Guru Berjuang Mendapat Sertifikasi Pendidik hingga Pensiun
Pengakuan pada profesi guru yang mulia di negeri ini masih butuh pembuktian dari pemerintah. Hingga kini proses sertifikasi guru dan penuntasan guru honorer masih jalan di tempat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Guru-guru Indonesia wajib mengantongi sertifikasi pendidik sebagai bukti telah menjadi guru profesional sesuai ketentuan Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sertifikasi tersebut bukan sekadar untuk mendapat tunjangan sertifikasi guru sebesar satu kali gaji pokok, tetapi pengakuan dari pemerintah sebagai guru legal. Hingga kini masih ada sekitar 1,6 juta guru yang belum disertifikasi, dan yang terbanyak justru para guru yang diamanatkan UU Guru dan Dosen dengan masa pengangkatan di bawah tahun 2015.
Rusmani Sitorus, guru pegawai negeri sipil (PNS) yang mengajar di SD Negeri 07 Durian, Kecamatan Sei Balai, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, tak kuasa menahan tangis saat mendapatkan kesempatan bicara secara daring dalam webinar ”Kupas Tuntas Sertifikasi Guru dalam Jabatan” yang digelar Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Selasa (1/8/2023) sore. Rusmani 2,5 tahun lagi pensiun, tetapi sertifikasi pendidik (serdik) masih jauh dari bayangannya.
”Di sekolah saya, guru PNS yang belum punya serdik hanya saya. Rasanya ngeri membayangkan jika sampai pensiun saya tidak juga lulus serdik. Padahal, saya sudah sungguh-sungguh mengabdikan diri menjadi guru selama ini,” ungkapnya.
Rusmani menjalani kuliah S-1 dengan sepenuh hati. Ia tidak tergoda membeli ijazah. ”Bagaimana solusinya supaya bisa (dapat serdik) tolong disampaikan ke Pak Menteri Nadiem, supaya saya masih bisa mendapatkan serdik sebelum pensiun sebentar lagi,” ujar Rusmani terisak-isak.
Saya merasa sangat malu kepada masyarakat, dianggap guru bodoh karena tidak lulus sertifikasi.
Rusmani menjadi guru CPNS tahun 1994 dan tiga tahun kemudian diangkat menjadi PNS. Lalu, tahun 2016 ia kuliah S-1 karena syarat untuk bisa ikut PPG (Pendidikan Profesi Guru) dalam jabatan harus lulusan D IV/S-1. Tahun 2018, Rusmani ikut tes PPG dalam jabatan, tapi hingga sekarang belum juga lulus.
”Saya merasa sangat malu kepada masyarakat, dianggap guru bodoh karena tidak lulus sertifikasi. Saya menangis dalam batin selama acara ini karena yang diperjuangkan PB PGRI sungguh dinanti-nanti guru,” ucapnya.
Yudistira, guru di Kecamatan Lemito, Kabupaten Pahuwato, Gorontalo, juga merasa pasrah dengan kondisi dirinya. Saat dipanggil ikut Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) agar bisa mendapat serdik tahun 2017, dirinya tidak lulus. Baru lima tahun kemudian pada tahun 2023 dia dipanggil kembali ikut PPG dalam jabatan.
”Belum ada pengumuman kelulusan karena ditunda. Harapan saya bisa diluluskan. Mohon kejelasan jika tidak lulus, di mana letak kekurangan kami? Kami mohon supaya guru tidak dipersulit mendapat serdik dengan ujian-ujian yang susah,” ujar Yudistira.
Pimpinan Perkumpulan Guru Non-serdik Indonesia (PGNSI) Istar mengatakan, banyak guru non-serdik yang sudah berusia di atas 50 tahun. ”Kami ke Jakarta pada Mei lalu mengadu ke PGRI, sebenarnya mau izin demo. Kami mohon jika bisa semua guru yang diangkat tahun 2005-2015 disertifikasi dengan skema portofolio. Sudah mengajar dari tahun 2005, masih saja ikut pre-tes dan tes. Kami mohon ada kebijakan khusus bagi guru yang belum serdik, yang seharusnya sudah tuntas tahun 2015 lalu,” ujar Istar.
Usulkan portofolio
Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mendesak pemerintah agar melakukan diskresi untuk menuntaskan jumlah guru yang masih banyak belum disertifikasi. ”Jika ada diskresi untuk guru penggerak bisa mulus ikut PPG dalam jabatan, kami mohon diskresi juga untuk para guru yang diangkat tahun 2005-2015 sebagaimana diamanatkan UU Guru dan Dosen. Kalau bisa, ya, diluluskan saja pakai portofolio. Jangan sampai mereka pensiun tahun 2028, tetapi tidak kebagian kuota serdik,” ujar Unifah.
Unifah menyambut terobosan PPG dalam jabatan secara mandiri bagi guru dengan skema pembiayaan/subsidi pemerintah daerah maupun yayasan sekolah swasta yang bisa mendukung guru mendapatkan serdik. ”Peningkatan mutu guru juga jadi tanggung jawab pemda. Kami harap banyak pemda yang bisa mendukung guru untuk cepat mendapat serdik,” ujar Unifah.
