalui jejak perdagangan rempah-rempah di masa lalu dan bersentuhan dengan tradisi kuliner. Penjelajahan ini diawali dengan mengunjungi daerah-daerah di pelosok Indonesia.
”Tema utama dari buku ini yaitu gagasan tentang keindonesiaan yang dikemas sangat ringan dan cair. Kemudian, yang saya suka dari buku ini yaitu gaya penulisannya yang sangat populer, pemilihan kata bersahaja, mudah dipahami, dan mengalir,” katanya.
Selain itu, hal menarik lainnya, menurut Dewi, adalah narasi dalam buku tersebut yang selalu diawali dengan sensasi inderawi dikaitkan dengan rasa dan aroma makanan. Meskipun tidak selalu makanan ataupun minuman yang berasal dari rempah, setiap narasi tetap dapat membangkitkan imajinasi para pembacanya.
”Buku ini mengajak kita untuk melihat Indonesia dengan menggunakan rumah sebagai metafora. Ini juga termasuk soal makna rumah, relasi dengan keluarga, kenangan tentang ibu, rempah, dan bumbu. Rumah ini adalah Indonesia yang memberikan ruang bagi keberagaman,” tuturnya.