Tak Segampang Itu Anak Terpidana Bisa Kembali ke Tengah Masyarakat
Predikat anak berkonflik dengan hukum masih kerap menjadi stigma di masyarakat. Padahal, mereka butuh dukungan keluarga dan lingkungan agar bisa menjadi lebih baik.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
Suasana Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Martapura di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Kamis (24/8/2023).
Seandainya waktu bisa diputar, R (22) dan A (19), warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tidak pernah mau menjadi anak berkonflik dengan hukum beberapa tahun silam. Predikat ABH itu masih diingat sebagian orang sampai sekarang. Hal ini terkadang membuat mereka tidak mudah diterima di tengah masyarakat.
R (22) dan A (19) sama-sama merupakan alumni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Martapura, Kabupaten Banjar. R masuk LPKA Martapura pada 2017 karena terjerat kasus narkoba, sedangkan A masuk LPKA Martapura pada 2020 karena terjerat kasus penganiayaan.
R menuturkan, dirinya dikirim ke LPKA Martapura saat masih duduk di bangku kelas XI sekolah menengah kejuruan (SMK). Ia ditangkap polisi saat ikut temannya, yang sudah tidak bersekolah lagi, mengantar paket barang ke salah satu penginapan di Banjarmasin.
Meskipun R dan A telah menerima dan menjalani sanksi pidana atas perbuatannya di masa lalu, mereka masih menjalani sanksi sosial atas perbuatan itu sampai sekarang.
”Waktu itu, ulun (saya) merasa dijebak kawan. Ulun tidak tahu kalau yang diantar adalah paket narkoba. Sabu dalam bungkusan kecil disimpan di helm. Pas polisi datang, kawan ulun langsung kabur,” katanya saat ditemui di Banjarmasin, Jumat (25/8/2023).
Saat hendak ditangkap polisi, R juga berupaya melarikan diri hingga diberi tembakan peringatan. Ia akhirnya tidak berdaya karena disergap beberapa polisi. R pun digiring ke Markas Kepolisian Resor Kota Banjarmasin dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Polresta Banjarmasin.
R kemudian dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banjarmasin selama menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Banjarmasin. Setelah vonis, barulah ia dipindahkan ke LPKA Martapura.
”Ulun waktu itu dianggap sebagai pengedar narkoba dan dituntut hukuman lima tahun penjara. Namun, hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara,” ungkapnya.
Menurut R, meskipun hukumannya dua tahun penjara, ia hanya menjalani hukuman penjara di LPKA Martapura selama tujuh bulan karena mendapat diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana. Sisa masa hukuman selanjutnya dijalani R dalam bentuk latihan kerja di Yayasan Rumah Kreatif dan Pintar Banjarmasin.
”Setelah bebas tahun 2019, ulun memutuskan untuk tetap bekerja di Rumah Kreatif dan Pintar. Sampai sekarang juga masih membantu di Rumah Kreatif dan Pintar meskipun ada pekerjaan lain sebagai tukang dan juga sebagai sopir,” katanya.
R mengaku tidak mudah baginya mencari pekerjaan tetap karena tidak tamat SMK dan pernah berstatus sebagai ABH. ”Banyak yang tidak mau menerima karena ulun pernah masuk penjara,” ujarnya.
Karena itu, R tidak pernah pilih-pilih pekerjaan sepanjang pekerjaan itu halal. ”Sekarang ini, apa pun ulun kerjakan demi menghidupi keluarga. Kebetulan, ulun sudah punya istri dan satu anak berusia 1 tahun,” kata R, yang saat ini juga sedang mengikuti program kelompok belajar atau kejar Paket C.
Apa yang terjadi pada R juga dialami oleh A, yang baru bebas pada 2022. A yang terjerat kasus penganiayaan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Karena kasus itu, ia pun putus sekolah di kelas XI SMK.
”Waktu di LPKA Martapura, ulun sempat dijanjikan untuk ikut program Paket C. Namun, sampai ulun bebas, belum juga terealisasi,” ujarnya.
Menjelang bebas, Balai Pemasyarakatan Kelas I Banjarmasin mengirim A ke Rumah Kreatif dan Pintar untuk mengikuti latihan kerja. Di situ, ia dilatih untuk berani berwirausaha agar tidak bergantung pada orang lain.
”Ketika bebas, ulun sempat berjualan es, kemudian berjualan bensin eceran. Sekarang ini, ulun bekerja di kapal (penarik) tongkang batubara. Kebetulan, ada orang kapal kenalan abah (bapak), makanya ulun bisa diterima,” ungkap A, yang baru saja menikah.
A juga sempat mengalami sulitnya mencari pekerjaan karena tidak punya ijazah SMK atau Paket C. Apalagi, statusnya sebagai mantan ABH masih kerap menjadi buah bibir orang, sehingga banyak yang takut menerimanya.
Meskipun R dan A telah menerima dan menjalani sanksi pidana atas perbuatannya di masa lalu, mereka masih menjalani sanksi sosial atas perbuatan itu sampai sekarang. Tidak gampang bagi mereka kembali ke tengah masyarakat untuk mengejar masa depan yang masih membentang.