Sementara itu, Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan PB PGRI Sumardiansyah Perdana Kusuma menegaskan, penuntasan sertifikasi sekitar 1,6 juta guru dalam jabatan adalah sebuah keharusan sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Hal itu terutama bagi guru yang terhitung menjadi guru di kurun waktu 2005-2015 (sebanyak 944.168 guru).
Sebagaimana ketentuan dalam UU Guru dan Dosen Pasal 2 Ayat 1 dikatakan, pengakuan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Lalu Pasal 82 Ayat 2 ditegaskan bahwa 10 tahun sejak berlakunya UU Guru dan Dosen, seluruh guru harus sudah tersertifikasi.
”Problematika di lapangan para guru yang belum memiliki sertifikat pendidik, apalagi mereka yang kategori senior atau sudah memiliki pengalaman mengajar lama seperti mengalami inferioritas di dirinya dan delegitimasi dalam menjalankan pekerjaan mengajar karena belum dianggap sebagai guru profesional. Belum lagi, soal gap kesejahteraan antara mereka yang sudah bersertifikat pendidik dengan yang belum bersertifikat pendidik,” kata guru SMA di DKI Jakarta ini.
Pemerintah memang memberikan tambahan penghasilan bagi guru non-serdik dengan nominal Rp 250.000 per bulan. Namun, jumlah ini dianggap belum memadai.
”Karena itu, kami mendorong ada revisi Perpres 52 Tahun 2009 tentang Tambahan Penghasilan Tambahan agar nominalnya bisa dinaikkan setidaknya menjadi Rp 1 juta per bulan atau setengah dari besaran TPG (tunjangan profesi guru) yang diterima oleh PNS setara dengan satu kali gaji pokok,” ujar Sumardiansyah.
Selain itu, untuk para guru dengan tugas mengajar terhitung di atas tahun 2015 juga diusulkan agar kuota PPG ditambah dan dibuka seluas-luasnya dengan melibatkan pemerintah daerah ataupun yayasan penyelenggara pendidikan dalam alokasi anggarannya. Kemudian ada transparansi, akuntabilitas, dan kesesuaian antara penyusunan kisi-kisi dan soal pretes/ujian tulis nasional (UTN) PPG sehingga guru ketika tidak lulus dalam ujian bisa mendapatkan refleksi atau umpan balik, bukan hanya skor yang diperoleh atau keterangan lulus dan tidak lulus, melainkan berupa refleksi atau rapor yang menggambarkan penguasaan dan kelemahan guru atas sebuah bidang kompetensi tertentu.
Beri afirmasi
Temu Ismail mengatakan, pemerintah serius memperjuangkan serdik guru. Bahkan, ada sebanyak 12.000 guru yang belum lulus PLPG tahun 2018 bisa mendapatkan afirmasi untuk ikut PPG dalam jabatan. Namun, baru sekitar 8.000 guru yang berhasil dituntaskan tahun 2022.
Serdik guru merupakan pengakuan pada profesionalisme guru. Selain mendapatkan tambahan kesejahteraan, guru yang memiliki serdik memiliki peluang lebih banyak untuk ikut berbagai kegiatan, menjadi kepala sekolah, hingga pindah fungsional menjadi pengawas sekolah.
Menurut Temu, kemudahan bagi guru dalam jabatan untuk mendapat serdik terus diupayakan. Selain ada fleksibilitas, juga ada rekognisi pembelajaran lampau (RPL) sehingga ada pengurangan jumlah satuan kredit semester yang harus dituntaskan peserta di LPTK.
Menurut Temu, penuntasan jumlah guru untuk ikut serdik lambat karena selama ini mengandalkan anggaran pemerintah pusat sehingga kuota terbatas. Direncanakan, pada tahun 2028 semua guru yang belum mendapat serdik bisa dituntaskan. Tahun 2023 kuota 80.000 guru, dan pada tahun selanjutnya ditargetkan bisa mencapai sekitar 300.000 guru.
”Peningkatan dilakukan dengan membuka jalur PPG dalam jabatan mandiri yang didukung pemda/yayasan. Ada 29 pemda yang sudah berminat,” ujar Temu.
Hingga saat ini meluluskan guru serdik dengan model portofolio belum bisa dilakukan. Para guru harus menjalani serangkaian ujian, tetapi terus dievaluasi agar ujian lebih fokus pada kompetensi pedagogi guru.
Pendataan guru yang belum serdik juga terus dilanjutkan. Berdasarkan data, dari sekitar 1,5 juta guru, sekitar 260.000 di antaranya belum lulus S-1. Selain itu, ada guru yang sudah pensiun, tetapi nomor unik pendidik tenaga kependidikan (NUPTK) dipakai orang lain, bahkan satu NUPTK dipakai lebih dari satu orang.