Kecakapan literasi yang berkualitas masih jadi tantangan. Dukungan penyediaan bahan bacaan buku cetak dan digital terus dikembangkan dengan menggeliatkan perpustakaan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Literasi berkualitas mempersiapkan manusia menjadi pembelajar sepanjang hayat. Pesatnya perkembangan zaman menuntut kelincahan dan adaptasi. Kemampuan belajar mandiri sepanjang hidup diperlukan agar mampu mengikuti perkembangan pada masa mendatang.
Kemampuan belajar mandiri, salah satunya ditopang dengan minat baca. Pilihan untuk mengakses buku-buku berkualitas kini semakin terbuka, baik buku fisik maupun digital. Tidak mesti membeli, buku-buku gratis juga dapat dinikmati di perpustakaan. Ada yang di sekolah, di desa, dan kini berupa perpustakaan digital.
Menyambut Hari Kemerdekaan Ke-78 RI, Taman Bacaan Pelangi membangun perpustakaan sekolah ramah anak. Perpustakaan itu dibangun bersama Pemerintah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 19 perpustakaan ramah anak di 19 sekolah dasar pun diresmikan.
Data Statistik Sekolah Dasar 2022/2023 dari Pusat Data dan Teknologi Informasi, Kemendikbudristek, terdapat 1.199 SD di NTT yang belum miliki perpustakaan. Padahal, perpustakaan sekolah berperan penting meningkatkan kemampuan baca anak.
Berdasarkan Survei Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia oleh Kemendikbud tahun 2016, sekitar 47 persen siswa kelas 4 SD belum dapat membaca secara mandiri.
”Kami ingin membawa perubahan positif di bidang pendidikan, terutama terkait minat baca dan kemampuan membaca anak-anak di daerah pelosok Indonesia lewat program perpustakaan ramah anak ini,” kata Project Manager Taman Bacaan Pelangi Devi Monita Kristyningsih, Selasa (15/8/2203). Pihaknya ingin menyemangati masyarakat untuk mendorong anak-anak suka membaca buku cerita.
Sekolah yang memiliki perpustakaan ramah anak didampingi agar mampu mengelola manajemen perpustakaan dan kegiatan membaca guru hingga sekolah benar-benar dapat mandiri dalam melaksanakan peningkatan literasi di sekolah-sekolah. Sejak 2009 hingga saat ini, Taman Bacaan Pelangi telah mendirikan dan mengelola 229 perpustakaan ramah anak yang tersebar di 19 pulau di Indonesia, memberikan pelatihan kepada lebih dari 6.000 guru di daerah, menyediakan lebih dari 300.000 buku cerita anak, serta memberikan akses buku bacaan kepada lebih dari 44.000 anak di daerah terpencil di Indonesia.
Buku bergilir di desa
Penguatan perpustakaan dengan penyediaan buku-buku bacaan berkualitas dan sesuai kebutuhan juga dikembangkan hingga tingkat desa. Kepala Badan Pengembangan dan Informasi Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Ivanovich Agusta, di acara seminar nasional ”Penguatan Literasi Desa” beberapa waktu lalu, mengatakan, dari sekitar 33.000 desa yang memiliki perpustakaan, hanya 30 perpustakaan desa yang aktif. Padahal, peningkatan sumber daya mansuia di desa lewat penyediaan literatur bahan bacaan juga penting.
Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi) mengembangkan program Pustaka Bergilir Buku Masuk Rumah di desa-desa.
Terobosan untuk memperkuat literasi Masyarakat desa yang berdampak pada eksistensi perpustakaan desa ditawarkan Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi) lewat program Pustaka Bergilir Buku Masuk Rumah. Pembina Yagemi Afrizal Sinaro mengatakan, akses masyarakat desa pada buku bacaan terbatas. Dengan Pustaka Bergilir Masuk Rumah, tiap keluarga bisa mendapatkan paket buku bacaan secara bergilir dengan cara mudah, sederhana, dan berbiaya murah.
”Kami sudah melakukan di banyak desa di Sumatera dan Pulau Jawa. Program buku masuk rumah di desa-desa ini sebenarnya dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. Bukan hanya minat baca masyarakat yang terus tumbuh, geliat penerbitan buku, bahkan yang lokal, juga dapat tumbuh,” ujar Afrizal.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman mengatakan, kemajuan desa juga bergantung pada kualitas SDM. Namun, selama ini ada kendala akses literasi di pelosok, seperti lingkaran setan antara indeks literasi yang rendah dan kurangnya volume buku.
”Terutama sekali akses bahan bacaan yang sesuai kebutuhan masyarakat di desa,” ujar Arys.
Perpustakaan digital
Kendala akses buku dan mahalnya buku-buku bacaan kini dapat diatasi dengan kehadiran perpustakaan digital. Salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang literasi, PT Lentera Metasemesta Nusantara, menyediakan aplikasi Lentera yang menyediakan beragam buku bacaan secara gratis dengan kompensasi menonton iklan. Jika ingin mengakses buku-buku bacaan yang lebih lengkap, masyarakat dapat berlangganan dengan biaya yang terjangkau.
”Dari industri kreatif lainnya, seperti musik atau film, untuk buku digital belum terlalu berkembang. Kami membuat aplikasi Lentera supaya buku juga bisa dinikmati seperti di platform Youtube. Pembaca bisa mengakses gratis, tetapi demi keberlanjutan platform, kami kemas dengan muncul iklan setelah beberapa halaman buku. Ada juga sistem berlangganan,” kata Pendiri dan CEO Lentera Annastasia Puspaningtyas, mantan jurnalis dan penulis buku yang kini bermukim di Jepang.
Menurut Annastasia, ide menghadirkan perpustakaan digital untuk menyediakan beragam buku bacaan, mulai dari fiksi dan nonfiksi, ilmu pengetahuan, hingga sastra, muncul saat kondisi pademi Covid-19. Pemanfaatan teknologi digital mampu digunakan untuk mengatasi masalah minat baca, akses buku, dan mengembangkan ekosistem perbukuan di Indonesia.
Annastasia berkolaborasi dengan suaminya, Gaspard Dessy, yang memiliki bisnis konsultan teknologi informasi di 10 negara. Platform ini menawarkan layanan agen literasi. Layanan yang diberikan mendampingi penulis mengembangkan karyanya hingga alih wahana karya, baik di dalam maupun luar negeri.
”
Dari pengalamannya, penulis di Indonesia belum menjadi profesi menguntungkan. ”Kami ingin para penulis juga bisa hidup layak dari buku-bukunya. Untuk seniman di musim maupun film sudah berkembang dengan memanfaatkan platform digital. Nah, peluang ini sekarang yang kami coba kenalkan pada penulis dan penerbit buku sehingga ekosistem perbukuan dan literasi di Indonesia berkembang,” katanya.
Gotong royong untuk meningkatkan kecakapan literasi dengan memberdayakan perpustakaan digital maupun fisik dibutuhkan bangsa ini. Dalam literasi dan numerasi ini tantangannya cukup besar. Dari studi PISA, 70 persen siswa Indonesia berusia 15 tahun berada di bawah kompetensi minimum dalam kemampuan membaca dan matematika
Hasil itu terkonfirmasi juga dari Asesmen Nasional 2021 yang menilai 50 persen peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi dan 66 persen belum mencapai kompetensi minimum numerasi. Untuk orang dewasa, studi PIAAC di Jakarta tahun 2015 menunjukkan 70 persen dan 60 persen siswa memiliki kemampuan literasi dan numerasi di bawah tingkat minimum.