Pejabat Publik Mesti Menjadi Contoh Beralih ke Transportasi Umum
Para pejabat mesti memberi teladan bagi rakyat dalam mengatasi polusi udara. Salah satunya, dengan menggunakan transportasi massal untuk berangkat ke kantor di Jakarta.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil meminta para pejabat pemerintah menggunakan transportasi umum menuju kantor setiap harinya demi mengurangi polusi udara di Jakarta. Hal ini diperlukan agar mereka bisa memberi teladan bagi rakyat daripada sekadar mengimbau beralih ke transportasi umum.
Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia Khalisa Khalid mengatakan, seharusnya para pejabat tidak memerlukan kendaraan dinas yang iring-iringannya bisa lebih dari dua mobil. Terlebih, semua kantor kementerian dan lembaga serta pemerintah provinsi di Jakarta sudah terjangkau akses transportasi publik, mulai dari MRT, KRL, hinggaa TransJakarta.
”Siapa yang sebenarnya tidak menggunakan transportasi publik? Yang tidak menggunakan itu pejabat publik, hampir semua warga sudah menggunakan transportasi publik dan semua langkah bertahan hidup kita dari polusi,” kata Khalisa saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Selain itu, Khalisa menilai, imbauan lain dari pemerintah agar rakyat beralih ke kendaraan listrik juga tidak tepat. Sebab, sumber energi listrik di Indonesia masih banyak yang berasal dari pembakaran batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU.
”Seharusnya intervensi pemerintah itu lebih banyak ke industri dan PLTU yang ada di sekitar Jakarta. Bukan dikembalikan lagi tanggung jawabnya kepada masyarakat,” ucapnya.
Berdasarkan data Global Energy Monitor, terdapat 16 PLTU yang berlokasi berdekatan dengan Jakarta. Ini terdiri dari 10 PLTU di Banten dan 6 PLTU di Jawa Barat.
Aspirasi ini disampaikan mereka yang mengatasnamakan Koalisi Ibu Kota dalam unjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta pada Rabu pagi. Mereka mendesak bertemu dengan Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono untuk menuntut tanggung jawab atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2021 lalu.
Namun, hari ini Heru tengah sibuk bertugas sebagai Kepala Sekretariat Presiden dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023. Setelah menggelar aksi teatrikal dan melantangkan orasi, mereka akhirnya diterima oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi untuk audiensi.
Seharusnya intervensi pemerintah itu lebih banyak ke industri dan PLTU yang ada di sekitar Jakarta. Bukan dikembalikan lagi tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 374/PDT.G-LH/2019/PN.JAK.PUS itu mengabulkan gugatan warga negara atas polusi udara di Jakarta. Majelis Hakim memvonis tujuh pejabat negara melakukan perbuatan melawan hukum. Ketujuh pejabat tersebut adalah Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat.
Gubernur DKI saat itu, Anies Baswedan, menjadi satu-satunya tergugat yang tidak mengajukan banding. Namun, sampai hari ini polusi udara tetap terjadi dan justru semakin parah. Hampir sepekan terakhir, Jakarta menjadi ranking satu kota dengan polusi terparah di dunia.
Belum maksimal
”Gubernur DKI tidak mengajukan banding, tetapi kami belum melihat hasil yang maksimal dari strategi yang diupayakan. Sejak awal dari terbitnya Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 ada beberapa poin yang harus dilaksanakan, misalnya ruang terbuka hijau angkanya terus menurun sampai hari ini,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci F Tanjung.
Prasetyo menanggapi, memang pemerintah perlu menertibkan industri dan PLTU yang mencemari udara. Politisi PDI Perjuangan tersebut berjanji pihaknya akan mendesak Pemerintah Provvinsi DKI Jakarta agar bekerja lebih keras mengatasi polusi udara.
”Mudah-mudahan secepatnya, kalau semua pabrik dan pabrik di daerah penyangga Jakarta bisa bekerja dan mengatur dengan baik, saya rasa polusi akan berkurang jauh,” kata Prasetyo.
Namun, sebelumnya, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro mengklaim bahwa kontribusi emisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di sekitar Jabodetabek tidak terlalu signifikan.
Dia mengacu pada kajian Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara KLHK pada 2019 yang mengonfirmasi sebagian besar emisi dari PLTU Suralaya di Cilegon, Banten, tidak mengarah ke Jakarta, tetapi ke kawasan Selat Sunda.
”Ini menegaskan bahwa sumber emisi di Jakarta sebagian besar dipengaruhi dari aktivitas Jakarta sendiri dan wilayah Jabodetabek sebagai hinterland (wilayah sekitar kota),” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Minggu (13/8/2023).
Menurut Sigit, pencemaran udara sering terjadi pada musim kemarau. Paparan polusi di Jakarta saat ini akan sulit dikurangi karena tidak adanya hujan. Di sisi lain, penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menurunkan hujan di Jakarta juga akan sia-sia karena kondisi awan amat minim di wilayah Jawa dua minggu ke depan.