Pergaulan tidak sehat membuat sebagian anak turut menjadi pelaku kriminalitas dan harus berhadapan dengan hukum.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Pergaulan tidak sehat membuat sebagian anak di Kalimantan Selatan turut menjadi pelaku kriminalitas. Mereka terancam kehilangan masa depan karena harus berhadapan dengan hukum dan putus sekolah.
A (19), warga Banjarmasin, menuturkan, pendidikan formalnya terhenti di kelas XI sekolah menengah kejuruan (SMK) karena terjerat kasus hukum. Tiga tahun lalu, saat berumur 16 tahun, ia berkelahi dan melukai lawannya dengan senjata tajam.
Atas tindakan penganiayaan itu, ia dijerat dengan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Hukuman itu dijalaninya di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Martapura, Kabupaten Banjar.
Anak adalah aset yang harus dijaga dengan baik, jangan sampai mereka berhadapan dengan hukum.
”Waktu itu, ulun (saya) memang salah pergaulan. Maklumlah, banyak berteman dengan orang-orang yang suka minuman keras dan obat-obatan terlarang. Nyali juga besar waktu itu,” katanya di Banjarmasin, Jumat (25/8/2023).
Menurut A, dirinya baru menyadari ada yang salah dengan pergaulannya setelah masuk LPKA Martapura. Selama berada di LPKA, ia banyak belajar ilmu agama Islam, lalu sedikit demi sedikit mencoba berubah menjadi orang baik. ”Apa yang sudah terjadi, ulun coba ambil hikmahnya. Sebisa mungkin tidak akan diulangi,” ujarnya.
R (22), warga Banjarmasin, juga menyebutkan, pergaulan yang tidak sehat telah menjerumuskannya hingga berkasus hukum. Enam tahun lalu, saat duduk di kelas XI SMK, ia harus masuk LPKA Martapura karena terjerat kasus narkoba dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama dua tahun.
”Masa sekolah dulu, ulun memang suka berkelahi dan sempat juga dicari polisi gara-gara berkelahi. Lalu, karena ikut-ikutan kawan, ulun pun disebut terlibat kasus narkoba sampai ditangkap polisi,” katanya.
R menyadari pergaulannya salah setelah berada LPKA Martapura. Ia pun mencoba mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat lima waktu, belajar mengaji, dan memperdalam ilmu agama Islam. ”Di LPKA, ulun akhirnya kembali lancar mengaji,” ujarnya.
Setelah tujuh bulan di LPKA, R mendapat diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana. Sisa masa hukuman selanjutnya dijalani dalam bentuk latihan kerja di Yayasan Rumah Kreatif dan Pintar Banjarmasin.
Perhatikan anak binaan
Kepala LPKA Kelas I Martapura Rudi Sarjono mengatakan, LPKA Martapura memiliki kapasitas tampung 90 orang. Saat ini ada 46 orang yang dibina di LPKA. Semuanya laki-laki dengan rentang usia mulai dari 14 tahun hingga 19 tahun.
”Kasusnya beragam, tetapi kebanyakan terjerat kasus asusila. Masa hukumannya paling singkat beberapa bulan dan paling lama tujuh tahun,” katanya.
Menurut Rudi, pendidikan anak-anak yang berada di LPKA Martapura tetap dijamin. Mereka yang masih bersekolah diupayakan tetap bersekolah seperti biasa meskipun secara daring. Untuk itu, pihaknya juga telah membuat perjanjian kerja sama dengan beberapa sekolah di Kalsel. ”Kami minta agar ABH (anak berhadapan dengan hukum) tidak dikeluarkan dari sekolah,” ujarnya.
Selain pendidikan formal, LPKA Martapura juga menyediakan beberapa paket pelatihan untuk anak binaan, seperti pelatihan pangkas rambut, pengolahan makanan, pembuatan kain ecoprint, perbengkelan, dan pertanian.
”Anak-anak bisa mengikuti program pelatihan sesuai bakat dan minatnya. Ini diharapkan menjadi modal mereka untuk hidup mandiri setelah keluar dari LPKA,” katanya.
Menurut Rudi, tidak sedikit anak yang keluar dari LPKA Martapura berhasil melanjutkan hidupnya dengan baik di tengah masyarakat. Hal itu tentu saja tidak lepas dari penerimaan dan dukungan orangtua, keluarga, dan lingkungannya.
”Terutama orangtua, harus benar-benar memperhatikan pendidikan anak. Jangan sampai anak salah pergaulan. Bagaimanapun, anak adalah aset yang harus dijaga dengan baik, jangan sampai mereka berhadapan dengan hukum,” katanya.