Bahtsul Masail PWNU Jabar Rekomendasikan Batas Usia Pelaku Anak 15 Tahun
Bahtsul Masail Kubro yang digelar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat merekomendasikan batas usia maksimal pelaku anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH turun dari 18 tahun menjadi 15 tahun.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Bahtsul Masail Kubro yang digelar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat merekomendasikan batas usia maksimal pelaku anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH turun dari 18 tahun menjadi 15 tahun. Usulan itu berdasarkan pada hadis dan realitas sosial.
Bahtsul Masail yang mengkaji masalah keagamaan itu berlangsung di Pondok Pesantren Kiai Haji Aqil Siroj (KHAS) Kempek, Kabupaten Cirebon, Jabar, Kamis (24/8/2023). Pertemuan yang dihadiri santri dan ulama dari Jabar itu membahas sejumlah persoalan relevan saat ini.
Salah satunya, relevansi batas usia anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam regulasi itu, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Adapun batas ABH adalah 12-18 tahun.
”Kami merekomendasikan ada uji ulang terkait usia anak dari 18 tahun menjadi maksimal 15 tahun,” ujar Ketua Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jabar KH Ahmad Yazid Fattah, Jumat (25/8/2023). Keputusan itu merupakan hasil Bahtsul Masail Kubro yang merujuk pada hadis.
Menurut Yazid, dalam kajian Fikih, ulama menyetujui seseorang yang dapat dikenai undang-undang atau hukum pidana adalah yang sudah balig atau akalnya sempurna. Indikator dewasa atau balig adalah haid bagi perempuan, mimpi basah pada laki-laki, serta mencapai usia tertentu, yakni 15 tahun.
Pandangan usia itu juga sesuai Mazhab Syafi'i yang kerap digunakan di Indonesia. Hadis Sahih Ibnu Umar dalam Kitab Ibnu Majah juga menetapkan usia balig maksimal 15 tahun. Riwayat Imam Syafi'i pun mencatat, Nabi Muhammad SAW pernah menolak warga usia 14 tahun yang ingin berperang.
”Nabi baru menerimanya saat beberapa sahabat itu berusia 15 tahun. Nabi juga pernah bersabda, ketika usia seseorang 15 tahun, sudah diterapkan kepadanya peraturan-peraturan,” kata Yazid. Oleh karena itu, dalam konteks kriminalitas, pelaku yang berusia 15 tahun harus ditindak.
”Melihat fakta di masyarakat, banyak kriminalitas yang dilakukan anak usia 14-15 tahun, baik kasus narkoba, pelecehan seksual, maupun pencederaan. Padahal, tahun 1960-an, 1970-an, dan seterusnya tidak pernah terjadi. Jadi, ada pergeseran perilaku menuju arah yang negatif,” ujarnya.
Kondisi itu, menurut Yazid, menunjukkan regulasi terkait peradilan anak, yang membatasi usia 12-18 tahun, belum efektif. Ia mencontohkan, sejumlah pelajar SMA berusia 15-18 tahun beberapa kali terlibat tawuran hingga menelan korban jiwa, seperti kasus di Cirebon.
Usulan batas usia anak itu tidak mencakup batas usia nikah yang telah diatur, yakni 19 tahun.
”Oleh polisi, kasus itu tidak bisa diterapkan aturan untuk orang dewasa. Akhirnya, tidak ada efek jera bagi mereka,” ujarnya. Pelaku anak yang berusia di bawah 18 tahun, misalnya, bisa menjalani diversi atau sistem damai dalam kasus tertentu. Peradilan bagi anak merupakan pilihan terakhir yang ditempuh.
Yazid menambahkan, banyak anak berusia di bawah 15 tahun yang telah terpapar dampak negatif internet, seperti pornografi dan lainnya. Kondisi ini bisa memicu anak bertindak kriminal. Itu sebabnya, Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jabar mendorong pemerintah mengubah batas maksimal umur anak menjadi 15 tahun.
”Pada intinya, kami ingin menyuarakan seperti inilah ajaran dari Islam,” ucapnya. Ia memastikan, usulan batas usia anak itu tidak mencakup batas usia nikah yang telah diatur, yakni 19 tahun. Rekomendasi itu juga tidak termasuk dalam batas usia anak dalam hukum perdata, yakni di bawah 21 tahun.
Pengasuh Ponpes KHAS Kempek KH Musthofa Aqil Siroj berharap rekomendasi penurunan batas usia anak tidak menghambat pendidikan mereka. Sebab, warga usia 15-18 tahun masih harus sekolah. ”Jangan sampai usulan ini mengurangi pencerdasan bangsa,” ucapnya.